webnovel

Ark: Rumah Berhantu Bagian 7 Final part 1

"Hyung aku ingin pulang.." rengek Jisung. "aku benar-benar takut hyung."

"Aku Juga Jun.." suara ini keluar dari mulut Jaemin. "aku juga ingin pulang."

Renjun memandang kedua member NCT Dream itu, melihat Jisung seperti itu mungkin bukan hal yang baru tapi melihat Jaemin mengatan hal itu, membuatnya merasa benar-benar takut. Semuanya sekarang benar-benar di luar kenalaran.

"aku junga ingin segera pulang..." ucap Renjun. "Kita cari tempat aman untuk beristirahat, pagi baru bergerak mencari jalan pulang. karna menurut legenda mahluk-mahluk itu hanya bergerak pada malam."

Jisung dan Jaemin setuju akan usul Renjun. Tapi tiba-tiba Jaemin mengingat sesuatu. "Bukankah Zombie kalu terkena cahaya malah makin agresip. seperti filem-filem zombie Train To busan, dan The Maze Riner"

"Yang di katakan Jaemin hyung, benar juga." Jisung merasa setuju akan ucapan Jaemin.

"tidak. Mungkin saja mereka Zombie yang berbeda, karna kalau mereka sama sepert yang di filem-filem mereka tidak akan menyerang pria besar tadi seperti itu." Renjun berucap penuh keyakinan.

Renjun, Jisung dan Jaemin keluar dari tempat persembunyianya merwka mencoba mencari tempat yang lebih aman, akan tetapi baru saja mereka melangkah 5 langkah dari tempat persembunyiannya tadi, Segrombolan Legenda tentara Belanda muncul dari samping kiri mereka, Jisung yang melihat pertama kala berteria. "Zom... zombie!!"

Jamein dan Renjun kaget bukan main melihat Legenda Blanda ini.

"Lari!" triak Renjun

Jisung, Renjun dan Jaemin Lari semampu mereka namun malang untung Renjun karna kakinya tersandung akar pohon, tubuhnya jatuh menggelinding dan tercebur kedalam lumpur. "aaaa!" triaknya

"Renjun!" pangil Jaemin merasa khawatir melihat Renjun jatuh kedalam kubangan lumpur.

Renjun mencoba bangun tapi dia merasa lumpur ini terus menariknya ke bawah.. Renjun megitu panik dia tidak bisa berfikir dengan tenag.

"Renjun!"

"Renjun hyung!"

Panggilan khawatir terus keluar dari mulut Jisung dan Jaemin. Membuat Renjun bmerasa khawatir, mungkin karna dirinya Jaemin dan Jisung bisa terbunuh oleh Zombie Belanda yang sedang mengejar mereka.

"Kalian berdua lari" perintah Renjun, "cepat pergi, sekarang!"

"bagaimana bisa kita meninggalkan mu!"triak Jaemin merasa kesal dengan apa yang di ucapkan Renjun.

"Jangan bodoh, aku tidak akan mati. kalian pergi dan sembunyi... aku, aku akan sembunyi dalam lumpur ini sampai mereka pergi." jelas Renjun.

"tapi hyung.."

"tidak ada tapi tapian, cepat tidak ada waktu lagi. Nanti aku akan menyusul. kalian tunggu di tempat bot pinggir danau. nanti aku menyusul.

"Kau Harus berjanji Janji akan menyusul." Ucap Jaemin dan menarik tangan Jisung untuk pergi.

Renjun sudah tidak melihat Jisung dan Jaemin lagi dan tubuhnya makin tersedot lupur itu. Para tentara Blanda melewati semak semak dengan cepat tanpa melihat Renjun yang sedang terjebak di lumpur hisap. Renjun merasa bersyukur akan hal itu tapi keadaanya saat ini tidak patit di syukuri, karna tubuhnya mulai terhisap ke dalam.

Begitu tenggelam masuk kedalam lumpur sebatas mata, otomatis semua pemandangan menjadi gelap gulita. Renjun hanya bisa diam oasra, tanpa bisa berbuat apa-apa. Seolah-olah dia mengikuti tarikan lembut lumpur hidup yang terus menyedot tubuhnya. Karna Renjun tahu Rumus lumpur hidup, semakin banyak bergerak atau melakukan gerakan yang tidak oenting,  maka dia akan semakin cepat menyedot tubuh kita.

Bluboo Ppp!!

Di saat-saat terakhir begitu, tiba-tiba dia merasakan satu gerakan di dekatnya. Lalu sesuatu menelusup ke sela kedua ketiaknya, dan menariknya ke atas. Renjun yang masih tidak bisa melihat apa-apa, merasakan pergerakan tubuhnya yang perlahan naik ke permukaan. Dan begitu kedua tangannya terbebas dari celupan lumpur, dia mengusap wajahnya. Barulah dia mengerti apa yang terjadi.

