Dibalik bau nya yang busuk. Rafflesia memiliki keindahan yang begitu mahal, yang hanya sedikit orang menyadarinya. - Raga Arselo Diandra -
*
******
Lagi, lagi, dan lagi. Hal ini terjadi pada Ruth, sampah basah bercampur dedaunan kering, tanah, bahkan tisu bekas toilet menempel disekujur badannya.
Semua ini ulah Naya dan kawan-kawannya. Setiap hari dirinya dibully oleh sebuah komplotan semacam genk, Ruth berbau karna tubuhnya selalu dijadikan tempat sampah oleh genk itu.
Beginilah kerasnya kehidupan kampus Ruth, Ruth harus menanggung sampah dan hinaan penduduk kampus gara-gara bully-an yang ia terima hampir setiap datang kekampus.
Namun meski malu, dirinya sudah kebal akan cibiran orang-orang. Toh, dirinya bau karena dibully.
Seperti sekarang, Ruth barusaja keluar dari toilet setelah membersihkan sampah-sampah ditubuhnya. Lihat saja, tatapan penduduk kampus sudah mulai risih dengan bau badan Ruth, dan tak sedikit yang mulai mencibir.
"Mandi kek kalo kekampus, busuk banget itu badan." Hina seorang gadis yang berpapasan dengan Ruth tak lupa dengan aksi tutup hidungnya.
Ruth hanya merunduk dan meminta maaf atas ketidaknyamanan yang berasal darinya.
"Gini banget," Gerutu Ruth.
Ia terus berjalan untuk menuju gedung C, karna kelasnya akan segera dimulai.
Dbukkk~~
"Aduh," Ruth meringis ketika tiba-tiba tanpa sengaja ia tersandung sepasang kaki yang terjulur.
"Maaf," Ucap Ruth pada si yang punya kaki. Ia bahkan tak berani menatap pemilik kaki. Ruth memilih beranjak namun suara seorang pria yang tidak lain si pemilik kaki yang membuat Ruth tersandung terdengar.
"Elo! Cewe kepang," Panggil pria itu.
Ruth pelan-pelan berbalik menghadap pria itu, dengan kepala tertunduk tentunya. "Maaf, maaf, saya gak sengaja." Padahal Ruth yang tersandung, namun dia pula yang meminta maaf.
"Liat sepatunya, Ga." Ucap salah satu teman pria itu seraya menunjuk sepatu butut Ruth yang basah dan kotor. "Sepatunya dekil banget, sepatu busuk kaya gitu yang barusan nendang kaki lo,"
"Saya gak nendang, saya gak sengaja tersandung." Bela Ruth.
"Eeee bau, itu sepatu yang lo tendang, sepatunya cucu yang punya kampus! Sepatu Raga Diandra, seenaknya, kalo kesandung tuh liat-liat situasi!" Semprot Angga, temannya Raga.
Mana bisa tersandung liat situasi, dimana-mana tersandung itu adalah sebuah ketidaksengajaan. Hanya manusia Caper yang bisa tersandung dengan sengaja.
Ruth merutuki orang bernama Angga itu. Padahal pria itu pernah satu sekolah dengan Ruth saat SMP, dan Ruth sering memberinya contekan. Tapi masih saja dia membenci Ruth.
Dan apalagi sekarang drama kehidupannya? Ia tersandung kaki cucu pemilik kampus ini? Ya, Raga Arselo Diandra. Ruth bahkan tidak mengenalnya.
Memangnya apa salahnya jika tersandung kaki Raga? Ruth hanya akan merasa bersalah ketika kaki yang membuatnya tersandung terbuat dari emas.
"Malah ngelamun, bersihin tuh sepatunya Raga!" Bentak Angga lagi.
Ruth sedikit tersentak dan tersadar dari lamunannya.
"Angga." Panggil Raga. "Gue gak nyuruh lo ngomong,"
Terdengar decihan tak suka dari Angga, namun pria itu memilih diam daripada melawan Raga.
"B-biar saya bersihkan sepatunya," Ucap Ruth menawarkan. Lebih tepatnya mengikuti ucapan Angga.
"Gak usah." Tolak Raga. "Gue manggil, cuman mau ngasih tau, itu dirambut belakang lo ada tisu nyangkut,"
"Oh?" Ruth langsung memeriksa rambut bagian belakangnya, mencari tisu yang masih tersangkut hingga ia berhasil menemukannya. "Ah, terimakasih," Ucap Ruth lalu berbalik dan beranjak pergi begitu saja.
