"Hei.. kau kenapa? Wajahmu tampak pucat sekali. Kau sakit?" tanya Haoran keheranan. Ia telah melihat Emma yang tampak menjadi resah di sampingnya. Ia buru-buru mengeluarkan botol minuman dari tasnya dan menyerahkannya kepada Emma. "Minumlah dulu, biar kau merasa lebih tenang."
Emma mengangguk lemah dan meminum air pemberian Haoran. "Terima kasih..."
"Baiklah, kami akan lewat pintu satu lagi." Madame Delaval mengangguk sedikit kepada petugas katedral dan memberi tanda kepada murid-muridnya agar mengikutinya. "Anak-anak, kita lewat pintu satu lagi. Jangan sampai terpisah."
"Kau mau beristirahat di sini? Aku akan menungguimu," kata Haoran. "Madame Delaval tidak akan tahu kita menghilang. Alex akan membuatnya sibuk."
"Te.. terima kasih. Aku mau kembali ke shuttle bus saja," kata Emma. Ia tidak berani mengambil risiko menampakkan dirinya di sekitar katedral. Kalau polisi tiba dan entah bagaimana bisa mengenalinya, ia tidak mau ditangkap.
Ia tidak boleh ditangkap! Ia masih harus menemukan jejak orang tuanya.
Haoran seakan mengerti bahwa pasti terjadi sesuatu pada Emma. Gadis itu tiba-tiba menjadi pucat, tidak seperti biasanya.
Ia segera bergerak mencari Alex dan mengatakan sesuatu kepadanya. Pemuda itu mengangguk dan memberi tanda oke pada Horan dengan melingkarkan jari telunjuk dan jempolnya. Tidak lama kemudian Alex dan David telah menghampiri Madame Delaval dan membombardir guru bahasa Prancis mereka dengan begitu banyak pertanyaan tentang Katedral Notre Dame.
Sementara itu, Haoran menarik tangan Emma untuk kembali ke shuttle bus meereka yang parkir di blok sebelah. Emma masih gemetaran saat ia akhirnya duduk di kursi bus. Ia sangat takut memikirkan bahwa di luar sana ada polisi yang sedang mencarinya.
Haoran tidak bertanya apa-apa ketika mereka sudah tiba di bus. Ia merasa bahwa Emma pasti akan menceritakan sendiri kepadanya apa yang terjadi bila gadis itu ingin bercerita. Ia tidak ingin menduga-duga ataupun memaksa Emma untuk terbuka kepadanya.
"Haoran, kau sudah bisa meninggalkanku. Aku tidak apa-apa," kata Emma setelah beberapa saat. "Nanti kau ketinggalan mengunjungi Notre Dame. Aku dengar gereja itu indah sekali."
Haoran hanya mengangkat bahu.
"Aku sudah pernah ke Notre Dame, kok," jawab pemuda itu dengan santai. "Aku udah tahu apa yang ada di dalamnya. Aku juga sudah pernah naik ke menara di puncak Katedral ini. Jadi aku tidak terlalu kehilangan apa pun."
Emma menatap Haoran dengan mata membulat. "Kau sudah pernah ke Paris, ya?"
Haoran hanya tersenyum mendengarnya. Emma mendesah pendek. Ah, seharusnya ia tahu pertanyaannya sangat tidak perlu. Orang sekaya keluarga Lee pasti tidak asing dengan bepergian ke luar negeri dan mengunjungi kota-kota terkenal di seluruh dunia. Bagi mereka, sangatlah mudah untuk sekadar jalan-jalan ke Paris.
"Baiklah kalau begitu," kata Emma kemudian.
"Kau menceritakan kepadaku apa yang terjadi?" tanya Haoran akhirnya. Ia menatap Emma dengan pandangan mata yang sama sekali tidak menghakimi atau pun mendesak, membuat gadis itu merasa tidak enak jika terus-terusan merahasiakan sesuatu dari Horan.
"Aku akan memberitahumu apa yang terjadi, tapi tidak sekarang. Apakah kau mau menunggu?" tanya gadis itu dengan suara pelan.
Haoran mengangguk. "Tentu saja."
"Terima kasih," kata Emma. Gadis itu memejamkan mata sambil memijat keningnya. Ia masih merasakan dadanya berdebar. Sungguh menakutkan jika polisi memang mengetahui bahwa ialah yang melakukan sesuatu terhadap pohon jeruk itu.
