webnovel

Lembah Ibukun

"Apa yang kau temukan?" tanya Haoran saat melihat wajah Emma berseri-seri Pemuda itu menyipitkan matanya dan mengamati Emma dengan penuh perhatian. "Hati-hati kalau berjalan sambil buka ponsel.. Nanti kau bisa tersandung."

Setelah berkata begitu ia menarik tangan Emma agar gadis itu tidak membentur tembok rendah yang menjadi pegangan tangga.

"Eh.. iya.. Terima kasih," balas Emma. Ia mulai memperhatikan jalannya. Dalam hati ia menggerutu, seandainya ia tidak harus menyembunyikan kemampuannya dari orang lain, akan lebih mudah baginya untuk terbang saja, supaya tidak perlu kuatir tersandung sesuatu.

"Apa kau menemukan hal yang cukup menarik?" Haoran bertanya lagi.

Emma balas menatap Horan dan berpikir sejenak. Apakah ia dapat membagikan apa yang ditemukannya kepada Horan atau tidak...

Akhirnya menyerahkan ponselnya kepada pemuda itu. Haoran mengenakan kaca mata hitamnya dan membaca berita yang ada di ponsel Emma. Perhatiannya segera tampak tersedot pada artikel itu dan ia bahkan berhenti sejenak untuk menyimak isinya.

"Wahh... ternyata memang hal itu benar benar-benar terjadi pernah terjadi. Apa beritanya bisa dipercaya?" tanyanya dengan antusias. Ia tidak menunggu jawaban Emma karena ia telah memeriksa sendiri nama media yang menulis artikel itu dan menemukannya bukan media abal-abal. "Ini media terkenal... berarti berita ini benar... Astaga! Hebat sekali kalau hal seperti ini pernah terjadi sebelumnya. Ternyata memang ada orang seperti itu ya... Seharusnya pemerintah memberi dia medali atas perbuatannya."

Emma terkesima melihat antusiasme Haoran. "Kau berpikir begitu?"

"Benar. Aku yakin akan ada begitu banyak perusahaan di dunia ini yang ingin mendapatkan penemuannya. Bayangkan, ada berapa banyak orang kelaparan yang akan dapat diberi makan jika teknologi ini diterapkan..." cetus Haoran dengan penuh semangat.

Ketika mendengar kata-kata Haoran, seketika dada Emma terasa sesak. Entah kenapa ia seperti pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya. Tapi kenapa dadanya terasa sesak?

"Kau kenapa?" tanya Haoran lagi. "Wajahmu seperti melihat hantu."

Emma menggeleng. "Tidak apa-apa. Hanya saja sepertinya aku pernah mendengar ada orang yang mengucapkan hal yang sama seperti yang barusan kau katakan."

"Tentu saja, kan? Kalau sampai ada orang yang bisa memberikan panen raya kepada banyak orang seperti itu, dia akan memberi makan begitu banyak orang. Tidak akan ada lagi kelaparan di dunia ini."

Emma mengangguk. Haoran menyerahkan ponsel Emma kembali pada gadis itu. "Ini sangat menarik. Ayo kita berjalan lebih cepat. Teman-teman kita sudah jauh."

Haoran dan Emma kembali fokus pada perjalanannya mengejar teman-teman mereka yang sudah jauh di depan. Emma merasa kalau sampai ia kembali mencari tahu maka ia tidak akan bisa berhenti. Ia tidak ingin menarik perhatian Madame Delaval.

"Baiklah, anak-anak. Kita sudah tiba di taman yang kedua. Kalian boleh duduk di rumput dan menikmati makan siang kalian sambil menikmati pemandangan yang indah ini. Kita punya waktu setengah jam untuk makan siang bersama dan beristirahat. Setelah itu kita akan masuk ke dalam istana Versailles untuk melihat peninggalan-peninggalan raja dan ratu Prancis yang luar biasa," kata Madame Delaval sambil memberi tanda kepada murid-murid dengan payung kuningnya agar mereka berkumpul di sebuah lapangan rumput yang berada di dekat air mancur yang cantik.