"Kok lo lepasin? Harusnya lo sikat aja, Ga." Usul Angga.
"Mulut lo nyakitin bener ya, Ngga. Itu cewe udah dapet hinaan dimana-mana, lo manfaatin pula." Sahut Rian. Yang merupakan sahabat Raga sejak bantet.
"Dih, ngapain manfaatin dia. Emang cewe model kaya gitu harus dimainin, kalo engga, ya gak akan seru hidup dia."
"Yang ada lo bikin hidupnya putus asa. Kalo dia bunuh diri, mau apalo? Bikin jimat anti setan juga lo ke dukun," Geka menyahut.
Teman Raga itu hanya dua, Rian dan Geka. Meski banyak yang ingin berteman dengan Raga, tetapi pria itu tidak menginginkan yang lain selain Raga dan Geka.
Tentunya dengan alasan siaga. Ada banyak teman fake yang hanya berteman dengan Raga karna kekayaannya. Hanya Rian dan Geka yang tidak memanfaatkan harta dan statusnya.
Dan salah satu manusia fake itu adalah Angga.
"Elah gak akan berani bunuh diri dia, itu cewe udah kebal sama bully-an, dari SMP juga dibully mulu. Jadi gakpapa lah kalo kita bully, dia gak akan bunuh diri," Jelas Angga santai.
Raga langsung melempar tatapan tajam pada Angga. "Mending lo pergi dah, ngapain ngumpul sama kita disini. Emang lo temenan sama kita?", Sinis Raga.
Telak menghantam Angga.
"Gue gak butuh orang yang banyak bicara. Apalagi yang disetiap omongannya buang-buang waktu buat pendengarnya." Sambung Raga.
"Lo ngusir gue?"
Raga mengangguk enteng. Dan berhasil, Angga langsung pergi begitu saja dengan wajah ketus.
"Woahhh, cepet amat lo ngusirnya, daritadi kek diusir, gedeg banget gue denger omongannya. Mulutnya setaraan sama cewe," Ucap Geka.
Raga memang tidak menyukai manusia seperti itu. Lebih pantas dibuang daripada diladeni.
"Gimana soal Marc? Ada kepastian?" Tanya Raga pada dua temannya.
"Ya adaaaa!! Astagaaa gue lupa cerita," Sahut Geka heboh. "Gini Ga, kalo biasanya si Marc manggil kita cuman pas lagi butuh. Sekarang dia bakal berhubungan dekat sama kita. Dia mempercayakan semua pemotretan model-modelnya ke kita, gimana? Gimana? Duh, Mood gue langsung melesat pas tiba-tiba ditelpon Marc tadi pagi,"
Raga mengangguk-angguk. Mereka memang membuka jasa pemotretan sejak duduk dibangku SMA, Tapi tidak disangka akan menjadi Photografer diagensi para model terkenal.
"Itu kaga Hoax kan?" Sambung Rian bertanya.
"Enggak lah! Ini Real, kalo Hoax nanti gue samurai kepala si Marc."
Raga menyampirkan tasnya kepundak kanannya. Dan berdiri menatap dua sahabatnya. "Gue cabut dulu, nanti kabarin gue soal pemotretan hari ini."
Setelah dapat anggukan kepala dari dua sahabatnya, Raga langsung pergi begitu saja. Karna dirinya juga memang ada kelas.
Rian dan Geka langsung bertatapan dengan senyum picik diwajah mereka masing-masing.
"Gue denger, si Marc merekrut model baru, gebet jangan?" Pancing Geka.
"Gebet lah, gebet! Kapan lagi bisa ngegebet modelnya Marc yang selalu markutup,"
*******
"ABAAAAAAANG!!"
Raga menutup kupingnya rapat-rapat ketika suara cempreng khas anak SMP menggema diseluruh ruangan yang ada dirumah besarnya.
Ini dia yang membuat Raga tidak betah dirumah. Selain karna pekerjaan ayahnya yang begitu ia benci, ada adik perempuan berisik tak terkira yang sialnya ia sayangi.
Raga hanya tinggal dirumah ketika ia sedang ingin saja. Ia lebih terbiasa tidur dirumah kecil yang sengaja ia beli, untuk pelariannya. Begitulah seorang Raga hidup. Hal ini ia lakukan juga karna kekangan sang ayah.
"ABAAAAANGG!! JAWAB RARA!!"
Raga masih mengabaikan, ia sedang menikmati waktu santai dikamarnya. Kenapa harus meladeni Rara, adiknya yang super menyebalkan.
