Hari ini hari kesepuluh Rania menjadi mahasiswi fakultas hukum. Tidak ada tanda-tanda ia bertemu dengan Leo. Rania pun enggan mencari keberadaannya. Waktunya masih cukup panjang untuk dirinya bisa bertemu Leo. Masih ada tiga tahun ke depan. Masih ada hari-hari yang akan terlewati. Itu sebabnya Rania merasa tenang-tenang saja.
Di masa pandemi seperti sekarang ini sebenarnya mahasiswa diminta untuk tetap berada di rumah dan melakukan aktivitas perkuliahan secara online. Hanya memang pada mata kuliah tertentu diijinkan untuk datang ke kampus. Mengingat kasus penderita corona di Banjarmasin yang masih belum menunjukkan grafik turun.
Beberapa mahasiswa yang nekat datang, pasti karena ada kepentingan urgent atau sekedar janjian dengan pacar mereka.
Rania hari ini berada di kampus, dibawah pohon rindang, di gazebo paling ujung ia duduk.
Ia menunggu Septia yang tadi mengirim pesan mengajaknya jalan-jalan berbelanja ke mall. Santai sekali Rania duduk, sambil meneruskan episode lanjutan novelnya di aplikasi platform penulisan online nya.
"Hai kak, sudah tadi ?" tanya Septia.
"Lumayan, sudah selesai acara mu ?"
"Sudah kok kak, "
"emangnya ada acara apa sih Tia ?"
Rania penasaran melihat wajah Septia berbinar-binar. Pasti sedang terjadi sesuatu.
"Tia mau cerita tapi kakak janji menjaga rahasia ini ya," Rania pun mengangguk.
"Septia dapat pernyataan cinta kak,"
"Dari siapa ?"
"Dari Arifin, kakak tingkat kita."
"Kenal dari kapan Tia ?"
"Baru sih kak, tapi berasa lama."
"Kok bisa, ada kalimat baru berasa lama, maksudnya bagaimana ?"
"Kami tuh baru kenal kak, tapi tiap malem chat, ngobrol, video call, jadi kayak udah kenal lama banget" Septia bercerita sambil kakinya di ayun-ayunkan di ujung gazebo. Manja dan centil sekali Septia kala itu. Pantes banyak lelaki tergila-gila. Seperti juga dirinya dulu, saat hatinya belum terluka, ia juga centil dan menggoda. Namun seiring dengan berkembangnya luka dirinya kini menjadi kuat, tegar dan tidak mengenal kata manja.
Bagi Rania saat ini, lelaki adalah makhluk yang hanya bisa menyakiti wanita. Seperti abahnya juga Leo suaminya. Dibutuhkan pengamatan khusus dan pengenalan yang lama untuk mencari lelaki yang benar-benar baik.
Rania dan Septia pun akhirnya menuju mall sesuai janji mereka.
Sebelum mobil mendekati area mall tiba-tiba Septia berkata.
"Mobilnya di parkir di utara saja kak," Rania terkejut sambil bertanya.
"Kenapa harus di utara Tia ?"
"Biar deket kak, Arif nunggu Tia di cafe Boba di daerah cineplex atas kak."
Rania sedikit terkejut,
"Jadi kamu janjian dengan Arif ?"
"Iya kak, kak Rani jangan marah ya,"
Tia mengatupkan kedua lengannya di depan hidungnya, ia benar-benar memohon.
"Tia ingin ngenalin kak Arif ke kak Rani, Tia ingin minta pendapat apakah kak Arif orang baik atau bukan, begitu kak"
"Tia mohon jangan marah ya kak."
Rania hanya bisa mengangguk pasrah, ingin marah tapi nggak tega, kalau nggak marah rasanya mau marah.
Mestinya Tia jujur dari awal jadi Rani bisa siap-siap. Atau mungkin kalau jujur Tia khawatir Rani nya nggak mau diajak ketemu dan nganter Tia ke mall itu.
"Tadi di kampus kan udah ketemu Tia, kok sekarang ketemu disini lagi ?"
"Di sini kak Arif lagi jumpa dosennya kak,"
"Oh...."
"Tadi maksudnya Tia langsung pulang, tapi begitu kak Rania mau diajak ke Mall Tia akhirnya mengiyakan ajakan kak Arif ke mall juga" Begitu penjelasan Tia panjang lebar.
Mereka berjalan beriringan melewati beberapa stand yang nampak tutup. Menaiki ekskalator hingga sampai di tempat yang di tuju.
Dua lelaki nampak berbincang dengan hidangan dua cup boba di hadapannya.
Tia bersemangat sekali menuju tempat mereka, saat Arif lelaki yang tadi di sebut Tia pacar barunya melihat mereka, ia melambaikan tangan pada Tia.
Tia mendekat, Rania berada di belakangnya.
"Tia kenalkan ini pak Leo"
Tia dan dosen tadi berjabatan tangan. Hingga Tia pun menoleh ke arah Rania.
"Oh iya kenalkan juga ini kak Rania, mahasiswa baru yang sering antar Tia pulang. Kak Rania ini juga penulis lho." Suara Tia bersemangat memperkenalkan Rania pada Arif dan pak Leo.
Rania mendekat, menjabat lengan Arif lalu menjabat lengan Leo.
Betapa terkejutnya mereka berdua. Mereka adalah dua orang yang pernah dipersatukan Tuhan dalam ikatan pernikahan. Pernikahan yang berakhir tragis.
