webnovel

Bab 2. Kesan Hari Pertama

Bukan Juanes kalau tidak muncul sebagai pusat perhatian. Walau belum berganti hari di mana ia membuat kehebohan di lapangan basket, ia kembali menciptakan tontonan baru di kandang lawan.

Kali ini yang diajaknya bermain sebagai pemeran pendukung adalah empat orang gadis berseragam panjang, yang menutup aurat mereka sampai kepala, tapi berwajah tanpa ampun yang terlihat sangat merendahkan.

Di lengan kirinya terpasang bet warna kuning yang artinya berstatus sebagai murid tahun kedua. Ya, sepertinya mereka adalah senior yang dikatakan Isar perlu diwaspadai tadi. Tapi itu bukan suatu masalah besar atau ancaman berbahaya bagi Juanes.

Tidak sejauh itu, kawan.

"Apa? Coba sekali lagi diulangi!" Gadis yang paling gemuk menghadang di barisan depan.

Ia melotot pada Juanes, sementara yang ditatap malah tersenyum manis.

"Gue temannya Wildan anak kelas Sains 1, Kak. Ke sini buat ambil name tagnya dia." Juanes mengulang dengan nada ceria seperti apa yang diminta seniornya barusan.

"Atas dasar apa Lo yang ambil?! Gue tahu ini cuma akal-akalan Lo aja biar kelihatan baik di depan cowok. Tipe-tipe kayak Lo tuh cuma modal rupa, dijual berapaan sih?"

Juanes akan menandai perempuan yang baru saja mengatainya 'murahan'. Juga si gendut tadi yang berani menunjuk-nunjuk dada kanannya hingga terdorong ke belakang. Lalu dua orang lainnya, si kembar bernama Ara dan Vira yang hanya menonton dengan pandangan puas.

Para rubah ini harus diberi pelajaran. Harusnya Tomi menangkap kawanan seperti mereka yang telah hidup sebagai singa berbulu domba.

Puncak kemarahan Juanes terjadi saat seorang siswi lain datang untuk membeli bet kelas X. Dia dilayani dengan cepat, tanpa adu cekcok seperti yang dialaminya barusan.

Gadis berkepang dua itu terlihat ketakutan, dan dari situlah Juanes paham kenapa hanya dirinya yang diperlakukan tidak adil. Ternyata mereka memandang fisik, itu kesimpulan Juanes.

Tanpa ancang-ancang sebelumnya, Juanes langsung merebut minuman susu kacang hijau yang turut dibeli gadis itu, lalu melemparnya ke lantai dan mengenai sepatu hingga rok panjang para rubah betina itu.

Mereka menjerit tertahan. Menatap Juanes berkali-kali lipat lebih murka.

Juanes sendiri dapat merasakan aura gelap mereka. Namun ia tidak berhenti untuk menarik sudut bibir, yang mana menjadi sekuat pertahanannya selama ini. Ia tidak boleh goyah, ia Juanes Parika yang tidak mudah goyah.

"MAKSUD LO APA?!" teriak Ocha sambil mengentak-entakkan kaki.

Sedangkan si gendut Bella mulai berulah dengan melempar sekotak tisu besar ke arah Juanes, yang dengan mudahnya perempuan itu tangkap sekali angkat tangan. Kemudian ia lempar balik dan jatuh ke genangan susu kacang hijau.

Juanes tahu kini mereka menjadi tontonan gratis para siswa lain khususnya murid-murid tahun kedua. Sekarang ia berdiri di tanah lawan, ibarat bergerak sedikit, ia akan dikeroyok. Tapi lagi-lagi itu bukan masalah besar untuknya.

"Mohon maaf, ya. Gue datang ke sini dengan baik-baik cuma mau ambil name tagnya teman Gue. Sekalian beli bet kelas, dan itu beli, bukan minta!" jelas Juanes dengan suara lantang agar semuanya tahu kejadian yang sebenarnya. Ia juga melempar satu-satunya lembar uang yang ia punya ke lantai.

"Jujur aja, kalian jaga di sini juga dibayar kan sama pihak sekolah?! Tapi cara kalian melayani pembeli itu sama sekali gak ada etika. Gue merasa dirugikan," Lalu tangan Juanes menunjuk pojok kanan atas tempat CCTV dipasang. "Dan ada buktinya. Gue bisa buat laporan."

Ketika memandang sekitar pun, terlihat bukan hanya satu dua siswa yang mengangkat ponsel mereka. Hasil videonya harus disebarluaskan, karena Juanes merasa tidak sabar untuk semakin dikenal banyak orang.

"Nyali Lo cukup gede juga. Tapi semuanya gak terlihat sesederhana itu." Ara angkat bicara, sementara saudara kembarnya yang berpostur lebih pendek perlahan maju mendekati tempat Juanes berpijak.