BRRAKKK~~
"Astagfirullah!!"
Raga kaget bukan main ketika tiba-tiba Rara mendobrak pintu kamarnya. Gadis berumur 15 tahun itu menatap sang kakak nyalang.
"Mau masuk itu ketuk pintu, jangan dobrak-dobrak mulu. Kebiasaan, nanti kamar abang roboh." Tegur Raga.
"Lagian dipanggil gak jawab-jawab, Rara marah!"
Raga terkekeh, ia mengambil duduk ditepi ranjang. "Emang kenapa manggil abang?"
"Beliin Rara pembalut,"
Raga menganga. Menatap adiknya tak percaya. Cowok setampan Raga? Membeli pembalut? "Enggak," Tolak Raga lalu langsung berbaring seenaknya diranjang mahalnya. Ia menarik selimut sebatas hidung. Guna menghindari Rara.
"Iiiih, Abaaaaang dengerin Raraaaaa!!" Rara pun tak menyerah, ia mendekati Raga dan menarik selimut kakaknya dengan tenaganya. "Bentar doang kok, diminimarket yang baru buka tuh, dipersimpangaaaan,"
Raga pun juga tak menyerah. Ia berusaha mempertahankan selimutnya. "Gak mau! Beli sendiri,"
Rara mendengus, menatap Raga dengan jengkel. "Abaaaaang, Rara berdarah!!" Teriak Rara heboh.
Raga seketika bangun dan memeriksa sang adik. "Beneran berdarah?!"
"Ini ini liat, berdaraaaah!!" Rara heboh sendiri sambil memperlihatkan Celana belakangnya yang memang berdarah. Bukan darah karna terluka, melainkan darah istimewa kebanggaan wanita.
Raga pun turut panik melihat kehebohan Rara. "Sakit kah? Aduh, abang harus ngapain?!"
"Makanya beliin pembalut, abang oon banget sih!"
"Durhaka kamu ya! Iyaiyaa, ini abang beliin," Raga buru-buru berdiri, mengambil kunci motor dan dompetnya dan segera beranjak.
"Abaaaaang!!" Panggil Rara setengah berteriak ketika Raga hampir keluar dari pintu.
"Apalagi?" Tanya Raga jengah.
Rara semakin menatap Raga kesal. Entah wataknya yang memang tak sabaran, atau efek PMS. "Abang kok gak nanya Rara maunya pembelut apa, nanti abang beli yang burung dara pembalut Legend itu lagi. Emang Rara anaknya pendiam? Itu pembalutnya kecil," Oceh Rara.
"Berisik, sama aja."
"Ishhh, makanya tanyain dong adeknya ini mau pembalut yang gimana?!"
"Yaudahhh ngalah gue. Mau lo pembalut yang gimana?!" Tanya Raga emosi.
"Pembalut yang warna biru, panjangnya 35 CM. Nanti bilang ke mbak kasirnya belinya satu-pack yang stoknya baru datang, Rara gak mau pembalut yang udah lama gak dibeli orang." Ocehnya lagi.
Raga mengusap wajahnya kasar.
"Cerewet lo,"
********
Raga memarkirkan motor ninja merahnya didepan sebuah minimarket yang baru buka, Jangan ditanya bagaimana Raga mempersiapkan nyalinya untuk membeli pembalut.
Dirumah besar itu Raga hanya bisa bersikap ramah dengan Rara dan Eyang Labi sipembantu paruhbaya dirumah. Sedangkan dengan ayah, kakek, dan kakak tertuanya, Raga jarang bicara. Sudah pasti Raga tidak menyukai mereka karna pekerjaan busuk yang mereka lakoni.
Pekerjaan yang seakan menjadi tradisi turun-temurun dikeluarga Diandra. Mulai dari kakeknya, lalu diturunkan pada ayahnya, dan sekarang ayahnya mulai menghasut kakak tertuanya yang berusia 27 tahun.
Sungguh demi apapun, Raga benci pekerjaan mereka sebagai mafia.
Kembali lagi pada Raga, pria itu berjalan memasuki mininarket tersebut. Mencari stok pembalut yang bungkusnya masih mengkilap, lalu mengambilnya satu-pack sesuai dengan keinginan Rara.
Setelah itu Raga langsung menuju kasir untuk membayar, sementara mengantri, Raga dengan susah payah menyembunyikan pembalut itu agar tidak ada yang melihat.
