webnovel

BAB 20: "The Bedroom"

[15 Januari 2015]

Gadis berwajah pucat itu melirik tajam pria yang berdiri di sampingnya.

"Kenapa maksa aku ke sini, sih?!" Bentaknya, sampai orang-orang di koridor klinik itu menatap mereka dengan heran.

Pria itu membalas tatapan tajam gadis itu dengan tatapan sendu, "Kamu nggak bisa kayak gini terus, Naraya."

"Memangnya aku kenapa?" Naraya, nama gadis muda itu, bertanya dengan nada menusuk. "Memangnya aku sakit? Aku nggak sakit! Aku nggak gila!"

"Siapa yang bilang kamu gila?!"

Nafas kedua orang itu memburu karena saling balas berteriak. Orang-orang mulai menatap mereka penasaran walau tetap berjalan pura-pura tidak peduli.

"Terus kenapa mas bawa aku ke sini kalau bukan anggap aku gila?"

"Mas cuma mau kamu konsultasi. Kamu nggak mau cerita apa-apa ke ibu, apalagi ke mas. Jadi mungkin kalau kita ke psikiater mungkin kamu bakalan bisa lebih terbuka. Dan mereka juga bakalan kasih solusi."

Naraya terdiam mendengar itu. Matanya mulai berkaca-kaca, masih dengan emosi yang berusaha ia tahan sekuat tenaga.

"Mau sampai kapan kamu terjebak trauma itu?"

***

[4 Maret 2020]

"Sudah lama ya kamu nggak ke sini."

Naraya tersenyum simpul mendengar itu. Dia menyesap gelas yang berisi teh Kamomil. Teh yang selalu disajikan perempuan berumur di hadapannya ini ketika dia berkunjung kemari.

Dulu Naraya pernah bertanya pada wanita yang mengenakan jas putih itu, mengapa teh Kamomil?

Dan jawaban wanita itu adalah, "Bukannya kamu lebih tenang setelah minum teh itu?" Jawaban itu juga yang membuat Naraya selalu menyetok teh Kamomil di rumahnya. Dan benar, setiap Naraya menyesap teh ini, hatinya perlahan-lahan menjadi tenang.

"Jadi tujuan sebenarnya kamu kemari apa? Nggak mungkin sekedar silahturahmi, karena kamu bukan orang yang seperti itu."

Senyum simpul kembali terbit di wajah Naraya, "Saya sudah menikah, dokter."

Mata Issa–nama wanita paruh baya itu–membola sempurna mendengar kalimat yang baru saja meluncur keluar dari bibir Naraya, "Menikah?" Tanyanya tanpa dapat menyembunyikan kekagetannya.

Naraya mengangguk dengan tenang. Matanya tidak lagi meneliti tiap gurat wajah Issa yang menurutnya tambah menua, melainkan melihat ke seisi ruangan yang dulu rutin dia datangi ini. Mata perempuan itu kemudian berhenti di sebuah lukisan yang terpajang di ruangan ini, satu-satunya benda yang tak pernah dia lihat sebelumnya dari di sini. Sebuah lukisan kamar tidur yang sederhana.

Issa mengikuti arah pandangan Naraya, "Itu lukisan Vincent Van Gogh,"

"Vincent Van Gogh?" Ulang Naraya dengan takjub.

Issa tertawa pelan melihat reaksi Naraya, "Nggak asli kok. Saya lihat itu ada di pasar, jadi saya beli."

Mendengar itu pun keterkejutan Naraya langsung pudar.

"Kamu tahu apa yang menarik dari Van Gogh?" Tanya Issa tiba-tiba.

Naraya pun menggeleng, "Saya nggak begitu ngikutin seniman."

"Kita semua tahu kalau dia seniman terkenal, tapi seumur hidupnya dia cuma menjual satu karya seni. Dia juga..." Issa menjeda ucapannya, "Dia juga penderita depresi. Dan meninggal karena bunuh diri."

Naraya terdiam. Dia langsung menurunkan pandangannya dari lukisan itu.

"Ah, maaf. Saya jadi bahas yang lain. Padahal saya kaget kamu sudah menikah. Apa... Semuanya baik-baik aja?"

"Baik," Perempuan itu kembali diam sebelum melanjutkan, "Tapi pertemuan kami yang nggak baik."

Issa diam, menunggu Naraya siap untuk melanjutkan ceritanya.

"Kami dipaksa menikah karena salah paham,"

Kata demi kata mengalir dengan sempurna dari mulut Naraya. Air mata juga turun dan mengaliri pipinya. Air mata yang selama ini Naraya tahan akhirnya tumpah bersama sesegukan yang sesekali terdengar.

