Sore, seperti biasa suamiku menyempatkan diri untuk pulang, hari ini dia piket 24 jam sampai besok pagi.
"Ayah piket?" tanyaku menyambut kesayanganku pulang
"Iya sayang, bunda mandi dulu, ayah mau cuci piring dulu, sebentar ayah ajak keluar sebentar buat beli makan malam," ucapnya, ia bergegas mengganti pakaian kerjanya beralih menggunakan kaos oblong dan celana pendek selutut.
"Oke," jawabku, namun aku tak kunjung beranjak. Aku masih mengintipnya sampai benar-benar pergi ke belakang untuk mencuci piring. Ponselnya sudah di letakkan di meja riasku seraya ia sambungkan dengan chargenya untuk mengisi daya.
Mau intip hp ayah dulu ah, liatin statusnya di privacy khusus diliat aku aja apa semua orang bisa liat nih, awas aja dia aneh-aneh. Setelah merasa aman dari pandangan suami, aku segera mengambil ponselnya, ku buka aplikasi WhatsApp dan melihat storynya.
Lega, ternyata diliat semua orang, bahkan ada beberapa yang komen tapi ga di balas. Isshh, kenapa ga di balas sih? Apa ayah malu ya ngakuin aku istrinya, gerutuku. Aku letakkan kembali ponselnya ke tempat semula.
Aku menurut pada titah suamiku, pergi membersihkan diriku, tak butuh waktu lama aku sudah siap sekaligus memoleh wajahku dengan make up tipis, sebelum suami mengajakku keluar untuk berburu makan malam.
"Ayah, bunda sudah siap," teriakku dari depan meja rias, suamiku sudah melirik ke arahku dan kemudian masuk ke dalam kamar mandi.
Aku menunggunya sembari memainkan ponselku. Membuka beberapa aplikasi yang menghiasi ponsel bututku, merk anu yang belum juga mau di ganti sama suami. Aku masih ingat, ponsel itu hadiah dari adikku atas prestasinya mencapai sukses di tempatnya bekerja. Itu sudah sangat lama, entah mungkin sudah 3 tahun lebih dan masih ku pakai sampai sekarang.
"Yuk yank, kita jalan," suamiku sudah siap, ia baru saja habis menyisir rambut pendeknya, badannya sudah wangi. Tangannya mengibas-ngibaskan kaos yang dipakai, mungkin menyingkirkan debu yang sedikit menempel.
"Kok ayah pakai parfum?" tanyaku.
"Emang kenapa? Biar harum sedikit donk bun." Suamiku mengerlitkan kedua alisnya pertanda ia merasa kebingungan dengan pertanyaanku yang mungkin baginya tidak masuk akal.
"Kalau keluar sendiri, ga boleh pakai parfum ya sayang, sekarang sama bunda, ya udah ga apa-apa," ucapku seraya melemparkan senyuman termanis padanya.
"La emang kenapa?" tanyanya lagi, sembari berjalan ke arah pintu keluar rumah kemudian menoleh ke arahku yang masih berjalan di belakangnya.
"Nanti ada cewek-cewek goda ayah, bunda ga mau, kita kan ga tahu fikiran orang kayak gimana sayang," jawabku ketus.
"Astaga bunda, ada-ada saja, ga usah mikir aneh-aneh sayang, ayok jalan, bunda mau makan apa sekarang?" Suamiku sudah mengeluarkan sepeda motornya dari garasi yang menjadi satu dengan milik kantornya. Aku naik di belakangnya setelah ia menyalakan mesin kendaraannya.
"Ayam bakar gimana yah? Yang kemarin lusa itu enak," ajakku, kemudian memeluk pinggangnya posesif.
"Ya sudah, ayo kita beli."
Sepanjang jalan tak henti-hentinya aku mengoceh, ada saja yang menjadi pembahasanku, ada saja yang aku tanyakan. Suami yang entah tingkat kesabarannya setinggi apa, dengan sabar mendengarkanku juga menjawab semua pertanyaanku.
"Yah belinya dimana?" tanyaku lagi. Aku memang tidak tahu dimana suamiku membelikanku ayam bakar kemarin lusa. Baru beberapa minggu aku menetap disini, aku belum pernah keluar tanpa suamiku, dia selalu berpesan, kalau kemana-mana agar aku minta untu diantar olehnya.
