webnovel

Apa yang akan aku lakukan dengan nomor itu?

Lokasi Penambangan Mineral di California

"Mark, aku tahu kau tahu dimana Laura," ucap seorang laki-laki bermata biru pada seorang pria berambut keriting.

Lawan bicaranya hanya tersenyum simpul, tidak menghiraukan, sibuk dengan berkas-berkas yang ada di depannya.

Lelaki bermata biru mulai marah karena diabaikan. Dia beranjak dari tempat duduknya lalu mendekati pria berambut keriting itu.

"Jangan pancing emosiku, Mark!" geramnya seraya menarik paksa kerah baju Mark.

Bukannya takut, Mark malah tertawa mengejek, "Axel, jangan begitu sombong. Kau tidak lebih baik daripadaku. Hanya satu kata dari Laura, kau akan membusuk di penjara."

Penghinaan yang baru saja Axel terima membuat darahnya mendidih, dia memukul Mark dengan keras sampai pria itu terlempar membentur dinding.

Mark mengaduh lalu menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya, "Kau pikir, memukulku akan menyelesaikan masalah?" Mark merasa di atas awan. Dahulu, Mark sangat takut terhadap Axel, tapi sejak Laura mulai meninggalkan Axel, dia tidak takut lagi.

"Aku tidak peduli. Aku cukup puas bisa memukulmu. Sekarang, katakan padaku dimana Laura?" Axel menggeram.

Mark terkekeh, "Rupanya, seorang Axel, kepala organisasi bawah tanah yang terkenal itu, sekarang meminta belas kasihan seorang wanita, hem?"

Axel kembali memukul Mark, kali ini Mark membalas. Terjadilah perkelahian, sampai sebuah dering telepon menghentikan pergulatan mereka.

"Hallo," Mark segera mengangkat telepon.

"Mark, untuk apa membuang waktu berkelahi dengan pengkhianat," suara seorang wanita di seberang telepon terdengar jijik saat mengatakan pengkhianat.

Axel tahu betul itu suara Laura. Gegas ia merebut telepon dari tangan Mark.

"Laura, aku sudah berbaik hati mengurus perusahaanmu di North Carolina, rasanya tidak pantas kau menyebutku seperti itu," Axel berkata perlahan, mencoba mengendalikan emosinya.

"Ups, rupanya ada yang merasa tersindir. Baiklah, aku minta maaf."

"Kau diamana?" Axel langsung bertanya tanpa menanggapi ucapan Laura sebelumnya.

"Kau ingin apa?" Nada suara wanita itu berubah serius.

"Aku ingin berbicara denganmu, menjelaskan semua kesalahpahaman."

"Oh. Aku pikir kau hanya peduli soal tambang." Suara Laura terdengar sinis.

"Semua penting. Kesalahpahaman yang harus diluruskan juga tentang tambang. Seseorang mencuri payung merah pak Remus," Axel mencoba memancing Laura.

"Menarik. Baiklah, kita bisa bertemu bila kau seingin itu."

"Terima kasih Laura. Dimana aku bisa menemuimu?"

"Akan ku kabari, sebaiknya kau pulang saja. Tidak ada gunanya kau mengunjungi tambang. Aku belum berniat mengubah pikiranku," tegas Laura.

"Baiklah. Aku mendengarkanmu."

Sambungan telepon lalu terputus. Axel merasa belum terlalu puas dengan hasil pembicaraannya bersama Laura, tapi setidaknya dia mulai menemukan jalan untuk mengurai kerumitan.

"Kau cukup beruntung rupanya, nona Laura masih memberimu kesempatan," ujar Mark.

Axel tidak menjawab. Dia menyeka darahnya lalu berlalu dari tempat itu.

******

North Carolina, Meidenbourgh Corporation

Tika termenung memandang layar ponselnya. Di sana tertera sebuah nomor dengan nama kontak bertuliskan CEO menyebalkan. Hampir 30 menit berlalu sejak dia mulai memandangi kontak tersebut.

"Tika, apa yang kau lakukan," tegur Rose.

Tika langsung buru-buru mematikan layar ponselnya, "Tidak ada." Dia sedikit gugup. Rose adalah orang yang sangat jeli. Tika khawatir Rose sempat melihat nomor yang sejak tadi Tika pandangi.

Rose memicingkan matanya, lalu beralih melihat ke ponsel Tika. Sesuai dugaan Tika, dia sempat melihat nama kontak yang Tika perhatikan.

"Tika, kau akhirnya memiliki nomer CEO?" bisik Rose di telinga Tika.

Betapa terkejutnya Tika, ternyata Rose sudah mengetahuinya. Tidak mungkin baginya untuk berkelit, sehingga dia memilih jujur. Tika menganggukkan kepalanya.

Senyum Rose langsung terbit, "Tika, kamu hebat."

"Tidak sehebat itu."

"Ceritakan padaku, darimana kau dapat nomor CEO?" selidik Rose.