Samar-samar Juanes mendengar dari kerumunan siswa bahwa intinya ia tidak akan berakhir baik-baik saja. Itu membuat kakinya sedikit bergetar. Lututnya lemas seketika mengetahui fakta baru bahwa si kembar itu merupakan kerabat dari pemilik sekolah ini.

Mungkin karena itulah kasus mereka tidak pernah terungkap, tidak pernah ditindaklanjuti karena mereka punya latar belakang yang kuat. Tidak seperti dirinya.

"Masih berani maju?" tanya Vira dengan senyum miring.

Gadis itu berjarak kurang dari setengah meter di depan Juanes. Posisinya bersedekap, kedua netra tajamnya menatap Juanes lurus-lurus.

"Jadi Lo benar-benar punya muka tebal, ya? Ah, bukannya Lo cewek yang bikin kontroversi di lapangan tadi? Sepengen itu Lo terkenal? Gak heran sekarang Lo berdiri nyampah di sini." Vira mencemooh diikuti gelak tawa dari ketiga temannya.

Lebih gilanya Juanes malah maju satu langkah untuk memperpendek jarak mereka. Ia mengangkat dagunya tinggi-tinggi. "Dari tadi Gue penasaran, kenapa kalian pakai hijab?"

Vira langsung menepis tangan Juanes yang baru saja menyentuh ujung jilbabnya. "Jangan pegang-pegang Lo!" serunya tidak terima.

Juanes justru tersenyum amat lebar, bahkan menunjukkan rentetan gigi putihnya beserta dimple di pipi kirinya.

"Kita kayaknya gak jauh beda. Sama-sama kurang punya akhlak." Ucap Juanes mengakui dirinya tersebut. Lalu menambahkan, "bedanya Gue tunjukin secara terang-terangan. Sementara kalian umpetin secara mati-matian. Siapa yang tau, dibalik hijab kalian ada banyak kutu rambut yang bersarang."

Satu detik setelah Juanes selesai bicara, ia mendapatkan sebuah kado berupa tamparan maut di pipi kirinya. Meninggalkan sensasi panas dan kebas yang membuatnya terdiam untuk beberapa saat.

Vira membuat Juanes ingat kembali bagaimana rasanya ditampar telapak tangan. Setelah sekian lama akhirnya ia terbebas dari penyiksaan itu, kini ia merasakannya kembali. Tidak oleh tangan yang sama, namun efeknya tidak jauh berbeda. Sama-sama nyeri.

"Tampar lagi yang sebelah kanan, Vir." Kata Bella mengompori.

Sebelum itu terjadi, Juanes lebih dulu menampar balik Vira. Kekuatannya berlipat ganda, menimbulkan bunyi yang keras, hingga Vira mengeluh dan memegangi pipinya.

"DASAR, BITCH!" teriak Vira lalu menyerang rambut Juanes secara brutal.

Tentu Juanes menjambak balik rambut Vira, namun karena kepala perempuan itu tertutup jilbab, pasti tidak seimbang.

Ketika kepalanya mulai terasa pusing, Juanes bertindak lebih berani dengan menendang perut Vira sampai gadis itu tersungkur ke belakang.

Memberi alasan apa pun, Juanes sadar bahwa perbuatannya cukup keterlaluan. Nafasnya pendek-pendek bersamaan dengan nyalinya yang menciut kusut. Semua mata tertuju padanya seolah ia adalah monster yang mengerikan.

"Gila, Lo. Sinting." Maki Ara. Dan berbagai macam sahutan muncul setelahnya.

Juanes terdiam kaku tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk memperbaiki suasana ini. Ia ingin menghilang, meminjam kekuatan Mepshito barang sejenak. Namun itu tidak mungkin, faktanya ia harus menyelesaikannya satu persatu dimulai dari meminta maaf pada Vira.

Dan permintaan maaf itu sudah di ujung lidah, tetapi entah dari mana Wildan muncul, pemuda itu langsung mencekal pergelangan tangan Juanes dan menariknya secara paksa.

Tidak ada yang berani menghadang Wildan, kerumunan membelah jalan sendiri untuk membiarkannya lewat di koridor kelas.

Juanes juga tak berani memberontak. Terus menundukkan kepalanya sampai Wildan berhenti dan melepaskan tangannya begitu saja. Menyadari sekitar bahwa sekarang mereka berada di dalam bekas ruang laboratorium yang kosong.

"Ada yang mau Lo jelasin?" tanya Wildan datar. Tanpa ekspresi apa pun.

Jemari Juanes saling bertaut resah. Setelah mengulum bibir beberapa kali sambil terus berpikir, akhirnya ia menggeleng pelan. "Gak ada." Jawabnya.

Dan Wildan mengangguk. "Oke." Kemudian berlalu pergi.

Digantikan sosok Isar yang berdiri di depan pintu dengan nafas yang tidak teratur.

"Baru hari pertama loh, Nes. Lo berhasil bikin semua orang jantungan."

Juanes menarik sudut bibirnya. "Bagus, dong. Hari pertama itu harus berkesan. Biar Lo gak mudah dilupain."