Part belum di perbaiki.
Typo bertebaran.
Happy reading.
***
Ellina menatap pintu kamar yang tertutup. Hal utama yang ia lakukan adalah menatap wajahnya di cermin. Ia mengerutkan keningnya dan mundur perlahan. Terkejut dengan bayangan yang keluar dari cermin.
"Tidak, itu bukan aku' kan?"
Merasa tak percaya, ia perlahan memperlihatkan wajahnya sekali lagi. Dan lagi-lagi ia terlonjak kaget kebelakang. Tangannya menyentuh kasar wajahnya. Dengan mata terbuka lebar dan mulut menganga.
"Hah, tidak mungkin! Sejak kapan aku berubah menjadi setan kurus yang mengerikan?"
Merasa syok, ia menetralkan cara berpikirnya. Hal utama yang ia lakukan adalah merenung. Mengingat setahun terakhir ini dan menatap salju-salju yang turun. Di luar jendela kaca kamarnya, uap udara tercetak jelas. Membuat tangannya menulis pelan di atas kaca jendela.
"Dendam dan kedamaian,"
Kata itu saling bertautan. Seperti memiliki keterikatan namun tak memiliki aturan. Siapa yang tak ingin kedamaian. Dan siapapun tak akan ingin memilih jalan hidup suram. Namun Ellina sadar. Hanya itu satu-satunya cara. Agar ia bisa bahagia.
"Jeratan takdir ini bagai benang yang saling berhubungan. Ia tak menginginkan aku untuk lari. Tapi berdiri dan menghadapi,"
Tersenyum miris, ia merasa menjadi orang terbodoh di dunia.
Berapa lama waktu yang aku butuhkan untuk menyadari semua ini? Hal-hal yang kumiliki, seharusnya menjadi milikku sendiri!
Kilatan benci dan marah itu terlintas. Ellina menarik rambut kusutnya kebelakang.
Aku pernah mati sekali. Dan merasakan hal yang sama dua kali. Semua menguncangku hingga ke inti. Hingga ke dasar pikiranku. Aku gila! Aku sendiri! Menangisi takdir yang yak berubah! Dan hanya lari dari kenyataan! Bukankah aku seorang pengecut yang naif?
Sesak! Ia merasa dadanya pelan. Ini bagaikan dejavu. Matanya menatap lurus, pada salju-salju yang menumpuk dan tumbuhan-tumbuhan yang bertahan hidup dari musim dingin.
Bukankah kau menginginkan ini? Kau selalu melempar dadu dan menjadikanku bidak caturmu. Melangkahi hidupku untuk mencapai puncak dan menang!
"Lexsi Larissa," ucapnya lirih. Senyumnya terkembang sedikit. Menghadirkan kerutan halus di sudut matanya saat melihat sebuah tumpukan salju yang runtuh.
Tapi kali ini, aku yang akan melempar dadu. Aku yang akan berjalan atas jalan yang kupilih. Dan kupastikan, bahwa kau tak akan menang!
Di luar ruangan yang hangat. Ernest masih terfokus pada laptop di depannya. Wajahnya jelas terlihat berseri. Ia menyelesaikan masalah dengan cepat. Lalu saat teleponnya berdering, ia tak bisa menahan lagi untuk tidak berteriak senang.
"Zaccheo...!"
Di kejauhan sana, Zaccheo menjauhkan telepon dari telinganya. Ia memastikan sekali lagi bahwa ia tak menelepon orang yang salah. "Tuan," lirihnya memastikan.
"Berlianku sudah sadar."
Zaccheo membeku. Tidak, ia jelas tidak tuli. Tuannya mengatakan bahwa gadis di villa mewah itu telah sadar. Lalu ia lupa akan laporannya. Langkahnya dengan cepat menuju mobil dan segera menuju Villa. Merasakan sesuatu yang membuat hidupnya merasa jauh lebih berarti.
Ernest merasa sangat senang. Ia telah menunggu Ellina lebih dari dua jam. Dan saat Zaccheo kembali, ia menoleh dengan riang. Merasa tak dapat berekspresi, Zaccheo sama terpakunya dengan tuannya.
Sial! Kenapa aku merasa akan terjadi hal buruk saat melihat senyumnya?
Lalu ia sadar, bahwa memiliki laporan yang belum ia selesaikan. "Tuan, keluarga Prinz telah di pastikan tak dapat melihat matahari dengan baik esok,"
Ernest mengangguk. "Bagus! Aku bisa membayangkan bahwa berlianku akan sangat berterimakasih atas hal ini."
Sudut hati Zaccheo tergerak saat tuannya menyebutkan gadis itu. Matanya menoleh dan meneliti ruangan. Namun semua tetap sama. Sepi dan hanya ada beberapa pelayan yang sibuk.
"Ini persiapan Natal?" tanya Zaccheo pelan.