"Ni bun, disini, bunda ikut turun? Atau mau tunggu disini?" tanyanya setelah kami turun bersama.
"Bunda tunggu saja." ucapku, aku duduk di atas sepeda motor, suamiku sudah masuk kendalam rumah jualan kecil itu. Aku memainkan ponselku seraya membuka story dari beberapa teman yang terdaftar pada kontak whatsappku.
10 menit menunggu akhirnya suamiku sudah keluar dari warung kecil itu, membawa bungkusan ayam bakarnya, diikuti seorang perempuan yang aku rasa adalah penjualnya, ia melirik ke arahku sesaat.
"Sudah bun, kita pulang ya?" ajak suamiku.
Ku perhatikan sekilas, perempuan itu melemparkan senyum pada suamiku, dan di balas juga oleh suamiku. Aku menatap sinis, ku tepuk sedikit pundak suamiku. Setelah naik di atas motor dengan sengaja ku eratkan peganganku pada pinggang suamiku.
"Itu dagangnya yah?" tanyaku kemudian.
"Iya bun, kenapa?" suamiku balik bertanya.
"Cantik ya? Kok dia senyum-senyum sama ayah?" Aku sedikit meninggikan nada suaraku.
"Namanya juga dagang bun, ya kan dia harus ramah sama pembeli, wajar dong dia senyum sama ayah," jawab suamiku yang sudah melajukan kendaraannya.
"Terus kenapa ayah harus senyum juga sama dia?" Aku mulai gemas, entah kenapa setiap perempuan yang ku temui disini selalu terkihat cantik dimataku, bahkan semua wanita aku cemburui.
"Terus ayah harus gimana bun? Masak ga di balas senyumnya? Hmmm ... apa ayah harus pasang muka datar saja?" jawab suamiku penuh kesabaran.
"Ganjen sekali sih dia, masak senyum sama suami orang, ayah juga, kenapa harus mau senyum sama dia sih?" gerutuku lagi.
"Ya sudah bun, mulai sekarang kalau ketemu orang, ayah ga akan pernah tersenyum lagi. Biar sudah orang kira ayah sombong, ga apa-apa, daripada bidadari di belakang ini berubah jadi monster, lebih menakutkan." Suamiku malah menggodaku, di depanku ia terkekeh geli melihat kecemburuanku.
"Ayah ahhhh ...." gerutuku lagi, ku tepuk pundaknya sedikit keras, wajahku sudah tertekuk seperti habis di gampar.
Sampai di rumah, kami langsung menikmati makanan yang sudah kami beli. Setelahnya suami balik lagi ke kantor untuk melanjutkan tugasnya, piket sampai besok pagi.
Aku masuk ke dalam kamar, ku buka aplikasi facebook milik suami yang kebetulan aku ketahui sandinya. Ku buka inboxnya, ku scroll dari paling atas sampai bawah, dan deg. Chat dengan mantannya dulu masih ada, itu 1 tahun sebelum ketemu denganku lagi.
Aku penasaran, langsung aja ku buka.
[Katanya facebook abang rusak? Kok bisa online?]
[Balas chatku bang.]
[Ehh kamu bisa baca tapi ga balas chat.]
[Sialan, maumu apa sih bang? Kamu ngindarin aku terus hah? Jawab!]
[Dasar an****, sialan, laki-laki kurang ****.]
[Kamu cuma mau main-main sama aku bang? Iya? Balas chatku bang, atau angkat telponku, kita perlu bicara.]
[Aku sudah bilang sama kamu ya, aku tidak mau kita putus, kita bisa nikah kan bang? Walau perbedaan agama, itu biasa kok dalam rumah tangga, ada kok yang jalanin begitu.]
[Woooeeee, balas sialan!]
Ahhh, dia mengumpat suamiku, kasian amat, makanya jadi cewek itu jangan kegatelan, ngejar cowok sampe segitunya, udah ga di sukai ya sudah dong, ga usah ngejar lagi. Aku ngedumel dalam hati.
Aku klik profilnya, dan ku blok dari akun suamiku. Awas berani-berani ngusik suamiku lagi, biar ku kasi racun kamu!!
Bersambung..