Vote sebelum membaca😘😘
.
.
Seorang pria menyesap rokonya sambil memainkan beberapa uang lalu kembali melemparnya ke dalam koper, di mana banyak sekali uang lainnya di dalam sana. Dia tersenyum puas sambil mengadahkan kepalanya ke atas menatap langit-langit.
Pria tua itu melonggarkan dasi dan menyandarkan tubuhnya di kursi, dia kembali menyesap rokoknya dengan penuh kemenangan. Tanpa pria itu sadari, pintu ruangannya terbuka. Seorang pria yang lebih muda darinya masuk dengan mata menatap tajam pria yang sedang terpejam menikmati hidupnya.
Suara langkah kaki Edmund yang semakin mendekat menyadarkan pria itu dari dunianya, pria itu tersentak kaget saat melihat Edmund masuk keruangannya. Tubuhnya kaku. Tangannya membuang asal rokok yang sedang dia pegang, dadanya naik turun melihat sorot mata Edmund. Matanya mengingatkan Marxel pada seseorang yang telah dia singkirkan dahulu.
Marxel tidak tahu bagaimana Edmund tahu dirinya masih berada disini, di Los Angeles. Mata Edmund penuh amarah, rahangnya mengeras. Ketakutan akan terbongkarnya cerita masa lalu Marxel menjadi hal yang dia takutkan setiap menatap mata Edmund.
"Terkejut, huh?" Edmund duduk di kursi yang ada di depan Marxel dengan tangan terlipat di dada dan kaki kanannya bertumpu pada kaki kirinya.
"A.. ada apa kau kemari, Ed ?" Marxel bertanya setenang mungkin, memperlihatkan wajahnya yang sangat ramah agar Edmund tidak melakukan sesuatu padanya.
"Berhenti berakting Marxel, aku tahu segalanya, Bodoh."
Marxel mengepalkan tangannya menahan rasa takut. Mata Edmund sangat mirip dengannya."Apa maksudmu, Edmund ? Bicaralah yang sopan pada kakekmu," ucap Marxel dengan tegas.
"Apa kau tahu, Marxel? seberapa besar amarah yang sedang aku tahan saat ini? Ingin sekali aku membunuhmu saat ini juga. Tapi tidak, aku bukanlah orang kotor sepertimu, kau sudah memegang banyak darah dengan tanganmu itu," ucap Edmund dengan tenang.
"A.. apa?" Marxel semakin ketakutan.
"Kau pikir aku tidak tahu kau bukan kakek kandungku?"
Tubuh pria tua itu menegang, keringat dinginnya bercucuran.
"Berhenti bicara omong kosong, Edmund"
"Kau yang berhenti berakting, Marxel, aku tahu semuanya. Aku tahu kau membunuh kakek kandungku dan kau bersikap seolah-olah menjadi pahlawan yang menemukan mayatnya dahulu." Edmund tersenyum saat melihat tangan Marxel gementar.
"Aku tahu kau menikahi nenekku karena tergiur oleh hartanya dan ingin memilikinya. Sayangnya kau mandul, jadi kau memanfaatkan anak dari mantan pelacurmu itu untuk menggodaku, lalu kau mengharapkan harta keluarga D'allesandro jatuh ke tangannya dan secara tidak langsung jadi milikmu." Edmund memainkan sebuah boneka yang ada di meja itu.
" Lexi terobsesi denganku karena sering kali kau siksa secara diam-diam. Lexi melampiaskannya dengan mencari perlindungan dan cinta dari orang-orang disekelilingnya,dan hanya aku yang peduli dengannya. Kau juga selalu menjauhi Lexi saat dia bersamaku, itu karena aku mengingatkanmu pada seseorang, bukan begitu?"
Marxel tetap bungkam, dia menahan amarah yang begitu dalam.
"Bayangkan saja jika nenek dan ayahku tahu tentang kejadian ini, kau akan membusuk di penjara hingga akhirnya memohon untuk dibunuh," ucap Edmund penuh penekanan. Marxel menatap tajam Edmund lalu tertawa. "Kau pikir aku takut, hah? Kau tidak punya bukti, Bocah Busuk."
Edmund tersenyum miring. "Kau meninggalkan jejakmu dimana-mana, Marxel. Aku mempunyai bukti rekaman saat kau menyuruh orang membunuh kakekku. Jangan kau lupakan bahwa aku memiliki hacker yang dapat membobol komputermu," ucapnya memutar rekaman suara dari ponselnya, rekaman yang berisi Marxel memerintah untuk membunuh kakek kandungnya.
