webnovel

BAB 15: "Poppy dan Sakha"

"Kamu yakin mau ikut gotong-royong? Udah beneran sembuh?"

Sakha sudah mendengar pertanyaan itu berkali-kali dari tadi. Naraya tampak tak percaya kalau dirinya sudah sembuh dan dapat beraktifitas kembali. Padahal Sakha sudah sembuh dari dua hari yang lalu.

Sakha meletakkan sendok yang dia gunakan untuk menyuapkan lontong yang Naraya beli untuknya, lalu menatap Naraya yang masih menatapnya khawatir. "Iya, aku udah sembuh. Kalau kita nggak pergi, nanti nggak enak sama pak RT."

"Kan kamu yang bilang gitu," lanjut Sakha kemudian sibuk kembali dengan sarapannya.

"Ya, tapi kemarin itu kamu pingsan. Lagi." Dengan sengaja Naraya menekankan kata 'lagi'.

Pria itu kembali meletakkan sendoknya ke piring. Dia menatap serius Naraya yang duduk di hadapannya. Naraya dapat melihat tatapan kesal itu, tapi ya mau bagaimana lagi dia kan khawatir. Kalau ada apa-apa siapa yang bakalan repot? Naraya juga kan?

Naraya hampir saja berdiri andai Sakha tidak menarik tangan yang Naraya lipat di atas meja itu. Tanpa mengatakan apapun, Sakha meletakkan tangan Naraya ke dahinya.

"Nih, cek. Nggak demam lagi kan?"

Dengan cepat Naraya menarik tangannya. Kemudian dia mengangguk patah-patah. Melihat itu pun Sakha kembali melanjutkan makannya.

Beberapa hari sudah lewat semenjak kejadian dimana Sakha memeluk Naraya dengan tubuh yang gemetar ketakutan. Dan Sakha... Tidak sadar saat melakukan itu. Itu yang Naraya tangkap saat Sakha tiba-tiba kembali tertidur di pelukannya.

Sepertinya pria itu sering bermimpi buruk kalau sedang sakit. Dia juga beberapa kali mengigau sambil menangis. Dia juga tidak memperbolehkan Naraya pergi kemanapun dan saat dia bangun, tiba-tiba dia bertanya dengan nada polos, "Kok kamu ada di sini?" Kepada Naraya yang wajahnya sudah kelelahan.

Belum lagi demamnya yang naik turun benar-benar membuat Naraya kewalahan. Jangan sampai nanti gantian Naraya yang demam.

Tapi melihat Sakha sudah makan dengan lahap di hadapannya seperti ini, membuat Naraya perlahan-lahan percaya kalau Sakha sudah sembuh dari demamnya.

"Emang gotong-royong nya jam berapa?" Tanya Sakha, membuyarkan lamunan Naraya.

"Jam 9, satu jam lagi."

"Kamu nggak sarapan?"

Naraya menggeleng pelan sambil menenggak air putihnya, "Kenyang,"

"Kalau kamu nggak makan nanti sakit."

Naraya cukup tersentuh dengan kalimat yang terdengar cukup perhatian itu, tapi ternyata masih ada lanjutannya yang membuat Naraya ingin memukul kepala Sakha sekarang juga dengan batu gilingan cabe miliknya.

"Kan aku nggak pandai ngurusin kalau kamu sakit."

Perempuan itu langsung mendengus, "Aku kalau sakit bisa ngurus diri sendiri. Lah kamu?"

Mendengar itu Sakha hanya dapat tersenyum polos. Benar kata Naraya, dia memang bergantung kepada Naraya. Sangat bergantung.

Sementara Naraya hanya dapat menggeleng pelan melihat tingkah Sakha.

Segera setelah Sakha selesai sarapan, Naraya pun beres-beres rumah seadanya. Ya, apalagi kalau bukan 'malas' alasannya. Toh rumahnya tidak kotor juga tidak berantakan. Yang penting kotoran Poppy harus dibersihkan, itu yang paling utama. Tak lupa dia memberikan kucingnya itu makan, tapi Sakha mencegah Naraya melakukannya.

Naraya pun menatap Sakha heran. Padahal dia hanya perlu menuangkan makanan Poppy ke mangkuknya dan semua pekerjaannya sudah beres, namun kenapa Sakha menghentikannya?

"Kenapa?"

Sakha mengambil cup kecil yang khusus untuk menuangkan makanan kering Poppy dari tangan Naraya, "Biar aku aja. Aku mau ngasih Poppy makan."