Ernest mengangguk. Senyum itu masih terlukis di bibirnya. "Kurasa ia juga akan menyukainya. Oh, hadiah apa yang dia inginkan? Apakah aku harus mengundang desainer terkenal untuknya? Tidak, bukankah dia begitu ahli dalam peretasan? Bagaimana jika sebuah--"
"Tuan," potong Zaccheo pelan. Ia tak pernah melihat tuannya seperti ini. Terlalu berapi-api hingga membuat jantungnya nyeri. "Apakah Nona telah mengatakan sesuatu untuk hadiahnya? Kurasa-"
"Kau benar, kau benar. Dia tak mengatakan apapun. Namun aku merasa ia akan menginginkan seluruh dunia." membayangkannya saja sudah membuat Ernest senang.
Zacheo menarik sudut mulutnya miris. Kali ini semua orang pasti akan salah paham jika melihat keadaan tuannya saat ini. Namun, ia tetap diam. Berdiri tak jauh dari Ernest yang duduk di sebuah bangku. Hatinya tak tenang, saat senyum atasannya lagi-lagi terlihat. Ia merasa dunia akan hancur sebentar lagi.
Waktu berlalu hingga malam datang. Ellina tetap mengurung dirinya di dalam kamar. Hal itu membuat Ernest kembali frustasi. Ia telah berdiri di depan pintu kamar Ellina sejak satu jam yang lalu. Tak berani mengetuk ataupun melakukan sesuatu. Hanya berjalan mondar mandir hingga membuat Zacheo pusing. Namun Zacheo tetap berdiri tenang menemani tuannya.
"Haruskah kupanggilkan dokter? Apakah terjadi sesuatu? Apakah dia baik-baik saja?"
"Tuan, tolong tenanglah," ucap Zacheo menenangkan.
Ernest masih saja mondar mandir. Ia menatap Zacheo lama. "Tidak, bagaimana jika pingsan? Bagaimana jika ia melukai dirinya lagi? Bagaimana jika seandainya ia jatuh di kamar mandi,"
Zacheo menahan napasnya sesaat. "Tuan, tolong tenang. Kurasa kita harus segera pulang. Nona akan baik-baik saja,"
"Zacheo, tapi ini sudah lebih dari enam jam. Dia tak turun untuk makan atau--"
"Tuan, mari kita pulang dan beristirahat."
Zacheo dengan sopan menarik lengan Ernest. Memaksa Ernest turun dari lantai atas dan masuk je dalam mobil. Wajah Ernest terlihat mendung. Itu sudah jelas bahwa suasana hatinya sedang buruk. Dan Zacheo hanya berharap bahwa tak akan ada kejadian buruk atas sedihnya tuannya.
***
Keluarga Prinz tampak tenang dari luar. Rumah mewah bergaya era eropa itu tampak sangat mewah. Namun siapa yang menyangka, bahwa semua barang yang ada di dalam rumah kini pecah berantakan. Sang nyonya rumah menangis, sedangkan kepala keluarga Prinz tampak sangat terpukul.
Berdiri tak bergerak, Nero mematung pucat. Ia berpikir sangat keras. Tidak, kemarin semua masih baik-baik saja. Bahkan pagi ini tak ada keanehan yang terjadi. Namun hanya dalam hitungan jam, semua menjadi sangat berantakan. Semua berbanding berbalik. Dan informasi yang ia dapatkan adalah semua karena sebuah keluarga kalangan atas menginginkan kehancuran keluarganya.
"Apa yang kau lakukan hingga keluarga konglomerat itu menghancurkan keluarga kita?"
Sebuah tamparan bersarang di pipi Nero, tepat dengan kata-kata bentakan keras. Ibunya menangis memeluk tubuhnya, melindunginya dari amukan Ayahnya.
"Ayah, aku tidak melakukan apapun," jawab Nero lemah. Ia sangat bingung saat ini. Namun pikirannya juga tertekan.
"Bagaimana mungkin keluarga E. V. tiba-tiba menginginkan kehancuran keluarga kita? Aku sudah memperingatkanmu! Untuk tidak membuat masalah terlebih pada empat keluarga besar di Kota Z. Tapi apa ini!"
Amarah itu terlalu meletup-letup. Di iringi dengan barang-barang yang melayang menimpa tubuh Nero. Pikirannya masih bingung. Hal utama yang masih ia ingat adalah ia hanya pernah dekat dengan Ellina. Tapi gadis itu menghilang sejak malam itu. Tak ada kabar hingga saat ini. Ia sangat ingat, kampus saat itu sempat heboh. Dan tak ada satu pun orang yang tahu keberadaannya.
"Tidak mungkin," ujar Nero pelan. Ia menggeleng kepalanya. Ia sangat ingat, saat itu Instingnya telah memperingatkannya. Sejak tahu Ellina keluar dari apartemen A di kota Z. Apartemen yang hanya berisi untuk keluarga kelas atas.