Seseorang entah siapa menceburkan diri dalam kubangan lumpur bersamanya. Lalu orang ini berupaya menariknya keluar dengan bantuan tali rotan Mengerti akan apa yang terjadi, Renjun pun mengulurkan tangannya memegang tali rotan. Kemudian dia menarik dirinya sekuat tenaga keluar dari lumpur.

Dengan bantuan tali, Renjun menarik dirinya ke tepian kubangan. Sementara penolongnya mengekor di belakang Dengan bantuan tali rotan ini, isapan lumpur hidup kalah kuat Serta merta keduanya keluar dangan

lumpur dan tubuh basah kuyup seperti terguyur cokelat cair

Selembar nyawa Renjun terselamatkan.

Sambil terengah-engah, Renjun melirik orang yang telah menariknya keluar dari lumpur hidup itu. Dalam keadaan normal saja, belum tentu dia bisa melihat dengan jelas siapa penolongnya ini, apalagi dalam balutan lumpur cair seperti ini di wajahnya. Tapi siapa pun orang itu. Renjun tetap berlaku sopan. "Terima kasih..." katanya di sela-sela nafasnya yang terengah- engah

Orang itu tidak menjawab, dia hanya melihat Renjun. Lalu tanpa berkata apa-apa dia bangkit berdiri. Hanya saja ketika hendak melangkah orang ini memberi isyarat melalui anggukan kepala Renjun mengikutinya. Mengerti akan hal ini orang yang telah beberapa kali saling selamat menyelamatkan dengan Jisung dan Jaemin. Tidak ada satu pertanyaan pun terlontar dari mulut namun dia tahu kalau orang yang telah menolongnya yang diikutinya ini pasti memiliki rencana.

Renjun terus mengikuti langkah kaki orang di depannya. Suara baku tembak yang terdengar seolah tidak mengganggu perjalanan mereka. Padahal dalam hati kecilnya, Renjun memikirkan Jisung dan Jaemin. Dia khawatir kalau-kalau mereka terlibat di dalam pertempuran itu. Entah kenapa, belakangan ini dia selalu khawatir terhadap mereka itu.

"Jaemin, Jisung, semoga kalian baik-baik saja.. harap Renjun dalam hati. "Ya Tuhan, lindungilah dia. Jaga keselamatannya."

Tiba-tiba orang di hadapannya berhenti dan menarik tubuhnya menepi ke salah satu pohon besar

Renjun yang sedikit kaget terpaksa menurut, mereka menempel di tubuh pohon. "Ssstt.." hanya itu kata yang keluar dari mulut si lelaki yang diperkirakan agak tua itu.

Membuat Renjun tidak jadi bertanya.

Dalam kepekatan malam di rimba belantara in sekonyong-konyong bergerak dua bayangan dengar langkah tertatih. Karena gelap, maka sulit mengenal siapa adanya dua kerunduk bayangan hitam itu Yang bisa diperkirakan adalah, dua sosok ini dalam keadaan terluka atau tidak sehat. Hal itu terlihat dari cara jalan mereka yang tertatih.

Tangan orang tua yang bersamanya terangkat, sebagai isyarat agar Renjun tidak melakukan pergerakan apa-apa. Dan baru saja hal itu dilakukan, dari belakang sosok orang di depan sana, muncul beberapa sosok lain yang langsung memberondong mereka dengan tembakan.

Bhu bhu bhu

Dan hasilnya hanya satu, mati.

"Cepat periksa!" teriak salah seorang yang sepertinya bergerak sebagai pemimpin

Renjun memicingkan matanya, dia seperti mengenali siapa adanya sosok itu. Meski suasana gelap, tapi orang-orang ini sebentuk dengan yang dilihatnya beberapa waktu tadi. Mereka adala Gilang cd.

Bagaimanakah orang-orang ini bisa sampai di sini?

********

Renjun merasa aneh dalam beberapa saat ini.

Pertama, Gilang dan pasukannya tidak melihat keberadaannya tadi. Padahal jarak mereka sangat dekat. Walau pun kegelapan kemungkinan menyembunyikan sosoknya, namun dengan kacamata pendeteksi sensor panas tubuh, seharusnya keberadaannya diketahui.

Kedua, gerombolan Legenda Belanda juga seperti tidak melihatnya. Ini aneh, sebagai penguasa are ini dan biasa bergerak dalam gelap. sangat aneh kalau gerombolan itu sampai tidak melihat keberadaannya.