"Aku mendapatkannya dari pak Reiden, asisten sekaligus sekretaris pribadi pak Axel," jawab Tika.

"Waw, pak Reiden cukup pengertian rupanya."

"Iya, aku juga tidak menyangka, dia akan dengan mudah memberikan nomor pak Axel padaku."

Pagi tadi, di depan gedung kantor dia bertemu Reiden. Reiden menyapanya terlebih dahulu.

"Selamat pagi, nona Tika," Reiden tersenyum ramah.

"Selamat pagi," Tika membalas salam dengan gugup.

"Nona, tidak perlu secanggung itu dengan saya. Pak Axel sedang tidak ada."

Tika mengangguk. Pantas saja Reiden hanya datang sendiri, biasanya selalu bersama Axel. Tika sedikit merasa kecewa, dia berharap bisa melihat Axel.

"Mari masuk," ajak Reiden seraya memimpin jalan.

Tika mengekori Reiden. Namun, pikirannya tidak fokus, dia merindukan Axel. Alhasil dia tidak sadar ketika Reiden berhenti.

"Ah!" Tika menjerit tertahan. "Maafkan saya, pak Reiden"

Reiden tersenyum, "Saya yang minta maaf karena berhenti mendadak."

"Em, itu karena saya tidak memperhatikan jalan."

"Kenapa? Ada yang mengganggu pikiran, Nona?" pancing Reiden.

Wajah Tika bersemu, sepertinya Reiden mengetahui isi pikirannya.

"Ti-tidak ada," terbata Tika menjawab.

"Nona boleh kuminta nomermu?"

"Bo--leh, tapi untuk apa?" Tika mencoba menebak tujuan Reiden meminta nomornya.

"Apakah salah menyimpan nomer teman satu kantor?" Reiden balik bertanya.

"Tidak juga," akhirnya Tika memberikan nomor ponselnya pada Reiden.

"Baiklah sudah saya simpan, saya permisi Nona," pamit Reiden meninggalkan Tika.

Semenit setelah Reiden berlalu, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Pesan tersebut berisi nomor kontak Axel. Awalnya Tika ragu untuk menyimpannya, tapi akhirnya dia memilih menyimpan nomor itu.

Namun, sekali lagi, dia tidak tahu harus berbuat apa dengan nomor itu dan hanya memandanginya selama setengah jam sampai Rose menegurnya.

"Ya ampun Tika, itu artinya pak Reiden mendukungmu."

"Mendukungku?" Tika bertanya heran, dia tidak mengerti maksud Rose.

"Artinya, dia ingin kau menjadi lebih dekar dengan pak Axel. Pak Reiden selalu bersama pak Axel, jadi dia pasti tahu seperti apa pimpinannya itu. Mungkin Axel adalah jenis lelaki yang berjiwa keras dan berhati batu tapi kesepian, untuk itu pak Reiden senang bila akhirnya ada yang mau mencoba mengikis kerasnya batu itu," Rose memaparkan teorinya.

"Apa benar begitu?" Tika setengah tidak percaya analisis Rose meskipun bisa jadi masuk akal.

"Aku yakin."

"Tapi, pak Axel benar-benar tidak memiliki ketertarikan apapun padaku Rose. Dia hanya menganggapku karyawan biasa," sendu Tika. Dia teringat pandangan dingin Axel serta ucapannya yang tajam beberapa hari lalu.

"Tika, dia bahkan mengajakmu makan malam berdua," Rose masih kekeuh dengan teorinya.

"Itu, mungkin tidak berarti apa-apa, Rose." Suara Tika semakin sendu.

Sebenarnya, hatinya bertanya-tanya. Axel begitu dingin dan kejam kemarin, tapi pria itu sudah mengajaknya makan malam dan bahkan memesankan taksi mewah untuknya. Jadi, apa maksudnya dari semua itu?

"Tika, jangan sedih. Kau sudah memiliki nomernya, kau bisa mulai bertanya padanya?"saran Rose.

"Akankah dia menghiraukan pesanku, Rose?"

"Kita tidak akan tahu sebelum mencoba. Ayolah Tika, jangan kalah dulu sebelum kau berusaha maksimal," Rose menyemangati.

"Aku hanya takut dia semakin tidak suka padaku, Rose."

"Astaga, Tika. Jadi kau hanya mau menjadi semakin bingung?" Rose mulai gemas. Rose tahu, Tika mencintai Axel, tapi gadis itu terus-menerus bimbang karena Axel bersikap ambigu padanya.

"Tika, aku sarankan kau untuk menghubungi pak Axel agar semuanya jelas. Kalau dia betul-betul tidak menyukaimu, kau bisa bersiap untuk tegar dan melupakan dia. Sehingga, bukan dalam perasaan tak menentu seperti saat ini,"papar Rose.

Tika mengangguk, Rose ada benarnya. Gegas dia menghidupkan layar ponselnya lalu mengirim pesan untuk Axel.