webnovel

Bab 3. Benalu Untuk Bertahan Hidup

Loncengnya berdenting ketika Juanes mendorong pintu kaca masuk. Ia menunduk untuk melihat sepatunya yang meninggalkan jejak kotor di lantai. Lalu menyelusuri sekitar yang sepi. Tidak ada manusia selain Chika yang tengah meracik minuman di balik kitchen bar. Jadi ia aman di sini.

"Jangan pakai seragam, Cantik. Lo mau bar Gue tutup karena terbukti bawa masuk anak di bawah umur, eh?"

"Cuma sebentar." Setidaknya sampai pukul tujuh malam, waktu di mana bapaknya pergi keluar rumah.

"Mood Lo lagi bermasalah nih. Siap kasih biru kalau tebakan Gue benar?" tawar Chika menaik turunkan alis tebalnya.

Juanes menggeleng sambil terkekeh. "Lagi gak punya sepeser pun."

Usai meletakkan tas dan jaketnya di atas kursi, Juanes bergegas ke belakang untuk mengambil alat pel dan mulai membersihkan jejak-jejak telapak sepatu yang ia buat. Sebelumnya ia telah melepas sepatu pantofelnya dan berganti sandal rumahan milik Chika.

Sekalian ia membantu mengelap meja dan membalik papan di pintu menjadi 'Closed' untuk beberapa waktu ke depan.

"Jus apel, please." Pinta Juanes yang mendudukkan diri di kursi tinggi sebelah kitchen bar.

"Sekali-kali tambah alkohol bolehlah. Stres Lo bakalan hilang. Gue jamin." Bujuk Chika.

"Tapi masalahnya gak bakal hilang." Sahut Juanes ketus. "Minta placebo aja." Lanjutnya.

"Kenapa gak sekalian narkoba?" tanya Chika diiringi tawa sumbang, namun tetap memberikan obat kosong berupa kapsul untuk adik teman masa kecilnya ini.

"Sudah keluar efeknya belum? Kalau kepala Lo sering pusing, mending ke apotek beli obat yang asli."

Juanes hanya geleng-geleng kepala.

"Kenapa lagi, Lo ditolak?"

"Gak juga sih," Juanes lebih dulu menelan kapsulnya, kemudian meneguk jus apel. "Gue tembak di tengah lapangan basket pas kelasnya olahraga. Dan ternyata pacarnya satu kelas."

"Terus Lo digampar?"

"Hampir."

Chika tertawa keras, tampak puas mendengar pengakuan Juanes. Itulah kenapa ia suka dengan gadis berkulit seputih susu ini; Juanes tidak pernah gagal untuk membuatnya tertawa lewat beragam kisah nyata yang dialaminya. Benar-benar hiburan yang berkualitas dan langka.

"Jadi, ada rencana cadangan untuk besok?"

"Enggak dulu. Ada sedikit masalah hari ini. Gue bolos sekolah."

"Gak terlalu kaget, itu memang kebiasaan Elo, kan?"

Juanes mengangkat bahunya. Sambil membantu Chika menata letak minuman yang baru saja datang, ia terus memutar otak, bagaimana ia mengatasi hari esok yang pasti akan lebih sulit dari apa yang ia bayangkan sebelumnya. Ia mengaku ceroboh tidak memikirkan dampak sebelum bertindak.

I got guns in my head and they won't go. Spirits in my head and they won't go.

Dan lagu Spirits oleh band lawas The Strumbellas yang diputar keras-keras oleh Chika terasa seperti menyindir Juanes yang kepalanya memang mau meledak.

"Sebelum ke sini Lo ke Petra?" Chika bertanya.

Lalu Juanes mengangguk. "Hm. Dari tadi siang Gue di sana. Sekarang tambah sore pulangnya jadi Ibu juga lebih lama jualannya."

"Kenapa gak cari mangsa di situ aja. Isinya anak orang kaya semua."

Gerakan mengelap gelas yang dilakukan Juanes terhenti, ia melirik Chika sinis. "Lo nyuruh Gue pacaran sama anak SMP?"

"Kenapa enggak? Dan kalau Lo lupa, Lo sendiri baru mulai masuk SMA, Girl."

"Y-ya... tapi Lo tahu sendiri Ibu pikirannya masih kolot. Gue jadi selalu pikir dua kali buat suka sama cowok yang gak seiman, risiko banget."

Chika hanya bisa menghela nafas panjang. Ibunya Juanes memang kolot, ia tahu itu, tapi ia baru tahu ternyata anaknya jauh lebih kuno.

Ia berakhir meletakkan lapnya di atas meja, menggunakan tangan sebagai tumpuan di atas meja dan menatap Juanes dengan jengah.

"Dengerin, ya. Umur Lo masih muda banget. Masih panjang perjalanan hidup Lo yang kita semua gak tahu bagaimana ujungnya. Dan di dalam perjalanan itu, harusnya Lo manfaatin sebaik mungkin."

