Angin masih saja semilir ketika Rania menjejakkan kakinya di kampus pilihannya. Rania memarkir cantik mobilnya di bawah pohon rindang. Pohon besar ini letaknya hampir berhadapan dengan ruangan para dosen yang berdiri dua lantai.
Rania terdiam sejenak.
Ingatannya berputar pada kisah yang lalu saat dia bersembunyi di balik mobil yang kebetulan di parkir di tempat yang sama dengannya saat ini.
Hari itu ia begitu rindu pada Leo suaminya, tujuh hari tidak berjumpa sejak mereka berdebat keras di rumah kontrakan Rania.
Rania datang karena rindunya berlipat-lipat, Rania datang hari itu bukan untuk minta uang pada suaminya. Ia hanya rindu.
Sekali lagi suaminya menghindar. Begitu rupa ia ditinggalkan bersembunyi. Padahal hari itu panas demikian menyengat.
Saat Rania menunggu di ruang tunggu dalam ruangan itu, ia melihat suaminya Leo sedang berjalan di tangga itu bersama istrinya yang lain. Di pesan whatsAppnya tadi ia bilang ia sedang berada di rumah.
Melihat itu Rania bersembunyi dibalik mobil tempat ia parkir saat ini. Bukan karena takut pada mereka berdua namun karena Rania ingin mengambil gambar mereka dari jauh dan menggunakannya sebagai bukti bahwa ia telah dibohongi.
Hari itu Rania demikian sedih, namun hari ini di tempat yang sama dalam kondisi yang berbeda.
Hari ini Rania datang bukan lagi sebagai pengemis uang dan cinta namun hari ini Rania datang sebagai mahasiswa baru yang berkuliah dengan membayar sendiri uang kuliahnya, tanpa bantuan siapapun.
Rania datang dengan wajah baru dan semua ornamen mahal yang bertengger di tubuhnya. Semua yang berpapasan pasti melihat. Betapa penampilan Rania saat ini demikian istimewa.
Rania berjalan ringan, menyusuri jalanan beraspal menuju satu gedung tempat para mahasiswa baru berkumpul. Ia berjalan sendirian karena memang ia belum berkenalan dengan siapapun. Tak jadi masalah baginya, yang penting ia berhasil kuliah di fakultas hukum.
Seorang dosen tampan memasuki ruangan, masih muda belia nampaknya, beliau berkelakar sebagai pembuka suasana. Kelakarnya sebenarnya tak lucu tapi penampilannya cukup menggoda hingga puluhan mahasiswi yang ada di ruangan itu terpana.
Beliau memberikan kuliah tentang Pengantar Ilmu Hukum.
Dalam keterangannya beliau menulis,
Pengantar ilmu hukum (PIH) yaitu mata kuliah dasar yang merupakan pengantar atau introduction atau inleiding dalam mempelajari ilmu hukum, sering dikatakan pula bahwa PIH merupakan dasar untuk pelajaran lebih lanjut dalam studi hukum yang mempelajari pengertian-pengertian dasar, gambaran dan penjelasan tentang ilmu hukum.
Beliau memaparkan banyak contoh-contoh, hingga menutup lima belas menit terakhirnya dengan tanya jawab.
Banyak sekali yang ingin bertanya namun hanya dibatasi beberapa orang saja sebab waktu hanya tersisa lima belas menit.
Semangat para mahasiswa baru berhasil dibakar oleh pak dosen ganteng tadi. Pak dosen yang bicaranya banyak tapi tidak membosankan. Pak dosen yang baik dan rupawan sehingga membuat banyak mahasiswi mencari perhatian.
Memang benar, memiliki wajah ganteng adalah sebuah anugerah dari Tuhan sebagai pintu pembuka keberhasilan bila kita memanfaatkannya dengan baik. Karena bagaimanapun juga wajah ganteng dan cantik akan menarik minat setiap orang yang melihat untuk banyak berbincang sehingga komunikasipun menjadi panjang.
Disanalah awal mula keberhasilan di raih. Seharusnya mereka yang memiliki wajah tampan berbangga diri dan mensyukuri kelebihan itu lalu menempatkannya di tempat yang benar.
Sayangnya sebagian dari mereka yang merasa cantik atau tampan terkadang justru terjebak pada keinginan untuk di puji dan dibanggakan. Terkadang juga kecantikan dan ketampanan digunakan sebagai alat untuk memuaskan nafsu pribadinya saja.