Ketiga, orang tua yang mengajaknya untuk mengikutinya ini ternyata membawanya ke tempat asal mula dia datang. Yaitu tempat yang porak-poranda di roket oleh Gilang. Artinya jarak antara dia dan rombongan para pemburu itu hanya terpaut ratusan meter saja. bahkan dari tempatnya berdiri saat ini Renjun masih bisa melihat orang-orang di sana dengan bantuan penerang helikopter yang terbakar. Yang kurang jelas hanya soal Jaemin dan Jisung, entah kedua orang itu ada atau tidak di sana.

Ketiga keanehan ini tidak diungkapkan, hanya dipendam dalam hati. Sampai-sampai ketika orang tua ini mengajaknya masuk ke dalam lubang bawah tanah, barulah dia angkat bicara. "Pak tua, bukankah lubang ini mengarah ke rumah yang hancur disana?"

Si lelaki tua tidak menjawab, dia terus saja membuka penutup dan turun ke dalamnya. Hingga mau tidak mau Renjun dilanda kebingungan, antara mengikuti turun atau tetap diam. Setelah berpikir beberapa saat, rasa keingintahuan ini memenangkan pilihan. Meski sempat berpikir akan meninggalkan orang tua ini, namun akhirnya dia ikut turun juga

Sebenarnya apa yang direncanakan orang ini?

Begitu turun dan menutup pintu, ternyata lorong di dalam tanah ini tidak seperti sebelumnya. Orang tua ini menyalakan beberapa lampu yang terdapat di dinding lorong. Meski sedikit telat, namun Renjun masih melihat sepintas bayangan lelaki tua itu lenyap di penghujung lorong sana, dia pun mengikuti

Barulah Renjun sadar, ternyata lorong ini tidak sesederhana pemikirannya awal. Meski sebelumnya dia bersama Renjun, Jisung dan muda-mudi pendaki gunung itu melewati tempat ini, namun mereka hanya berupaya jalan lurus saja. Meski sebelumnya mereka melihat pintu-pintu, namun saat itu tidak terpikir untuk memasuki salah satunya. Saat itu mereka hanya berusaha lari untuk menghindari berondongan senjata.

ternyata orang tua yang diikutinya ini memasuki salah satu pintunya,

Begitu masuk, Renjun mendengar suara gemiritik jatuh dari arah samping kirinya. Sedikit lehbih, dia tahu kalau kemungkinan suara itu adalah kamar mandi atau semacamnya yang bisa membersihkan tubuh. Renjun langsung saja sadar kalau sejak tadi dirinya sama dengan si orang tua, berlumuran lumpur dari ujung kaki ke ujung kepala. Mungkin dapat dibilang hanya mata mereka saja yang terlihat.

Sambil menunggu orang tua yang kemungkinan sedang mandi membersihkan diri, Renjun melihat sekitar ruangan. Pemandangannya temaram, tidak jelas dan suram. Penerangnya hanya berupa lampu kecil berpendar, seperti suluh lampu minyak.

Di ruangan itu terdapat sebuah ranjang kayu, di atasnya terdapat satu sosok tubuh terbaring lurus

Dengan penuh tanda tanya, Renjun mendekati dan memberanikan diri melihat wajah sosok yang terbaring itu Keningnya langsung saja berkerut manakala melihat wajah pemuda Belanda yang sedang terpejam.

"Kamu mengenalnya?" tanya suara dari belakang dalam bahasa Belanda.

Renjun membalikan tubuhnya dan terkejut lagi ketika tahu seperti apa rupa dari kakek tua itu. Matanya yang sipit dan meskipun dalam suasana temaram kulitnya masih bisa diprediksi berwarna putih. "Rosim Lee." desis Renjun tanpa sadar.

Si kakek terlihat terkejut mendengar renjun itu menyebutkan namanya. "Kau mengenalku?" tanyanya.

"Benar kau Rosim Lee?" bukannya menjawab Renjun malah balik bertanya. "Apa aku salah?"

Si kakek mengangguk.

Renjun tertegun, bayangan mimpinya beberapa waktu tadi selintas melintas. Selain si pemuda tampan yang entah sekarang sudah tua, penghuni rumah ini juga ada gadis kecil yang melayang-layang.

Gadis itulah yang menghabisi mereka semua dengan sangat kejam dan sadis.

"Bersihkan dirimu!" kata kakek Rosim lee sambil memajukan dagunya. "Masih ada sisa air di dalam sana."

Renjun melirik sekujur tubuhnya yang terbalut lumpur. Memang tidak beraroma bau busuk, hanya bau tanah saja. Namun benar apa yang dikatakan si kakek, ada baiknya dia membersihkan dirinya. Namun sebelum melangkah masuk ke kamar mandi kecil sana, Renjun mengerling ke sosok yang terbaring di dipan kayu. "Aku kenal orang itu, dia temannya temanku.