Pernikahan tanpa kata putus tanpa kalimat cerai namun berada dalam tempat yang berbeda tanpa kabar tanpa nafkah.
Rania menatap Leo lekat. Dosen yang tadi dipanggil Leo ternyata adalah Leo yang dikenalnya. Laki-laki yang menjadikan Rania datang dan menimba ilmu disini.
Tajam tatapan mata Rania padanya, seolah hendak menerkam dan menyerang, namun demi menuntaskan dendam Rania pun menahan.
Sedangkan Leo menatap Rania dengan pandangan penuh haru, seolah ada sesuatu yang ingin dikatakan namun bibirnya kelu. Seolah ada yang ingin diucapkan namun lidahnya tak mampu. Hingga Leo pun hanya mampu terdiam dengan bibir yang kelu.
Leo menatap Rania tanpa berkedip, ada pendar-pendar rindu dimatanya. Seandainya mungkin ingin sekali ia memeluk Rania, mengecup bibirnya dan melumat seluruh erotisme yang ia miliki.
Sayangnya, Leo tak punya keberanian itu. Bukan hanya karena Leo baru saja bertemu wanita ini namun lebih dari itu karena sebenarnya Leo merasa sangat bersalah.
Rania, wanita yang ia nikahi beberapa tahun silam, yang tiba-tiba pergi tanpa alasan, yang meninggalkan duka berkepanjangan dalam kehidupannya.Duka yang hanya bisa ia simpan sendiri tanpa pernah ada kesempatan berbagi dengan orang lain.
Beberapa kali Leo sempat berangkat ke Malang, ke rumah yang dulu sempat Rania tinggali tetapi rumah itu kosong.
Leo juga sempat membuat janji dengan Rania untuk bertemu di Bandung, saat itu Leo ada tugas di Jakarta namun demi Rania Leo berangkat dulu ke Bandung tapi sayang Rania tidak pernah muncul, hingga Leo menganggap Rania pembohong dan sedang mempermainkannya. Mereka pun kembali terpisah. Rania yang malang, Leo yang menyedihkan.
Kisah itu akhirnya terpenggal begitu saja tanpa ada penyelesaian. Rania yang akhirnya memilih pergi daripada bertahan meninggalkan luka teramat dalam.
Hidup yang terombang-ambing, tidak ada ketentraman. Belum lagi sakit yang ia derita selama menikah, membuat siksaan baru dalam episode hidupnya. Sakit yang tidak tampak namun memberi rasa.
Andai bukan karena istri Leo dan bundanya yang memohon padanya untuk menikah mungkin dirinya tidak akan pernah menikah dengan Leo selamanya.
Istri ke dua terkadang selalu identik dengan perempuan cantik, manja, menggoda, membangkitkan gairah. Sedang Rania bukan model wanita seperti itu. Dia wanita mandiri, tegar, tegas, tidak bertele-tele. Andai ia bisa manja mungkin ia akan jadi istri pejabat kelas atas sejak lama. Tapi ia tak bisa. Ia tak biasa bergandengan tangan dengan manja lalu meminta ini dan itu. Merayu begitu rupa kemudian menjual tawa dengan baju dan sepatu mahal. Rania tidak bisa melakukannya. Tidak bisa dan tidak pernah mencoba untuk bisa. Rania terlalu bodoh untuk berbuat seperti itu.
Itulah mengapa saat bersama Leo ia pun tak bisa melancarkan serangan begitu rupa untuk mendapatkan harta.
Ia pun tidak ingin merampas hak istri Leo. Jatah hari yang sudah ditentukan ia lewati dengan apa adanya.
Hingga beberapa kali saat giliran Leo berada di rumahnya, istri Leo kerap kali memberi tugas yang menjengkelkan.
Awalnya Rania biasa saja namun makin lama makin menjengkelkan saja.
"Pa, papa nanti tolong jemput Bunga ya karena mama nggak bisa langsung pulang setelah dari kantor." Bunga anak ke tiga Leo yang saat itu masih berusia empat tahun. Saat Leo meminta ijin ia tak mungkin tidak mengijinkan, padahal jarak antara rumah Rania ke sekolah bunga sekitar 60 menit tanpa macet, masih harus mengantar Bunga pulang kemudian Leo kembali lagi ke rumah Rania. Bila hari telah masuk petang Rania akan bilang.
"Sudah mas, harinya sudah petang mas nggak usah balik kerumah Rania ga pa pa kok."
Pernah suatu hari juga, "Papa dimana ?"
"Di rumah Rania ma, kenapa ?"
"Pulang dulu pa, mama lupa belum buang sampah, hari ini waktunya paman sampah membuang sampah pa, papa jangan nggak pulang lho nanti baunya kemana-mana."
Pernah juga suatu ketika,
"Papa, hari ini waktunya ambil raport Bintang,"
"Lho, papa kan sudah bilang hari ini harus datang ke acara saudara Rania, ma."
"Kok papa jadi mementingkan acara keluarga Rania daripada acara penerimaan raport Bintang, Pa."
"Bukan begitu ma, kita kan sudah berbagi tugas."
Selalu begitu hingga mereka terlibat perdebatan.
Bila mereka sudah berdebat maka tugas Rania menenangkan Leo, agar Leo tak gusar. Agar Leo tidak sedih. Agar Leo tersenyum lagi. Caranya bisa dengan bercinta atau mengalah.
Sesuatu yang terjadi berulang-ulang. hingga membuat Rania merasa letih.