Chika menjeda sebentar untuk ambil nafas. Kemudian mengubah ekspresinya menjadi lebih tenang. "Versi 'baik' dari setiap orang memang beda, tapi untuk kaum seperti kita, alangkah baiknya Lo pikir apa yang membuat kita bisa terus lanjutin hidup. Karena Gue yakin Lo juga tahu kalau gak semua orang terlahir berkecukupan, Nes. Sampai di sini paham?"

Tetap diam bukan berarti Chika tidak tahu jawaban Juanes. Ia mengenal gadis remaja ini sejak dirinya masih ingusan, sejak Windu masih hidup dan mereka bertiga bermain di sungai yang kotor sampai peristiwa itu terjadi.

Bagaimana pun juga, Juanes adalah tipe orang yang tegas, ulet, dan punya daya juang tinggi. Mungkin beberapa orang setuju untuk menambahkan 'tidak punya urat malu' padanya. Dan itu tidak apa.

Lalu untuk masalah keputusan, Juanes selalu cepat dan yakin terhadap apa yang ia perbuat. Sekali bilang 'tidak', ia akan memegang teguh sampai akhir. Namun jika hanya diam, artinya ia sedikit bimbang. Cenderung 'ya', namun butuh sedikit lagi dorongan. Dan itu tugasnya Chika.

"Di negara ini, sialnya orang luar lebih cakep dan berduit. Bukan berarti yang lokal gak baik, asal bisa pilih aja."

Juanes akhirnya mengangguk. Oke. Sudah ada kemajuan.

"Adilnya Lo cantik. Mayoritas cowok gak pandang cewek kaya atau enggaknya, mereka cuma butuh fisik. Jelas Lo punya itu. Tapi kalau masalahnya di Elo sendiri, Gue gereget banget pengen bilang kalau ini cuma sementara."

Tangan Chika mengipasi dirinya sendiri. Mendadak suhu AC tidak begitu mempan untuknya.

"Lo pacaran sama si A cuma sebentar. Sama si B juga gak bertahan lama. Jadi gak ada bedanya, kan? Entah itu lokal atau pun luar, satu keyakinan atau enggaknya, yang pasti gak Lo bawa serius sampai ke pelaminan. Untuk itu, harusnya Lo pilih yang berkualitas. Yang bisa Lo pandang terus ketampanannya, dan yang bisa cukupin Lo dengan uangnya. Sesekali jadi benalu, Nes. Untuk bertahan hidup."

Ting~

Suara lonceng kecil di pintu masuk bar kembali berbunyi. Membuat perhatian Juanes dan Chika segera tertuju ke arah laki-laki yang baru saja memasuki ruangan.

"Sorry, Gue boleh tunggu di sini, gak? Yang lain masih di perjalanan, kayaknya Gue yang terlalu awal datang. Dan kalau tunggu di luar lagi hujan, agak basah." Katanya ramah, diiringi senyum tipis yang membuatnya terlihat sangat manis.

Chika dan Juanes saling tatap. Lalu tertawa kecil.

"Boleh, boleh. Ambil duduk aja." Balas Chika tak kalah ramah. Cenderung genit.

Juanes sadar diri dengan membalik papan menjadi 'Open' lagi. Lalu melihat jam kecil di sudut meja bar pukul tujuh kurang. Ia lekas berganti sepatu dan mengambil tas beserta jaket untuk dipakainya.

"Boleh pesan soft drink?" tanya laki-laki itu sembari mengangkat tangannya.

"Oh, tentu." Jawab Chika. Ia juga memberi tatapan mengejek pada Juanes yang hanya dibalas kekehan oleh gadis itu.

"Gue pulang." Pamit Juanes.

"Tunggu. Bawa payung Gue di belakang gih." Suruh Chika.

Namun kepala Juanes menggeleng-geleng. "Gak usah, ribet."

Kemudian matanya sempat bertatap dengan laki-laki yang menghuni kursi pojok itu. Dia tersenyum lebih lebar, matanya yang sipit semakin terlihat seperti hanya garis lurus. Itu manis sekali. Juanes sampai dibuat gila olehnya.

Dan lebih gilanya lagi, ketika laki-laki itu berdiri di hadapan Chika untuk membayar minuman teman-temannya, ia bertanya, "Tadi itu adik Lo?"

Sedikit kaget, tapi Chika sudah memperkirakan itu akan terjadi.

"Totalnya 362.000 ribu." Ucapnya sengaja tidak menjawab langsung pertanyaan laki-laki ini.

Lalu saat akan menggesek kartu kredit, Chika memberanikan diri untuk bertanya, "Dia minum jus apel terus belum bayar. Boleh sekalian Gue masukin di tagihan Lo?"

"Sure," jawab laki-laki itu cepat. Ia memiringkan kepalanya dan tangannya mengetuk-ketuk meja. "Imbalannya 11 atau 12 digit?"

Chika tersenyum sensual. "11," itu jumlah nomor ponsel Juanes.

Dan inilah yang disebut benalu untuk bertahan hidup. Selamat mencoba.