Si kakek Rosim lee tidak menyahut, dia hanya memandangi sosok yang terbaring di dipan kayu.

Sampai Renjun masuk ke kamar mandi membersihkan diri pun, dia tetap seperti itu. Hanya mulutnya yang mendesis pelan, "Temannya temanku."

Renjun tidak terlalu lama berada di kamar mandi membersihkan dirinya. Dia hanya mengguyur sekujur badannya tanpa membuka pakaian. Dia hanya berusaha melunturkan seluruh lumpur yang sudah mulai sedikit mengering itu dari tubuhnya. Tidak beberapa menit, dia sudah keluar dengan tubuh basah kuyup.

Begitu dia keluar dari kamar mandi, kakek Rosim lee terlihat berdiri di samping orang yang terbaring di ranjang kayu. Dia memandangi wajah orang yang ring itu lalu berkata, "aku menemukannya di dasar jurang. Dia tertembak di bagian perut, walau pun aku berhasil mengeluarkan pelurunya tapi aku tidak yakin dia selamat. Selain luka tembak, beberapa tulang tulang di tubuhnya bergeser, kemungkinan saat jatuh ke dasar jurang, tubuhnya beberapa kali terhempas pepohonan."

"Namanya Egi." kata Renjun yang kini terlihat lebih segar. "Aku ingat, namanya Egi, dia orang Indonesia."

"Aku tahu dia orang Indonesia, aku bisa melihatnya. Kamu datang kesini bertiga kan." ucapnya "Tapi ternyata tamu-tamu lain pun berdatangan.

Senjata mereka canggih-canggih dan modern"

"Kelompok yang kita lihat itu adalah kelompok pemburu hadiah yang mencari aku dan kedua temanku. Persenjataan mereka memang canggih canggih dan moderen, termasuk kacamata sensor panas huh, roket dan machine gun."

Tapi kecanggihan senjata mereka tidak mampu mengalahkan para tentara Belanda tadi. Bukan hanya itu menemukan kita saja pun dia tidak mampu. Terbukti dia dan pasukannya tidak melihat keberadaan kita yang hanya beberapa langkah saja di depannya."

"Menurutku Gilang dan pasukannya itu tidak menemukan kita karena tubuh kita terbalut lumpur. Sehingga sensor kacamatanya tidak menembus panas tubuh kita," Renjun menambahkan. "Paling itu asumsi yang masuk akal dari kejadian tadi. Kemungkinan lumpur yang membalut tubuh kita itu memiliki kandungan yang tidak bisa ditembus oleh kacamata sensor tubuh milik Gilang."

Si kakek mengerutkan sedikit keningnya, "kamu mengenal baik orang yang kamu sebutkan namanya itu?"

Renjun anggukan kepalanya, "ya dialah pemburu hadiah yang memiliki persenjataan paling mungkin modern dibandingkan pembunuh bayaran dan pemburu hadiah mana pun saat ini. Aku tidak tahu darimana dia mendapatkan senjata-senjata itu. kemungkinan dari Korea Utara, Rusia atau Jerman."

"Dan aku melihatnya meroket rumahku ini." desis Rosim Lee

Renjun terdiam sesaat sambil memandangi Kakek di hadapannya itu. "Ini rumahmu."

"Ya, ini rumahku. Aku yang membangunnya Dan orang yang tadi kamu sebutkan itu, dengan seenaknya saja meroket rumah yang sudah berpuluh-puluh tahun aku diami ini. Benar-benar keterlaluan."

Renjun memicingkan matanya, menatap lurus wajah tua di hadapannya ini. Guratan keriput sudah sedemikian banyak di wajahnya. Usianya sudah bukan tua lagi sebenarnya, sudah terlalu tua malah Kalau dia bilang sudah berpuluh-puluh tahun menetap di rumah ini, sepertinya masuk akal.

Tapi siapa dia adanya?

"Anda sudah berada di sini sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu?" tanya si Renjun penuh selidik.

"Sejak perang dunia kedua dahulu."

Bola mata Renjun sedikit terbeliak mendengarnya. Dia sama sekali tidak menyangka kalau orang dihadapannya ini berasal jauh dari masa lalu.

Kalau dia tidak salah ingat, perang dunia kedua terjadi sekitar tahun tiga puluhan, delapan puluh tahun yang lalu dari sekarang. Berarti usia kakek ini di atas itu, di atas delapan puluh tahun.

"Perang Dunia Kedua..." desis si Renjun mengulangi Kakek itu.