Edmund menyandarkan pundaknya pada kursi sambil tersenyum kecil, menatap Marxel yang tiba-tiba berdiri lalu merangkak menuju kaki Edmund dengan penuh ketakutan, tangannya gementar. Saat kaki Edmund di hadapannya, Marxel bersujud memohon.
"Untuk apa ini?" Edmund memutar bola matanya malas.
Marxel menatap wajah Edmund yang memejamkan mata seolah menikmati angin.
"Bebaskan aku kali ini."
Edmund membuka matanya dan balas menatap Marxel yang ada di bawah kakinya.
"Kumohon, Edmund, aku akan benar-benar pergi dari kehidupanmu dengan jalang kecil itu." Marxel menatap Edmund dengan sungguh-sungguh.
Edmund membungkukan badannya hingga wajah marahnya terlihat jelas oleh Marxel. "Kau harus menjauhi keluarga D'allesandro hingga akhir hayatmu dan bawa anak kesayanganmu itu jauh-jauh. Jika aku melihatmu lagi setelah ini, maka bersiaplah untuk hidup dineraka. Kau mengerti?"
Marxel mengangguk dengan gementar.
Edmund menendangkan kakinya hingga Marxel sedikit terpental kebelakang, lalu dia menggesek sepatunya pada kursi dengan penuh jijik.
"Enyahlah kau parasit." Edmund membenarkan dasinya lalu keluar dari ruangan itu, meninggalkan Marxel yang sedang menatapnya penuh amarah dan juga takut.
Pria melajukan mobilnya kembali untuk kembali ke rumah sakit di mana istrinya berada. Saat Edmund tahu kebenaran tentang kejahatan Marxel pada kakek kandungnya, hatinya terasa terkoyak, tidak menyangka bahwa Marxel akan berbuat seperti itu padahal dia sudah menganggap Marxel sebagai kakek kesayangannya. Edmund memang mengetahui kalau dia bukan kakek kandungnya jauh sebelum hari ini, Rose yang memberitahunya. Namun, semua orang tidak mengetahui hal itu, mereka mengira kalau Marxel memang ayah kandung Sergío.
Pria tua itu begitu baik pada Sergío saat dirinya masih kecil, dia memperlakukannya layaknya anak kandung sendiri. Edmund juga menyayanginya, tapi tidak lagi setelah dia mengadopsi Lexi, rasa sayang Edmund pada Marxel berkurang. Dia tahu Marxel secara diam-diam suka memukul Lexi agar wanita itu mendekatinya, itu sebabnya Edmund memilih pergi dari Argentina.
Yang Marxel pikirkan adalah uang, terbukti dengan dirinya yang berpura-pura sakit agar tetap tinggal di Los Angeles dan Sergío membiayai hidup juga memberika salah satu cabang perusahaan yang ada di sana. Menyedihkan, kehidupan Marxel hanya untuk uang.
Dan Lexi, kini Edmund juga tahu penyebab Lexi ingin bersamanya, wanita itu menginginkan perlindungan yang tidak pernah dia dapatkan, tapi hal itu dimanfaatkan oleh Marxel untuk mencapai tujuannya. Tapi tetap, Lexi bersalah. Edmund mengirim Lexi kembali pada Marxel agar mereka berdua pergi dari dari Negara ini.
Sesampainya di rumah sakit, Edmund berlari ke kamar tempat Sophia berada. Terlihat di luar pintu kamar Sophia, Rose dan Sergío sedang sedang berbicara. Edmund mendekati keduanya.
"Bagaimana keadaan, Sophia?"
"Dia tidak ingin disentuh siapapun kecuali oleh Gunner, bahkan dokter sekalipun."
Edmund kembali menghela napasnya, semenjak kemarin, Sophia enggan bertemu siapa pun kecuali Gunner. Bahkan saat Edmund mendekatinya, Sophia menjerit sambil menangis dan memanggil nama Gunner.
"Dia mengalami hal yang berat, Ed. Biarkan dulu Gunner berada di sisinya," ucap Sergío menepuk bahu anaknya.
"Aku harus bicara denganmu, dad," ucapnya melangkah ke arah yang kebih sepi diikuti oleh Sergío .
"Ada apa?"
"Dad, aku tahu Marxel bukan kakek kandungku. Sejak dulu."
Sergío diam.