Waktu yang dipilih Madame Delaval sangat pas. Saat mereka semua duduk menikmati piknik makan siang, sinar matahari sudah tidak terlalu terik. Suasana terasa sangat menyenangkan. Semua 44 murid SMA St. Catherine segera mencari posisi yang menyenangkan lalu mulai membuka kantong bekal makan siang mereka. Haoran dan Alex duduk disebelah Emma karena memang mereka yang berjalan paling lambat sehingga berada di paling belakang.

Sambil menggigit croissant-nya, Emma tidak dapat menahan diri untuk terus memikirkan tentang panen raya lima belas tahun lalu. Memang benar, dengan kemampuan ayahnya mengendalikan tanaman, seharusnya ayahnya dapat menghilangkan kelaparan di seluruh dunia. Ia ingat waktu di Afrika Barat, ibu dan ayahnya bekerja sama mendatangkan hujan dan menghijaukan seluruh lembah gurun.

Bila memang demikian, kenapa ayahnya tidak tampil mengungkapkan kemampuannya kepada pemerintah? Tentu pemerintah akan sangat senang. Siapa pun orangnya yang berhasil meniadakan kelaparan di muka bumi tentu akan dianggap sebagai pahlawan. Ia akan dipuja dan dielu-elukan semua manusia, pikir Emma dalam hati.

Kenapa ayahnya tidak melakukan hal itu? Apakah ayah dan ibunya memang sengaja tidak ingin menarik perhatian?

"Hei.. lihat ini," Haoran tiba-tiba menyentuh bahu Emma. Rupanya ia juga memikirkan hal yang sama saat menyantap makan siangnya. Haoran tadi mengeluarkan ponselnya dan mengetik kata kunci tentang bio hacker dan panen raya karena ia sangat penasaran.

"Ada apa?" tanya Emma yang segera tergugah dari lamunannya.

"Tadi aku mencari kata kunci bio-hacker dan panen raya. Kau tahu, ternyata ada beberapa artikel menarik dari belasan tahun lalu," katanya kemudian sambil menunjukkan layar ponselnya kepada Emma. Gadis itu meneliti layar ponsel Haoran dan menyimak isinya.

"Lembah Ibukun[1] (Berkat) di Afrika Barat adalah fenomena keajaiban alam yang membuat para penduduk terselamatkan dari kelaparan...." Emma membaca kalimat pertama dan seketika dadanya berdegup kencang. Ini pasti berita tentang perbuatan ayah dan ibunya dulu yang menurunkan hujan dan menghijaukan lembah waktu itu.

"Ini luar biasa!" seru Haoran. "Ayo, teruskan membaca. Kau akan terpesona menyimak isinya."

Pada suatu hari yang panas di tahun 2042, tiba-tiba timbul keanehan di sebuah daerah di Afrika Barat yang telah menderita kekeringan selama lima tahun akibat pemanasan global. Tiba-tiba saja turun hujan yang sangat deras sepanjang hari dan keesokan harinya orang-orang yang tinggal di sekitar lembah itu melaporkan keajaiban berupa tumbuhnya berbagai pohon dan tanaman pangan di seluruh lembah yang telah berubah menjadi gurun karena begitu lama tidak tersentuh air.

Lembah itu hingga kini masih hijau dan memiliki sumber air abadi yang memberi kehidupan bagi begitu banyak manusia di sekitarnya. Kini lembah tersebut menjadi cagar alam dan disebut sebagai Lembah Ibukun.

"Lembahnya masih ada..." gumam Emma. "Ini benar-benar luar biasa."

"Iya, kan? Aku akan coba membujuk ayahku untuk mengizinkanku bertualang ke Afrika kalau kau mau ke sana," kata Haoran tiba-tiba.

"Ke Afrika? Kau mau apa ke sana?" tanya Emma keheranan.

"Aku bilang, aku mau bertualang ke Afrika kalau kau mau ke sana," Haoran mengulangi kata-katanya. "Atau ke Limoges. Terserahmu..."

Emma menatap pemuda itu dengan ekspresi kaget. Ia tidak mengira Haoran akan mengatakan hal semacam ini. Kenapa? Apakah Haoran mencurigai sesuatu?

.

.

[1] Ibukun adalah kata dalam bahasa Yoruba (Nigeria) yang berarti "Berkat" atau "Blessing"