Dunia Kedua Rosim Lee mengangguk, "Perang Dunia ke dua adalah sebuah perang global yang berlangsung mulai tahun 1939 sampai 1945. Perang ini melibatkan banyak sekali negara-negara di dunia. Perang itu adalah perang terluas dalam sejarah dunia. Perang ini memakan korban jiwa sebanyak 50 juta sampai 70 juta jiwa. Jumlah kematian ini menjadikan Perang Dunia kedua sebagai konflik paling mematikan sepanjang sejarah umat manusia. Kekaisaran Jepang

berusaha mendominasi Asia Timur dan sudah memulai perang dengan Republik Cina pada tahun 1937, akan tetapi Perang Dunia secara umum pecah pada tanggal 1 September 1939. Kami negara jepang berusaha menginvasi sejauh mungkin area yang ada di sepanjang Timur dan Asia Tenggara, termasuk salah satunya adalah Indonesia, dan tentara Belanda membawa kaburku sebagi sandra ."

"Dan Anda adalah salah satu bagian dari sejarah Perang Dunia Kedua itu, tentara Jepang yang diterjunkan ke Indonesia itu?" tanya Renjun diakhir penjelasan si kakek.

Yang ditanya mengangguk, "aku adalah Jenderal tempur laskar Nipon kala itu. Aku membawahi 500 prajurit gagah berani yang siap berperang di lautan dan daratan. Seluruh pulau dan lautan yang ada si semenanjung Selat Malaka, Sunda sampai kepulauannya kami jelajahi. Bentrokan dengan Inggris, Belanda dan Portugis sudah bukan sekali dua kali. Hingga akhirnya nahkodaku yang paling handal tewas di bentrokan dengan Portugis di pulau Papua. Nahkoda sekaligus navigator terhandal kami itu membuat kami kesulitan untuk mengarungi bahtera laut tanpanya. Namun permasalahan kami tidak hanya sampai di Sana saja, pasukan sekutu yang dipimpin oleh Belanda hancur leburkan kapal kami yang terparkir di papua dan membunuh semua pasukan ku, mereka hanya menyisakan aku sendiri, tapi pasukan sekutu indonesia yang di pimpin Amerika menyerang pasukan blanda dan pasukan blanda kabur sampai ke korea selatan dengan membawa aku bersama merwka sebagai sandra. saat kami sampai ke pulau ini pasukan Amerika menghancurkan semua kapal tentara Belanda. sama seperti waktu di papua saat pasukan Belanda menghancurkan kapal pasukanku.

Hal itulah yang membuat kami harus bertahan di pedalaman hutan ini."

Otak Renjun bekerja cepat, tiba-tiba saja dia merasakan bulu-bulu kuduknya meremang berdiri.

Sambil menggeleng dia mendesis, "jangan bilang kalau tentara Belanda yang kita lihat tadi adalah pasukan yang membawa Anda?

Kakek mantan Jenderal pasukan Nippon Rosim Lee tersenyum getir. Dia mengangguk pelan sebagai tanda membenarkan apa yang Renjun terka. "Mereka semua adalah mantan musuhku. Pasukan Belanda yang terdesak ke gunung ini dan tidak tahu jalan pulang selama bertahun-tahun.".

Kening di dahi Renjun tambah berkerut.

Rosim Lee mendesah tertahan, "terlalu panjang untuk aku ceritakan. Yang jelas keadaan waktu itu memaksa kami semua untuk bertahan hidup di gunung  ini. Namun ada hal yang tidak kami sangkakan, ternyata pulau ini berbeda dengan pulau pulau lain yang pernah kami singgahi atau jajah. Ini pulau yang penuh dengan mistik."

"Penuh dengan mistik bagaimana?"

Si kakek mengambil sebuah topi yang tergantung di dinding sebelahnya. Dia memandangi topi itu sesaat dan tersenyum. "Di gunung ini terdapat banyak sekali suku-suku pedalaman yang tinggal secara berkelompok-kelompok. Dan kami yang datang dari luar tidak mengerti sama sekali aturan serta seperti apa mereka. Yang kami tahu adalah bertahan hidup. Kami pun membuat kelompok sebagai upaya bertahan dari ancaman kelompok lainnya. Namun kami tetaplah orang asing di wilayah ini. Kelompok kami yang bersenjata bedil dan terbiasa menghadapi pertempuran, ternyata bukan kandungan suku-suku pedalaman di wilayah ini. Setiap waktu ada saja bentrokan yang terjadi yang memakai korban di pihak-pihak yang bertikai. Hingga suatu ketika pemimpin pasukan Blanda memberikan ultimatum untuk membasmi suku-suku  pedalaman di wilayah ini demi keselamatan kelompok mereka, pada saat itu pun aku bukan lagi sabagai tawanan, aku sudah menjadi kawan mereka.

Dan ternyata titah pemimpin pasukan Belanda sebagai Jenderal salah.