Kalau sampai mereka menangkap dirinya, apa kira-kira yang akan mereka lakukan kepada Emma?Apakah mereka akan membawanya ke suatu laboratorium dan menyelidiki dirinya?
Tentu ia tidak boleh membiarkan hal itu terjadi. Mulai sekarang Emma bertekad untuk berlaku sangat hati-hati saat menggunakan kekuatannya. Peristiwa tadi malam adalah hal yang tidak perlu dilakukan.
Lain kali ia akan mencoba kekuatannya mengendalikan tanaman saat ia berada di tempat yang benar-benar terpencil sehingga ia tidak perlu takut akan ada orang yang menyaksikannya.
Sambil memikirkan itu, Emma memejamkan matanya dan mencoba menenangkan diri. Haoran ikut bersandar di kursi dan memejamkan matanya juga. Mereka lalu duduk berdua seperti itu selama satu jam. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.
Pukul 12 siang, murid-murid SMA Saint Catherine yang lain akhirnya tiba kembali di shuttle bus bersama dua guru mereka.
"Baiklah anak-anak, sekarang kita akan menuju ke Versailles untuk berkunjung ke istana Ratu Marie Antoinette. Kalian pasti akan terkesima melihat betapa megah dan mewahnya kediaman raja dan ratu Prancis zaman dulu," kata Madame Delaval yang diiringi sorakan murid-muridnya.
Shuttle bus itu segera melaju ke daerah Versailles di pinggiran kota Paris dan pukul 1 siang rombongan itu tiba di kota tujuan. Dengan penuh semangat mereka turun dari bus dan berjalan dari parkiran menuju istana Versailles yang demikian megah dan dihiasi dengan berbagai aksen emas.
"Aku sudah meminta izin dan kita bisa menikmati makan siang kita sambil piknik di salah satu taman yang ada di istana Versailles ini," kata Madam Delaval dengan gembira.
Saat murid-murid turun dari bus mereka diberikan kantong berisi makanan makan siang mereka yang berisi setangkup sandwich, croissant, buah-buahan, dan air mineral. Seperti biasanya, Istana Versailles sangat ramai oleh pengunjung.
Musim panas selalu merupakan musim turis yang sangat ramai. Halaman depan istana Versailles yang besar sudah dipenuhi antrian yang mengular berbelit-belit. Walaupun mereka sudah membuat pemesanan dan memiliki tiket untuk rombongan, tetap saja murid-murid SMA St. Catherine harus mengantri cukup lama sebelum mereka bisa masuk ke dalam kompleks istana.
Namun demikian, penantian itu sungguh sepadan. Begitu mereka melangkahkan kaki ke balik pagar, mereka dapat melihat taman yang demikian cantik ditata oleh profesional.
"Jangan sampai kalian berpisah dari rombongan. Ingat kita harus tetap bersama-sama," kata Madam Delaval sambil mengangkat payungnya yang berwarna kuning cerah. Ia berjalan menuruni tangga ke sebelah kiri diikuti para murid yang berjalan sambil mengagumi taman besar yang mereka lihat dari atas.
Emma sangat tertarik melihat banyak sekali pohon jeruk di taman pertama yang mereka lewati. Gadis itu memang sangat menyukai tanaman dan sudah menjadi kebiasaannya untuk selalu menyiramkan air minuman yang ia bawa ke tanaman yang ia lewati sehari-hari.
Ia sering menemukan tanaman yang tampak menderita karena kekeringan atau tidak terawat saat ia berjalan pergi atau pulang dari rumahnya. Namun, tidak satupun tanaman yang ada di taman ini terlihat membutuhkan satu tetes air tambahan. Semuanya tampak sehat dan bahagia.
Melihat semua tanaman yang demikian sehat, tiba-tiba Emma teringat ayahnya, Kaoshin Stardust. Ayah pasti akan sangat senang berada di taman ini, pikirnya.
Haoran yang berjalan di dekat Emma dan Alex segera menarik tangan Alex dan menginterogasinya tentang apa yang terjadi di Notre Dame tadi. Caranya bertanya kepada Alex dengan suara berbisik membuat Emma memutar matanya. Kedua pemuda itu seolah sedang berkomplot melakukan sebuah kejahatan.
"Alex, tadi ada apa ada yang menarik di Notre Dame?" tanya Horan.