"Dan aku tahu, kau sangat menghormati dan menyayanginya. Tapi jangan salahkan aku jika aku melukainya kalau dia dan Lexi mengusik keluargaku lagi, aku melakukan apa yang seharusnya seorang suami dan ayah lakukan," ucapnya dengan perlahan, dia tidak ingin Sergío menyalah artikan hingga mengiranya akan menyakiti Marxel.
"Ya, daddy mengerti, mereka tidak akan bisa menemui kita lagi, terutama Lexi. daddy janji. Maafkan aku."
Edmund mengangguk. "Kali ini biarkan dia benar-benar pergi dari sini."
Sergío mengangguk sambil menghela napas lemah, Rose mungkin memang benar kalau dirinya terlalu menuruti Marxel bahkan ketika pria itu meminta untuk tetap tinggal. Beberapa minggu awal dia dan Lexi tidak melakukan sesuatu yang salah, Sergío pikir dengan begitu artinya Lexi mulai menikmati hidupnya setelah mendapatkan pelajaran kemarin.
"Jangan ada kebohongan lagi, Dad."
"Ya, aku janji."
"Aku memegang janjimu," ucap Edmund tersenyum kecil saat ayahnya menepuk bahunya.
"Pulanglah, dad, sepertinya Mom lelah. Aku bisa menanganinya dari sini."
Sergío mengangguk, mengusap kepala bagian belakang Edmund sebelum pergi dari sana bersama Rose.
Edmund menatap pintu yang terbuka, di mana Gunner keluar dari dalam sana.
"Bagaimana keadaannya?"
"Istrimu baik-baik saja, bayimu juga, tapi dia masih sedikit syok," ucap Gunner menjelaskan. "Aku pernah berkata padamu, Edmund, jangan sampai kehilangannya, jangan sampai kau menyakitinya."
Edmund terkekeh dan menatap malas Gunner. "Kemampuan seseorang memiliki batasan."
"Kau tahu, aku satu langkah di depanmu," ucapnya tersenyum kecil.
"Itu tidak berarti apa pun, Sophia dan aku memiliki ikatan."
"Kita lihat siapa yang akhirnya dia pilih." Gunner menaikan alisnya, dia tersenyum sebelum melangkah dari sana. "Menjauhlah dari Sophia, dia tidak ingin seseorang selain aku berada di sisinya," ucap Gunner sambil melangkah menjauh.
Edmund mengepalkan tangannya. Demi Tuhan, Sophia tidak akan pergi kemana pun, tidak tanpa dirinya.
***
Di rumah sakit yang sama, seorang pria terbaring lemah. Dokter mengatakan Jaden mengalami koma, entah sampai kapan pria itu akan terbaring lemah seperti ini.
Aurin mengusap air matanya yang lagi lagi jatuh, dia keluar dari ruang kamar Jaden untuk menghirup udara sejenak. Kaki Aurin melangkah ke taman belakang yang ada di rumah sakit itu, dia duduk di bangku tanpa mempedulikan orang-orang yang menatapnya yang memakai pakaian penuh darah.
Kejadian beberapa minggu terakhir adalah hal yang paling menyeramkan dalam hidup Aurin. Setiap malam dia berdoa agar Jaden yang gila itu mati. Tapi tidak, Aurin menarik kata-katanya lagi, dia tidak ingin ditinggalkan Jaden. Bagaimanapun pria itu adalah ayah dari bayi yang dia kandung.
Aurin yang kelelahan itu mulai kehilangan kesadarannya, dia tidak menyadari saat seorang dokter membopongnya menuju ruangannya. Pria itu membaringkan Aurin di ranjang yang ada di ruangannya. Dia juga menyuruh perawat untuk membantu Aurin berganti pakaian.
Menit demi menit berlalu, perlahan Aurin membuka matanya, dia mulai sadar dirinyaa berada di tempat asing.
"Sudah bangun?"
Aurin menengokan wajahnya ke asal suara. Pria itu datang dengan membawa nampan berisi makanan. Aurin duduk dan memandang pria asing itu dengan kening berkerut, saat pria itu duduk di samping ranjang sambil meletakan meja kecil untuk menyangga makanan, Aurin memperhatikan wajahnya.
"Siapa kau?"
"Tenanglah, aku bukan orang jahat. Namaku Allarick, aku yang membawamu kesini."
"Dimana ini?"
"Ini masih di rumah sakit, di ruanganku."