Satu dua kelompok suku pedalaman dapat kami kalahkan. Hingga suatu ketika kami bentrok dengan satu suku yang selalu berteriak-teriak 'Obong- na' di daerah barat sana. Suku ini tidak banyak warganya, sekitar empat puluh orang saja. Tentunya mereka bukan lawan bagi kelompok kami yang masih berjumlah ratusan. Dan untuk menghancurkan suku ini, kami hanya mengirimkan tiga kompi prajurit yang dipimpin dua orang komandan.

Aku ingat sekali, bentrokan itu pun terjadi. Suara letusan bedil seperti terus terngiang ngiang di telingaku. Dan itu asal mula dari malapetaka besar di kelompok kami. Menurut laporan yang aku terima saat itu, tentara Belanda berhasil membunuh beberapa orang lelaki dari suku tersebut. Namun begitu mereka masuk ke pelataran perkampungan mereka, secara mengejutkan seluruh area dibekap asap tebal. Lalu seorang wanita terlihat menghadang sambil membacakan mantera-mantera aneh dan meniupkan dupa di tangannya

Dan seketika itu juga para prajurit Belanda berubah aneh. Semua yang menghirup asap dari dupa berbau mantera itu, semuanya langsung bertingkah aneh mereka seperti tidak terkendali dan mengamuk. Si peniup dupa terus melakukan itu kemana-mana, hingga ratusan prajurit Belanda menjadi korbannya. Sampai akhirnya aku berhasil membunuhnya dengan satu tembakan di keningnya. Dan saat itu terjadi, hanya sedikit saja kami yang selamat.

Ada satu keanehan besar di diri prajurit Belanda mereka sudah terkena kutukan penyamun itu, mereka seperti tidak mengenali sesama lagi. Mereka menyerang teman-teman mereka yang belum terkena kutukan. Dan anehnya, sosok mereka seperti yang kamu lihat tadi

kebal dan tidak bisa mati. Tentu saja ini bermasalah bagi kelompok kami yang hanya tersisa beberapa puluh saja.

Namun ada satu keanehan besar dalam diri prajurit kutukan itu, mereka malah menaruh hormat kepadaku. Apa yang aku perintahkan, mereka akan menurutinya. Kalau aku bilang diam, mereka akan diam. Tapi itu terjadi kalau aku mengenakan topi keprajuritan pemimpin pasukan Belanda ini. Kalau aku tidak memakainya, mereka seperti tidak mengenaliku. Bahkan suatu waktu mereka pernah menyerangku dan hampir membuatku tewas ketika tidak mengenakan topi ini," kakek Rosim Lee mengelus-elus topi yang dibagian kanannya tertempel bendera kecil Belanda.

Renjun menggeleng-geleng penuh dengan ketidakpercayaan akan cerita si kakek. "Anda adalah Jenderal Jepang untuk penaklukan Asia Tenggara. Anda dan pasukan Anda terdesak oleh sekutu dan keadaan hingga ke tempat papua dan anda di jadikan sandra oleh tentara Blanda yang kabur ke sini. Lalu di sini karena pasukan Belanda sering bentrok dengan beberapa suku yang mendiami pegunungan ini, kemudian pemimpin pasukan Blanda menginstruksikan untuk pembasmian. Akan tetapi saat mereka bentrok dengan salah satu suku yang memiliki mantera aneh, prajurit mereka tiba-tiba berubah menjadi tidak terkendali?"

kakek mengangguk, "benar. Tetapi mereka masih mengira aku sebagai jendral merwka kalau aku mengenakan topi ini. Kalau aku sedang tidak memakainya, Mereka pun menyerangku."

"Bagaimana dengan sisa prajurit Belanda lainnya?"

"Sama saja, mereka pun diserang kalau bertemu. Makanya dengan sisa prajurit Blanda kala itu, aku membangun rumah ini. Kami tinggal dan menetap di sini hingga beberapa bulan. Tentara setan itu tidak menyerang rumah kami ini, kalau melihatku memakai topi kebesaran pemimpinya ini. Namun jika mereka tidak melihatku, tetap saja satu dua tentara Belanda yang lengah mereka serang dan habisi. Hingga akhirnya kehidupan beberapa bulan kami ini menjadi tidak tenang. Dan kami seperti berperang melawan diri sendiri. Karena meski mereka sudah menjadi setan seperti itu, tetap saja wajah-wajah mereka kami kenali. Sehingga untuk menembak atau melukai mereka, terkadang kami segan."

Renjun bisa membayangkan seperti apa situasinya saat itu. "Kalian tidak tega menyerang mereka, tapi mereka tega menyerang kalian.."

"Begitulah, hingga dalam beberapa bulan dia sudah banyak sekali membunuh tentara belanda yang selamat pun Jadi korban mereka. Akhirnya aku mengkomandoi mereka semua yang tersisa untuk pergi meninggalkan tempat ini. Mereka harus mencari jalan pulang, tanpa aku."

