Emma dan Haoran berjalan meninggalkan toko Ruby & Co menuju toko pakaian wanita di lantai yang sama. Emma membantu Haoran memilihkan mantel yang cantik untuk ibunya dan syal berwarna merah yang menurut Haoran merupakan warna kesukaan beliau.
"Ibuku berulang tahun beberapa minggu lagi," kata Haoran. "Rasanya pas sekali kita bisa mengunjunginya."
Emma teringat password laptop Haoran. 12 April. Apakah itu ulang tahun ibu Haoran?
"Tanggal 12 April?" tanya Emma kepada Haoran.
Ternyata dugaannya benar. Pemuda itu mengangguk bersemangat.
"Ibuku pasti akan merasa senang dan sangat terkejut melihat kedatangan kita," kata Haoran dengan gembira.
Emma ikut tersenyum berbagi kebahagiaan Haoran. Mereka lalu mampir ke toko bunga dalam perjalanan menuju rumah ibu Haoran. Haoran memilih sebuah buket bunga besar dan cantik. Ia juga membawa keranjang berisi buah-buahan.
"Astaga, Emma... sudah enam tahun..." bisik pemuda itu dengan agak gugup saat mereka sudah kembali melaju di mobil menuju alamat rumah ibunya.
Emma ingat, Haoran terakhir kali bertemu ibunya saat ia berusia 14 tahun, dan kini ia sudah hampir 20. Sungguh masa enam tahun yang sangat sepi bagi Haoran.
Emma sendiri sudah lebih dari 14 tahun tidak bertemu ayah dan ibunya. Kerinduannya kepada mereka sudah tidak tertahankan.
Karena itulah ia sangat mengerti apa yang dirasakan Haoran, dan ia ikut senang untuk pemuda itu. Ia tak sabar ingin menyaksikan pertemuan antara Haoran dan ibunya.
Emma menggenggam tangan Haoran dan meremasnya pelan. Perjalanan menuju rumah ibu Haoran terasa begitu lambat.
"Tuan muda, kita sudah sampai," kata supir dengan penuh hormat saat membukakan pintu bagi Haoran dan Emma.
Mobil mewah yang mereka tumpangi telah berhenti di depan sebuah rumah besar yang tampak sangat teduh dari luar. Pagarnya tinggi dengan gerbang besar dari logam berwarna hitam.
Emma mengenali rumah itu sebagai rumah yang sering diperhatikan Haoran lewat akses satelit yang diberikan Goose kepadanya. Ah, tidak salah lagi. Pasti itu rumah tempat tinggal ibu Haoran.
Haoran tampak agak gugup. Ia berkali-kali merapikan kerah bajunya dan merapikan rambutnya. Wajahnya yang tampan dipenuhi berbagai emosi yang campur aduk. Ia sangat gembira, sekaligus terharu. Tangannya agak gemetar ketika ia memencet bel di pintu gerbang.
Ia juga berkeras membawakan sendiri oleh-oleh untuk ibunya, dan tidak membiarkan supir menyentuh semua hadiah itu. Ia telah meminta Emma membawakan karangan bunga untuk ibunya, sementara ia membawakan kotak-kotak berisi hadiah untuk sang ibu.
Tidak lama kemudian pintu gerbang dibuka oleh seorang pelayan setengah baya.
"Selamat sore, Anda mencari siapa?" tanyanya dengan pandangan penuh selidik.
"Aku.. aku ingin bertemu ibuku. Namaku Haoran," kata Haoran cepat.
Seketika pelayan itu menekap bibirnya dengan ekspresi kaget. Ia membelalakkan matanya dan terpaku di tempat.
"Tu.. Tuan Muda Haoran?" tanyanya memastikan.
"Apa ibuku ada di rumah?" tanya Haoran. Pelayan itu mengangguk kuat-kuat. Matanya tampak mulai basah. Dengan tergesa-gesa ia mempersilakan kedua tamu ini masuk.
"Nyonya sedang duduk di taman belakang," kata pelayan itu. Ia berjalan dengan langkah-langkah cepat. Haoran mengikutinya dengan penuh semangat. Emma berjalan di belakangnya. Saat menelusuri taman cantik di depan rumah, ia melihat beberapa pohon jeruk yang pernah dilihatnya lewat kamera satelit.
Haoran dan Emma langsung merasa familiar dengan bagian luar rumah tersebut karena mereka telah sangat sering melihatnya sebelum ini. Haoran hampir setiap hari menyapa ibunya lewat satelit, walaupun ibunya tidak mengetahui bahwa anaknya memperhatikannya dari jauh.