Aurin memicingkan matanya dan menatap seisi ruangan, terdapat jas putih yang menggantung yang menandakan dia seorang dokter. "Lalu kenapa kau membawaku ke ruanganmu bukannya membangunkanku?"
"Kau pingsan."
"Dan kau tidak membawaku ke salah satu ruang rawat pasien?" Aurin menerima sendok yang diberikan Allarick.
"Aku tidak tahu kenapa malah membawamu kemari, aku hanya mencoba menolongmu, percayalah," ucapnya meyakinkan Aurin.
"Siapa yang mengganti pakaianku?"
"Suster."
Aurin dengan segera mengangguk mengerti."Terima kasih," ucapnya memberikan kembali sendok itu pada Allarick.
Kening pria itu berkerut. "Makanlah."
"Aku harus pergi."
"Kau bisa sakit, bayimu juga," ucap Allarick dengan pelan hingga membuat Aurin memakan makanan itu. Dia mengingat bayinya, dia harus kuat untuk bayinya.
Tanpa disadari Aurin, Allarick menatapnya dengan tatapan berbeda sebelum keluar dari sana, dia nampak penasaran dan terpesona.
***
"Sophie lihat aku, tidak akan ada yang menyakitimu. Okay?"
Sophia menganggukan kepalanya pelan tanpa menatap Gunner.
"Aku harus pergi," ucapnya sukses membuat mata Sophia membulat, dia menatap Gunner tidak percaya.
"Bagiama jika ada yang jahat lagi padaku? Tidak bisakah kau tinggal?" dia berucap seakan tanpa kesadaran, matanya menatap kosong dan penuh ketakutan.
"Aku akan berada di dekatmu saat kau berkata akan ikut denganku, bukan menyuruhku diam denganmu."
Sophia menundukan kepalanya sedih dan kejadian dalam otaknya terulang lagi, saat Aurin dipukuli dan saat dirinya disayat. Sophia menggeleng-geleng lagi menghilangkan bayangan itu.
"Hei, hei, lihat aku." Gunner memegangi tangan Sophia yang akan menjambak rambutnya sendiri. "Tenang, Sophie."
"Aku takut."
"Edmund akan menjagamu," ucap Gunner membuat kesadaran Sophia semakin terangkat, dia menatap pria yang ada di sampingnya. "Dimana Edmund?"
"Aku akan memanggilkannya," ucap Gunner keluar dari ruangan itu.
Kesadaran Sophia mulai kembali, dia mengingat bagaimana siang tadi dirinya berteriak saat Edmund mendekat. Tuhan, dia menyesal telah melakukannya, sungguh Sophia tidak bisa mengontrol dirinya. Semua yang dia lihat itu selalu terbayang wajah Jaden yang menakutkan, bahkan pada Edmund, dia terbayang wajah orang-orang jahat itu. Edmund, suaminya, Sophia harap pria itu tidak marah karena dirinya bersama Gunner.
Satu detik kemudian, pintu ruangan terbuka, memperlihatkan Edmund yang berantakan.
"Edmund," ucap Sophia pelan dengan air mata yang jatuh pada pipi kanannya.
"Thanks, God," ucap Edmund berjalan kea rah Sophia lalu mendekapnya erat.
Sophia menangis, dia telah mengecewakan suaminya.
"Jangan menangis, Sophie, aku di sini," ucapnya mengecup kepala istrinya berulang-ulang.
Edmund melepaskan pelukannya perlahan, kedua tangannya merangkup pipi Sophia yang basah karena air mata. Jemarinya mengusap pipi istrinya yang basah, menatap manic emerald yang dia rindukan. Edmund menempelkan keningnya dan kening Sophia. Keduanya memejamkan mata mengatur napas mereka masing-masing.
"Maaf aku terlambat," ucap Edmund sukses membuat air mata Sophia kembali jatuh, dia memeluk suaminya erat.
Lalu adegan itu terhenti karena janin yang ada di dalam perut Sophia menendang dengan kuat. Keduanya tertawa. "Kau mengganggu kami, Sayang," ucap Edmund mengusap perut Sophia.
"Dia merindukanmu," ucapnya mengusap dagu Edmund yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus. "Maaf aku tidak mengenalimu tadi," ucap Sophia berhasil membuat Edmund menatap matanya.
Tanpa berkata, Edmund mencium bibir istrinya penuh dengan kerinduan.
"Aku mencintaimu, Ed."
---
Ig : @alzena2108