"Memangnya bisa?" Naraya menatap Sakha tidak percaya, "Kamu ngasih gelas aja bisa pecah. Nanti yang ada kalau kamu ngasih Poppy makan, malah ketuang semua lagi."

Sakha mengangguk mantap, "Bisa. Kan cuma tuang ini ke mangkuk doang, anak TK aja bisa."

"Emangnya aku kelihatan se nggak becus itu di mata kamu?" Lanjutnya lagi.

Naraya tak menyangkal, tapi tak juga mengiyakan. Sebenarnya dia ingin mengakui perkataan Sakha dengan menjawab 'iya' tapi tidak tega. Apalagi setelah semua kekacauan yang dia perbuat di rumah ini, sampai-sampai tenggorokan Naraya sudah terlalu sakit dan kering untuk meneriakinya. Tentu kepercayaan Naraya agar bisa menyerahkan pekerjaan rumah pada Sakha menjadi nol, meski sekecil apapun pekerjaan apapun itu.

"Aku mau dekat sama Poppy." Kata Sakha lagi, masih dengan wajah polosnya yang khas.

Mau tak mau Naraya akhirnya mengangguk saja, "Jangan ditumpahin semua. Cukup satu cup aja dituangnya, jangan berserakan. Makanannya mahal. Nanti kalau udah dituang, langsung tutup ember makanan kucingnya. Kalau nggak ditutup rapat nanti Poppy bisa buka terus tumpahin semuanya." Ujar Naraya panjang lebar.

Lagi, Sakha mengangguk yakin.

"Coba deh aku liat kamu nuang makanannya dulu, baru aku mandi." Bukannya tidak mau percaya pada Sakha ya, tapi Naraya hanya ingin memastikan.

Sakha pun mengambil satu cup makanan kering dari dalam ember dan ternyata Poppy sudah menunggu di sampingnya. Dengan hati-hati dia menuang isi cup ke dalam mangkuk kemudian dia langsung menutup ember sesuai arahan Naraya.

Pria yang sedang berjongkok itu langsung saja mendongak pada Naraya yang sedang menunduk menatapnya, dan dengan bangganya dia berkata, "Bisa kan?"

Naraya berdecih, "Itu aja bangga. Udah aku mau mandi, habis itu gantian kamu yang mandi."

"Iya,"

Kini hanya tinggal Sakha dan Poppy yang ada di ruang makan. Kalau Sakha pikir-pikir, ini kali pertamanya berduaan saja dengan Poppy. Dia ingin mendekati kucing ini, namun kejadian dimana Poppy seperti mengumpatnya itu kembali terbayang di benaknya. Membuatnya agak seram kalau ingin mendekati Poppy. Tapi karena mereka akan tinggal satu atap, maka Sakha harus akur dengan Poppy. Dia harus berteman agar Poppy mau menemaninya. Bagian positifnya lagi, mungkin dia bisa mengekori Poppy ketimbang mengekori Naraya.

"Poppy," panggilnya pada Poppy yang sedang fokus makan.

Poppy menatapnya sebentar, kemudian kembali lanjut memakan makanannya.

"Kita temenan, ya?"

Poppy kali ini benar-benar berhenti makan dan duduk menatap Sakha sepenuhnya. Dia melihat tangan Sakha yang terulur padanya, seperti minta untuk bersalaman. Atau ingin Poppy meletakkan telapak kakinya di telapak tangan pria itu?

"Kalau kamu mau temenan sama aku, pegang tangan aku."

Mungkin kalau Poppy dapat berbicara bahasa manusia, dia pasti akan mengatai Sakha itu manusia paling bodoh dan polos yang pernah ia temui. Ah, bodoh dan polos itu kan beda tipis.

Tapi demi keamanan rumah ini, dan juga demi keamanan Naraya, dan juga demi menjaga si bodoh ini, maka baiklah, Poppy akan berteman dengannya. Poppy pun meletakkan salah satu telapak kaki bagian depannya di telapak tangan Sakha.

Sakha tampak senang sekali, "Wah! Kamu harus nemenin aku terus ya kalau Naraya nggak ada."

Poppy mendengus, tapi Sakha tidak tahu. Dia malah mengelus Poppy dengan perlahan.

"Wah, bulu kamu lembut, ya."

Langkah kaki terdengar, membuat Poppy yang sedang dielus pelan-pelan oleh Sakha menoleh malas.

"Kamu akrab sama Poppy?!"

Sakha ikut menoleh dengan riang, "Iya! Kami temenan!"

Poppy yakin, Naraya pasti menganggap Sakha itu orang gila.