Bagaimana dia bisa menikah dengan Sakha. Kehidupan pernikahan yang terpaksa harus ia jalani bersama Sakha. Bagaimana para ibu-ibu di RT yang kini memandangnya sebelah mata. Bagaimana pak RT memberikan pilihan yang sebenarnya hanya ada satu, yakni menikah. Dan bagaimana traumanya bisa kambuh di hadapan Sakha.

Dan cerita Naraya cukup membuat Issa kaget setengah mati. Padahal awalnya ia sudah senang karena Naraya bisa membuka hatinya. Ternyata itu bukan pernikahan yang berlandaskan cinta, melainkan paksaan dan juga keadaan.

"Saya memang terpaksa menikah dengan suami saya, tapi saya ingin serius menjalani pernikahan ini." Naraya menghapus air matanya dengan tisu yang Issa sodorkan padanya, "Saya juga mau melaksanakan tugas saya sebagai istri. Tapi... Tapi saya takut cuma bisa teriak-teriak ketakutan karena ingat trauma saya ketika kami ngelakuin 'itu'."

Setelah memastikan Naraya telah selesai bicara, barulah Issa bersuara dengan hati-hati, "Kalau boleh tahu, kamu sudah sejauh apa dengan suami kamu?"

"Kami udah pegangan tangan dan pelukan."

Issa tak dapat menyembunyikan senyumannya, "Apa... Trauma kamu muncul saat kalian melakukan itu?"

Gelengan pelan Naraya berikan sebagai jawaban, "Awalnya saya teringat sama ingatan-ingatan jelek itu. Tapi ternyata genggaman tangan dia itu nyaman, saya jadi ingat waktu ayah saya pegang tangan saya."

"Nyaman sekali," sambung Naraya lagi dengan suara kecil sambil menatapi telapak tangannya.

Perempuan itu kemudian menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan, "Jadi tujuan saya adalah saya ingin lepas dari trauma ini dan ingin bisa membuat pernikahan saya menjadi bahagia. Bagaimanapun, dia pasti ingin haknya sebagai seorang suami, psikiater Issa."

***

Sedari tadi wajah Sakha selalu murung dan cemberut. Kesal dan sedih lantaran Naraya yang pergi dan melarangnya untuk ikut.

Pagi-pagi sekali Naraya sudah bangun dan sudah terlihat rapi walau wajahnya masih pucat tapi wanita itu menutupinya dengan make up tipis. Sebelum Sakha bertanya ia akan kemana, Naraya berkata lebih dulu dengan tegas.

"Kamu jangan ikut. Di rumah aja jaga Poppy. Aku janji nggak pulang malam."

Tentu saja Sakha menolak dengan heboh. Dia juga sudah merengek minta ikut, tapi kali ini tampaknya keputusan Naraya tidak dapat diganggu gugat. Sebagai gantinya, Naraya juga berjanji akan membawa Sakha makanan yang enak dan Sakha pun–dengan berat hati– menyetujuinya.

Untungnya Naraya sudah menyiapkan sarapan serta makan siang untuk Sakha, jadi dia tidak akan kelaparan ketika menunggu perempuan itu pulang.

Dan kini, Sakha sudah berada di titik bisa mati karena bosan. Sedari tadi dia menekan-nekan tombol remote televisi dengan kesal.

"Bosan," katanya entah untuk ke berapa kalinya.

Suara ketukan pintu membuat Sakha langsung menolehkan kepalanya dengan cepat. Pria itu dengan semangat empat limanya berjalan dan membuka pintu. Naraya sudah pulang! Pikirnya.

Eh, tapi kenapa Naraya mengetuk pintu? Bukannya dia tinggal buka saja? Ah bodo amatlah! Yang penting buka saja pintunya dulu.

Dan saat pintu terbuka, senyum pria itu pun luntur perlahan ketika mendapati pak RT yang berdiri di ambang pintu. Kecewa kembali menghampiri hati, ternyata bukan Naraya...

Sakha menjawab salam pak RT dengan lesu, "Masuk dulu, pak." Kemudian dia menggeser tubuhnya ke samping, mempersilahkan pak RT untuk masuk.

Tapi pak RT menggeleng, "Nggak usah. Bapak ke sini cuma perlu bantuan kamu."

"Bantuan apa ya, pak?"

Pak RT tersenyum, "Enggak susah, kok. Sekalian kenalan lebih dekat sama warga sini."

Dengan polosnya Sakha langsung mengangguk. Lagipula dia juga harus berbaur dengan warga di sini kan? Tidak mungkin dia terus-terusan diam saja di rumah dan tidak mengenal siapapun. Bagaimana pun, hidup ini tidak bisa dilakukan seorang diri. Manusia diciptakan untuk membantu satu sama lain.

"Ya udah, pak. Saya kunci pintu dulu."