"Tanpa Anda?"

"Ya, tanpa aku. Aku tetap di sini, itu sudah keputusanku kala itu."

"Apa alasannya Anda menyuruh semua tentara Belanda yang tersisa pulang, sementara Anda berdiam di sini"

Wajah tua kakek Rosim Lee ini seperti menerawang, dia tersenyum pahit. "Aku menemukan kedamaian di tempat ini. Dan lagi, aku merasa aman di sini. Para tentara setan itu tidak ada yang mengusikku. Bahkan sesekali aku masuk ke dalam hutan dan berkumpul bersama mereka. Meski terlihat mereka tidak mengerti apa yang aku ucapkan, tapi aku tahu mereka sebenarnya paham. Di sana aku sering duduk bersama. Walau mereka adalah pasukan yang membunuh pasukanku di indonesia tapi selama di sini. Mereka adalah sahabat-sahabatku yang sudah bersama-sama dalam berbagai pertempuran. Aku menemukan ketenangan saat berkumpul bersama mereka. Terkadang, saat aku mengenang kisah pertempuran di Semenanjung Malaka, mereka semua terdiam mendengarkan. Inilah mungkin yang disebut hubungan batinku dengan mereka semua para tentara Belanda. Aku tahu, sebenarnya jiwa-jiwa mereka masih hidup saat ini. Hanya saja mereka terkungkung, terjebak dalam mantera aneh suku pedalaman."

"Jadi itu alasan Anda bertahan di sini?"

Si kakek mengangguk pelan, "tapi. alasan utamaku sebenarnya adalah aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi di Jepang sana. Keluargaku sudah habis dalam insiden bentrokan dengan tentara Sekutu."

Renjun mengerti sekarang, siapa adanya para tentara berpakaian Belanda itu. Asal mulanya dan siapa mereka adanya. Dia melangkah mendekat ke kakek itu sambil terus memandangi wajah orang itu.

Dapat dilihat, wajah itu terkesan memendam kesedihan Dem kurun waktu yang lama. Seorang Jenderal tanpa keluarga tanpa tentara, sebuah kesedihan yang sangat. "Tapi kek, apakah selama berpuluh-puluh tahun ini tidak pernah ditemukan siapa pun? Maksudku bertahun-tahun Anda benar-benar tidak pernah terusik?"

"Tentu saja tidak," jawab si kakek. "Awal-awal dahulu ada saja yang berdatangan, baik itu tentara Amerika, Sekutu, mau pun tentara Korea. Akan tetapi siapa pun mereka, tetap saja tidak berkutik menghadapi teman-teman seperjuanganku di sini. Seperti yang tadi kamu bilang, pembunuh bayaran bernama Gilang yang memiliki persenjataan tercanggih saja tidak mampu berbuat banyak ketika berhadapan dengan tentara Belanda. Jadi, keberadaan mereka bisa dikatakan juga sebagai pelindung aku dan tempat ini."

"Lalu kenapa Anda bisa kecolongan kali ini? Gilang bisa memiliki kesempatan meroket rumah Anda malam ini?"

"Saat itu terjadi, aku bersama para tentaraku sedang berada di lereng perbukitan sana. Kami sedang kumpul-kumpul. Aku sengaja mengumpulkan mereka di sana, karena aku tahu kalian membutuhkan istirahat yang tenang. Namun begitu tahu ada banyak sekali tamu-tamu yang tidak diundang berdatangan, aku sangat terkejut. Tapi mau bilang apa?"

Kening Renjun berkerut, "jadi maksudnya Anda mengumpulkan semua tentara anda di hutan sana itu, untuk membiarkan kami bertistirahat?"

"ya itu maksudku. Makanya aku mengajak para tentaraku untuk pergi ke lereng sana. Aku tidak mau mengganggu kalian. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, saat aku jauh begitu, ada tamu lain yang datang dan memporak-porandakan rumah yang sudah puluhan tahun kutempati."

Renjun paham sekarang, artinya kakek ini sebenarnya bukan orang yang bermasalah. Karena kalau dia jahat, sejak awal pasti para tentara itu sudah menyerang dia dan muda-mudi pendaki gunung. "Lalu apa yang Anda inginkan sekarang?" tanyanya setelah beberapa saat berlalu dengan diam.

Bukannya menjawab si kakek malah mengulum senyum di wajah tuanya. Mereka saling pandang sekitar tiga sampai empat helaan nafas, kemudian orang tua ini mendesis. "Saat ini para tentara sedang menghancurkan ratusan tentara di pesisir perairan sana."

"Pesisir perairan..?"