Acara tanya jawab berakhir, mata kuliah pertama bagi mahasiswa baru pun selesai.
"Namanya siapa kak ?" ujar gadis cantik yang duduk berjarak dengan Rania.
"Oh aku Rani," Rania menjawab tanya tersebut.
"Asli mana kak ?"
"Aku asli Banjar juga *ding"
"Ulun Septia* ,kak."
Mereka pun asik berbincang sambil berjalan bersisihan. Sesekali beberapa orang menyapa mereka dengan senyum tersungging.
Septia gadis Bandung yang ikut belajar disini karena ada rumah kakaknya di Banjarmasin ini. Kakaknya baru saja diangkat menjadi pegawai tetap di sebuah instansi swasta di kota ini.
Rania dan Septia berjalan sejajar, Septia dengan jins dan atasan lengan panjang longgar berwarna navy dan jilbab senada nampak anggun saat wajahnya diterpa mentari siang. Begitupun Rania, dengan gamis merah hati dan jilbab pink yang berkibar, pipi putihnya ikut berwarna pink saat garangnya mentari menyapa.
Mereka berdua seperti dua orang kakak beradik. Kakak beradik yang dipertemukan oleh Tuhan dengan cinta dan kasih sayang. Mereka memang baru saling mengenal namun cara mereka saling memanjakan membuat mereka tampak membahagiakan.
Tampak anggun dan mempesona.
Rania mengajak serta Septia naik di mobilnya, ia berjanji akan mengantar sampai di rumah. Saat ini Rania butuh banyak kawan untuk memperluas jaringan. Itu juga yang menjadi sebab Rania membangun komunikasi seluas-luasnya.
Ac mobil mulai mengeluarkan hawa dingin, memberi kesejukan bagi mereka berdua. Rania mengendarai mobilnya dengan berhati-hati menuju rumah Septia di Handil. Rania dengan usia dan pengalamannya yang luar biasa di samping Septia tidak lantas membuatnya congkak dan sok dewasa tetapi lebih pada sikap mengayomi, menyayangi juga menghormati Septia. Hal itulah yang membuat Septia merasa nyaman bersama Rania.
Mereka menyusuri jalanan menuju rumah Septia sambil bercerita panjang lebar.
"Jadi kamu tinggal disini dengan kakak mu saja ?"
"Inggih"
"Kak Ran, kakak sudah punya suami ?" Rania tersenyum lalu menggeleng.
"Apakah itu artinya tidak punya siami ?" Septia bingung melihat Rania menggeleng.
"Kakak tidak menikah berarti belum punya anak dong." Ucap Septia lucu sekali.
"Kakak sudah punya anak."Rania menjawab lagi.
"Apaaaa ?, tidak menikah tapi kakak punya anak ? Astaghfirullah kak."
Rania tertawa keras di dalam mobilnya, Septia justru bengong mendengar tawa itu.
"Kok kakak tertawa sih, kakak bangga ya hamil di luar nikah ?"
"Ya Allah Septia kamu bikin aku tertawa saja."
"Emangnya kenapa kakak tertawa ?"
"Aku punya anak tapi bukan berari aku hamil di luar nikah, aku pernah menikah tetapi suamiku ada yang meninggal, ada yang bercerai." Panjang lebar Rania menjelaskan berharap Septia mengerti penjelasannya namun sayang Septia justru bertanya lagi.
"Emang suami kakak berapa banyak, Kak?"
Septia masih juga tidak mengerti, ya, meskipun Rania dan Septia satu angkatan tetapi dirinya memang masih terlalu muda unuk mengeri perjalanan hidup Rania yang sungguh rumit. Rania memiliki banyak kisah dimana untuk memahaminya memang bukan hal yang mudah. Itu sebabnya Septia tidak terlalu mengerti dengan penjelasan yang disampaikan Rania.
"Kalau kamu ingin tahu cerita masa lalu kakak nanti deh
kakak kasih cerita."
"Janji ya. . ." Ucap Rania penuh harap.
"InsyaAllah." Rania menjawab sambil tersenyujm.
Kemudian mereka berheni di depan sebuah rumah yang asri sekali, Septia meminta diturunkan disana. Dan Rania pun melanjutkan perjalanan menuju pulang.