Ia terduduk lemas. Ini telah satu tahun lewat sejak kejadian itu. Tapi kenapa keluarganya baru hancur sekarang? Terlebih keluarga E. V. Ia sangat tahu prinsip keluarga kelas atas. Di mana tak akan mengusik jika mereka merasa tak terganggu. Tapi dia merasa tak pernah mengusik. Namun keluarga E. V,
Nero menarik tubuhnya dari pelukan ibunya yang menangis. Ia berhambur keluar rumah. Memasuki mobilnya dan segera meluncur ke perusahaan E. V. Meski hari masih gelap, ia tetap menunggu hingga fajar kembali datang. Berharap penjelasan yang masuk akal, hingga kesalahpahaman ini dapat terselesaikan.
Pagi ini, di Maple Villa. Ellina baru saja selesai mandi. Ia menatap lemari pakaiannya dan hanya termenung saat menyadari bahwa satu-satunya pakaian yang ia miliki adalah gaun putih dengan aksen bunga sakura yang tengah mekar. Ia sangat ingat, itu adalah pakaian yang ia gunakan saat keluar dari rumah keluarga Rexton. Lalu kejadian buruk itu menimpanya. Ia sangat yakin, pakaiannya saat itu telah koyak. Tapi gaun ini lemari ini? Masih terlihat baik-baik saja.
Ketukan pintu terdengar. Ellina tak menjawab dan hanya menarik gaub tersebut. Mengenakannya lalu menyisir rambut panjangnya. Itu telah mencapai batas pinggang. Kulitnya masih saja pucat. Bedanya kali ini, bibirnya terlihat merah dan segar. Dengan pipi putih bersih, gaun yang ia kenakan sangat cocok untuk tubuhnya.
Ellina membuka pintu kamar. Menatap sarapan pagi yang tergeletak di depan pintu kamarnya. Ia sangat ingat, pelayan selalu melakukan ini setiap harinya. Tapi ia menolak untuk menyentuhnya. Merasa malu pada masa lalu, tangan mungil Ellina membawa nampan itu. Menuruni tangga dan kembali terpaku.
"Rumah ini sangat besar," ucapnya lirih. Ia jelas berada di tangga ke dua. Dan baru menyadari, bahwa ia tinggal di rumah yang sangat mewah.
Langkahnya kembali turun dengan pelan. Matanya meneliti dengan langkah hati-hati. Beberapa pelayan yang baru saja melihat Ellina langsung berteriak kaget. Membuat Ellina terkejut dan menjatuhkan nampan di tangannya.
"Maaf," ujar Ellina menyesali kelalaiannya. Tangannya dengan cepat bergerak merapikan pecahan kaca dari piring sarapannya.
"Nona, tidak Nona. Hentikan, kami mohon maaf. Kami bersalah,"
Seorang pelayan dengan segera terduduk dan merebut pecahan kaca yang Ellina pegang. Menyelesaikan pekerjaan Ellina dengan memohon ampun setiap kali mereka bertatap muka.
Ellina berdiri tak nyaman. Ini pertama kali ia bertemu dengan orang asing setelah selama ini. Seoarang pelayan lain datang dan menunduk. Ellina yang melihat itu semua ikut menunduk.
"Nona, sarapan pengganti telah siap. Nona bisa mengikuti saya untuk ke meja makan,"
Ellina mengangguk. Ia mengikuti pelayan tersebut dan duduk di meja makan saat telah sampai di ruang makan. Tangannya mulai memotong roti yang telah di sediakan. Tak lama semua pelayan berkumpul. Menatap Ellina takjup dengan raut wajah tak dapat dilukiskan.
"Apakah ada yang salah dengan wajahku?" tanya Ellina tak nyaman. Ia menurunkan sendoknya dan menatap semua pelayan yang berkumpul. Itu lebih dari sepuluh orang.
Semua pelayan menggeleng. Seorang pelayan yang terlihat seumuran dengannya berkata. "Nona, saya mary. Maaf jika membuat Nona tidak nyaman. Tapi ini baru pertama kali bagi kami melihat Nona secara langsung,"
Ellina termenung. Mencoba mencerna kata-kata Mary. Itu benar, ini adalah pertama kalinya ia keluar dari kamar setelah satu tahun.
"Ka-kami telah menghubungi Tuan Muda," lanjut Mary terlihat sedikit takut.
Ekspresi wajah Ellina melunak. Wajahnya terangkat menatap Mary. "Oh, orang seperti apa dia itu?"
Mendapati pertanyaan yang tak terduga, Mary menatap pelayan lainnya yang juga menatapnya. Dengan pasti ia menjawab. "Dia adalah seseorang yang baik, dan juga ... tampan. Tuan muda selalu mengunjungi Nona dan, dan juga--"
Ellina hanya menarik sudut mulutnya ke bawah. Sama sekali tak merespon kata-kata Mary. Itu terdengar membosankan. Ia telah hidup dua kali. Dan melihat sekumpulan orang tampan layaknya bunga di dalam karung. Hal itu sama sekali tak menggerakkan hatinya.
"Orang yang tampan itu selalu buruk sifatnya," ujar Ellina membuat para pelayan saling berpandangan.
Mary. "...." Nona, kau adalah satu-satunya orang yang mengatakan keburukan tentang tuan muda kami.
***