Selama ini Haoran sudah cukup senang bisa melihat ibunya dari jauh dan memastikan beliau sehat dan baik-baik saja. Tetapi kini, perasaannya sungguh diliputi kebahagiaan yang tiada tara, karena sebentar lagi ia akan segera bertemu langsung dengan ibunya... setelah terpisahkan selama enam tahun.
"Nyonya... Nyonya... ada tamu!" Terdengar suara pelayan itu begitu bersemangat memanggil sang nyonya rumah.
Mereka telah berjalan melintasi taman di depan rumah, dan masuk ke dalam rumah besar yang ditata dengan sangat nyaman itu, melewati ruang duduk, dapur, dan keluar ke taman belakang.
Ketika Haoran tiba di ambang pintu belakang, ia telah melihat wanita yang begitu dirindukannya.
"Ibu..." panggilnya dengan suara serak.
Ia segera menaruh semua barang-barang yang dibawanya dan berlari ke arah wanita cantik yang sedang duduk di bangku taman sambil menata potongan-potongan bunga ke dalam vas kaca.
Wanita itu mengangkat wajahnya saat mendengar Haoran memanggilnya. Untuk sesaat ia tampak terpaku di tempatnya, dengan tangan terangkat memegang setangkai bunga lily dan terhenti di udara. Wajahnya tampak dipenuhi ekspresi terkejut dan tidak percaya.
"Haoran?" tanya wanita itu dengan suara ragu. Ia mungkin mengira karena kerinduannya pada anak satu-satunya sudah demikian parah, sehingga ia berhalusinasi.
Namun ketika Haoran menghambur dan memeluknya dengan sekuat tenaga, wanita itu segera tersadar bahwa ia tidak sedang berhalusinasi dan tidak bermimpi.
"Ibu....." tangis Haoran sambil membenamkan kepalanya ke pangkuan ibunya yang masih membeku di tempat. Sepasang matanya yang indah tampak berlinangan air mata. Dengan ragu-ragu ia menyentuh rambut Haoran dan merasakan bahwa ia memang sedang memeluk anaknya.
Sesaat kemudian, setelah kesadarannya pulih seratus persen, segera terdengar tangis meraung-raung dari sang ibu. Ia menjerit dan balas memeluk Haoran erat sekali. Tak henti-hentinya ibu Haoran menciumi anaknya.
"Oh... anakku sayang... Ya Tuhan... kau bisa kemari? Oh, anakku.. ibu sangat merindukanmu... Ibu sangat... sangat rindu..."
Ia mencium pipi, hidung, rambut anaknya dengan tanpa puas.
Ibu dan anak yang telah berpisah selama enam tahun, bertangisan tanpa merasa malu akan sekitar mereka.
Emma berdiri memperhatikan dari ambang pintu dengan perasaan haru. Ia tidak ingin mendekat dan mengganggu momen kebersamaan Haoran dan ibunya. Mereka pantas untuk mendapatkan waktu privasi, dan meluapkan kerinduan di antara mereka tanpa gangguan orang lain.
Karena itu Emma pelan-pelan mundur dan memberikan mereka ruang dan waktu pribadi. Pelayan yang tadi membawa mereka masuk rupanya juga mengerti dan ikut mundur bersama Emma ke dalam rumah, membiarkan Haoran dan ibunya saling bertangisan.
Emma duduk di ruang tamu dengan bunga di tangannya. Ia memperhatikan desain rumah ibu Haoran dan memuji selera beliau yang tampaknya menyukai ketenangan. Semuanya terlihat begitu menyejukkan.
"Silakan minum tehnya, Nona," kata sang pelayan tidak lama kemudian sambil menyajikan teh di perangkat minum teh yang terlihat sangat mahal.
"Terima kasih, Bu," balas Emma.
Ia menerima teh dan menyesapnya pelan-pelan sambil menunggu Haoran dan ibunya menyelesaikan urusan di antara mereka.
Emma tidak perlu menunggu terlalu lama. Setengah jam kemudian Haoran masuk ke dalam rumah dengan menggandeng ibunya. Saat mereka masuk bersama, Emma dapat membandingkan betapa miripnya Haoran dengan sang ibu.
"Ibu, ini Emma yang kuceritakan tadi," kata Haoran dengan nada agak manja kepada ibunya, sambil berjalan ke samping Emma. "Ia yang nenemaniku selama ini. Uhm.. kami punya hadiah untuk ibu."
Ia lalu berjalan dengan gembira kembali ke dapur tempat ia tadi meninggalkan kantung-kantung belanjaannya dan mengeluarkan kotak hadiahnya satu persatu.