Alex hanya mengangkat bahu dan balas berbisik. Aku tidak begitu mengerti. Kau tahu sendiri bahasa Prancisku kurang bagus. Tapi yang jelas, sepertinya beberapa petugas di sana membicarakan tentang pohon jeruk ajaib yang tiba-tiba menghasilkan begitu banyak buah dalam waktu satu malam. Kami lalu mengintip dari atas menara untuk mencari tahu pohon apa yang mereka maksudkan. Kenapa begitu membuat heboh. Aku sempat mengambil fotonya, lho..."
Dengan bangga ia lalu mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto. Di situ tampak sebuah pohon jeruk yang berbuah sangat lebat dikerubungi beberapa orang polisi berseragam yang tampak saling berbicara. Mereka ditemani dua orang staf katedral yang kebingungan.
"Dari desas-desus yang kudengar, mereka sedang kebingungan, bagaimana bisa pohon jeruk itu berbuah lebat dalam semalam. Aneh sekali, kan?"
"Jangan-jangan ini karena global warming," kata Horan. "Tapi ini dampak yang menguntungkan karena kita bisa punya lebih banyak buah dalam waktu singkat."
"Dari sikap mereka, sepertinya mereka menganggap ini lebih serius dari hal itu. Aku mendengar ada kata-kata seperti bio-hacker atau semacamnya," kata Alex dengan nada seperti sedang membahas teori konspirasi. "Mereka takut ada hacker biologi yang sanggup mengubah susunan gen tanaman dalam waktu singkat dan sepertinya hal ini pernah terjadi sebelumnya."
"Pernah terjadi sebelumnya?" Emma segera membulatkan matanya dengan penuh perhatian. Ia menjadi sangat tertarik. "Mereka bilang begitu?"
"Kalau bahasa Prancisku tidak salah dengar ya..." kata Alex. "Waktu aku keluar Notre Dame aku pura-pura tersesat, karena aku ingin mengambil foto dari jarak dekat. Dan aku mendengar mereka sedang membahas apakah peristiwa ini dilakukan oleh orang yang sama seperti 15 tahun lalu."
"Lima belas tahun lalu??" Emma merasakan dadanya berdebar kencang. Bisa jadi dulu terjadi sesuatu dan ayahnya terlibat di dalamnya. "Kau tahu peristiwa apa yang mereka maksudkan?"
Ia harus mencari tahu apa yang terjadi waktu itu untuk mendapatkan petunjuk keberadaan ayahnya.
"Mungkin ada di internet. Kita bisa cari tahu nanti," Haoran yang menyadari perubahan sikap Emma kemudian memutuskan untuk menghentikan percakapan mereka karena teman-teman mereka sudah jauh meninggalkan ketiganya. "Ayo, kita ikuti rombongan, jangan sampai ketinggalan. Nanti kita bisa membahasnya lagi."
Emma mengangguk. Ia melangkah mengikuti Haoran dan Alex, tetapi dengan sigap tangannya segera membuka internet di ponselnya dan mencari berita yang dimaksud Alex. Dengan lincah ia mengetik beberapa kata kunci yang dicarinya. Lima belas tahun lalu berarti... tahun 2041. Bio hacker. Prancis.
ENTER
Sepasang matanya membulat melihat beberapa tautan berita yang isinya mirip, tentang sebuah panen raya yang misterius di sebuah daerah di Prancis. Sambil terus berjalan mengikuti Haoran, Emma mengklik satu tautan untuk membacanya.
PANEN RAYA SETELAH GAGAL PANEN DUA TAHUN BERTURUT-TURUT AKIBAT GLOBAL WARMING, PETANI DI LIMOGES MERASA BAHAGIA. NAMUN APA YANG SEBENARNYA TERJADI?
Inikah peristiwa yang mereka maksud? pikir Emma keheranan. Ia dengan cepat membaca headline itu dan menemukan bahwa sekelompok petani di Limoges, Prancis merasa putus asa karena sudah cukup lama gagal panen. Kasus itu menjadi perhatian nasional karena ada seorang petani yang bunuh diri akibat depresi sebab ia selalu gagal panen dan tidak dapat membayar pinjaman ke bank.
Pada suatu hari, tiba-tiba saja semua tanaman pangan yang mereka tanam tumbuh subur dan langsung memberikan panen hasil yang melimpah. Dalam waktu satu malam.
Ini pasti perbuatan ayah! pikir Emma dengan perasaan meluap-luap. Tidak salah lagi. Ini pasti perbuatan Kaoshin Stardust...