"Berikutnyaa," Seorang kasir mengintruksi.
Raga pun maju dan meletakkan pembalut itu diatas meja kasir. Membiarkan penjaga kasir itu menanganinya.
"Berapa mbak?"
Penjaga kasir itu menyebutkan harganya. Dan Raga membayarnya.
Sebelum Raga beranjak pergi, ia diam sebentar ditempatnya, memperhatikan penjaga kasir wanita itu. Raga mengingat-ingat dimana ia pernah bertemu gadis berseragam kasir ini.
"Maaf, bisa keluar dari barisan? Antrian harus dilanjutkan." Ucap penjaga kasir itu dengan sopan.
Raga masih bergeming. "Kita pernah ketemu?" Tanyanya.
Gadis yang tidak lain adalah Ruth itu menggeleng. "Maaf, mungkin anda salah orang. Berikutnya," Ucap Ruth mengintruksi agar pria asing dihadapannya ini keluar dari barisan.
Raga pun keluar dari barisan, membiarkan gadis itu menangani pembeli yang lain. Setelah tidak ada lagi pembeli yang ingin membayar, Raga kembali mendekati gadis itu.
Ruth yang benar-benar tidak mengenali Raga pun mulai risih karena tatapan Raga yang seperti ingin menikamnya. "Maaf, ada yang bisa saya bantu?" Tanya Ruth pada akhirnya.
"Lo, gadis bau, Ah maksud gue, Lo---",
"Kamu mungkin mengenal saya, karna saya memang gadis bau yang ngampus diuniversitas yang sama dengan kamu. Tapi saya tidak mengenal kamu, silahkan keluar jika tidak ada keperluan," Jelas Ruth dingin.
Ruth tau betul. Jika ada yang menyebutnya gadis bau, maka orang itu berkuliah ditempat yang sama dengannya. Sudah pasti itu.
Raga menatap Ruth dengan lekat, Kacamata besar itu masih tersampir, rambut yang biasanya dikepang kini digulung keatas, Dan tidak ada bau busuk seperti biasanya.
"Siapa nama lo?" Tanya Raga penasaran.
Ruth memilih mengabaikannya, dan menatap kedepan, sesekali mengawasi pembeli yang ada disana.
Raga pun kembali bertanya. "Nama lo siapa?" Ulang Raga.
Mata Raga tiba-tiba terhenti pada sebuah Name-tag yang terpasang diseragam kasir gadis itu. Pantas saja Ruth tidak menjawab, Ternyata memang sudah terjawab tanpa Raga harus bertanya.
"Ruth Kim-Alfiora," Raga mengejanya dan berhasil tau namanya.
Ruth masih berusaha mengabaikan Raga.
"Lo kerja disini?" Tanya Raga lagi. Entah kenapa ia dibuat penasaran dengan Ruth.
Ruth tidak menjawab, ia menangani pembeli yang ingin membayar. Setelah pembeli itu pergi, Raga kembali bicara.
"Mungkin gak sopan kalo gue nanya tanpa kita saling kenal." Tiba-tiba Raga menyodorkan tangannya. "Perkenalkan, gue Raga Diandra, yang tadi pagi gak sengaja bikin lo jatoh karna kesandung kaki gue," Jelas Raga.
Dan Raga tertegun, ia dibuat takjub. Ketika Ruth hanya melirik tangannya sekilas dan mengabaikannya. Membiarkan tangannya menggantung.
"Wah," Raga menurunkan tangannya lagi, Ia tidak percaya ini. Untuk pertama kalinya ada gadis yang bisa mengabaikannya segigih ini.
Raga tersenyum tipis. "Yaudah gakpapa. Yang penting lo tau nama gue. Betewe, ini pembalutnya bukan punya gue," Ucap Raga memberitahu.
"Saya gak nanya," Jawab Ruth cuek.
Sekarang Raga merasa konyol, Astaga! Ia merutuki kekonyolannya. "Okelah, Gue anterin pembalutnya dulu, nanti gue balik lagi. Tapi ini gue bukan Jasa pengantar pembalut, ya. Adek gue yang minta dibeliin,"
Sekali lagi, Aku gak nanyaaa!
Raga pun memilih hengkang dari minimarket itu, membiarkan Ruth sibuk dengan banyak pembeli. Mimpi apa dirinya, menggoda gadis yang notabennya dijauhi dikampus.
Mungkin karna Gadis kolot dan bau itu berani menolak sodoran tangannya.
Raga jadi Gila!
- To be continue -