Si kakek mengangguk, "sejujurnya aku tidak begitu tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini. Tapi aku tahu, helikopter yang bolak-balik di pesisir perairan sana itu tengah mengepung tempat ini. Jumlah mereka ratusan atau mungkin ribuan. Tapi aku yakin, mereka bukan tandingan orang-orangku."

"Kakek Rosim," panggil Renjun pelan. "Kalau mendengar semua penuturanmu tadi, aku bisa sedikit mengambil kesimpulan."

"Apa itu?"

"Sisa prajurit Belanda yang masih hidup kala itu, sebenarnya mereka pun tidak selamat. Mereka tidak pernah sampai ke kampung halaman mereka saat itu."

Paras si kakek terkejut mendengarnya, "apa kau bilang?"

"Mereka tewas di sebuah pulau yang bernama Kampung Tengkorak. Di sana ada banyak sekali tengkorak tengkorak yang setelah didatangkan Tim Forensik dari Blanda, ternyata mereka adalah memang tentara Belanda. Sebagian sudah dibawa pulang ke Belanda, Namun sebagian lagi tetap di Kampung tengkorak dan menjadi obyek wisata di sana," jelas Renjun "Aku mendapatkan kabar ini dari temanku yang bekerja diberita televisi beberapa waktu yang lalu. Makanya aku pikir, antara penuturan ceritamu tadi dan kenyataan yang ada di Kampung Tengkorak menjadi saling berhubungan."

Si kakek tertegun, kesedihan terlihat semburat membekap wajahnya. Dia mendesis pelan, namun Renjun masih bisa mendengarnya, "Londo Londo sialan.. ternyata kalian pun masih di pulau ini? ternyata kalian semua pun tidak selamat."

Renjun diam tanpa kata. Dia seperti bisa merasakan bagaimana remuknya hati seorang Teman manakala seluruh temanya ludes tanpa sisa.

Butiran air mata Kakek Rosim Lee ini bergulir menetes. Dia benar-benar berduka saat ini. "Hari ini benar-benar menjadi hari yang buruk di masa tuaku Rumah yang kami bangun bersama-sama di hancurkan orang. Padahal rumah ini adalah rumah penghargaan kami untuk selamat kala itu Rumah bangun dengan peluh kesedihan dan harapan, setelah sebagian besar pasukan belanda terkena kutukan mantera si penyamun perempuan suku pedalaman. Rumah yang kami harapkan bisa menjadi tempat berlindung kami. Rumah yang benar-benar memiliki sejarah kesedihan masa lalu yang panjang untukku. Dan satu lagi kabar darimu, kalau orang-orang yang membangun rumah ini bersamaku pun ternyata sudah mati semua."

Renjun tidak menyahut, dia diam membisu.

"Pantas. pantas saja," desis si kakek. "Pantas saja setelah menunggu selama berpuluh-puluh tahun, tidak ada seorang pun yang datang menyambangiku ke sini. Ternyata mereka semua telah tiada..."

"Menurut kabar yang kudengar, mereka terdesak tentara sekutu Amerika saat itu dan." ucapan Renjun terhenti manakala si kakek mengangkat tangannya yang tidak memegang topi.

"Aku tidak mempermasalahkan hal itu. Kalau memang mereka harus mati di medan laga, itu kematian seorang ksatria. Tapi yang dipermasalahkan adalah, rumah yang seharusnya menjadi kenangan abadiku bersama ratusan prajurit yang gagah berani itu, kenapa ikut dihancurkan?!" suara si kakek terdengar menggeram.

*******

Yang Jenderal Rosim Lee maksudkan adalah pasukan mafia. Dengan bantuan beberapa helikopter, didekat gunung  ini mengirimkan para pasukannya untuk mengepung lokasi.

Antara markas mafia ini dengan lokasi Renjun berada, sebenarnya tidak terlalu jauh. Hanya berkisar dua puluh menit jika ditempuh dalam kecepatan maksimal helikopter untuk melewati puncak gunung.

Alhasil dalam waktu singkat saja, ratusan orang sudah berhasil didaratkan di pesisir pantai. Mereka membentuk sebuah benteng tempur, agar dapat menjalankan instruksi dari atasan tidak seekor tikus pun boleh keluar dari wilayah ini.'

Namun apa yang terjadi?

Jika sebelumnya mereka sering mendengar adanya Legenda Belanda yang mendiami salah satu area di bagian ini hanya dari isu mulut ke mulut, namun kini mereka melihat dengan mata kepala sendiri. Para Legenda Belanda berpakaian tentara dan bersenjatakan bedil-bedil tua itu bermunculan di kegelapan malam dan menyerang mereka dengan ganas.

Pertahanan yang mereka buat porak-poranda,

Tembakan-tembakan yang mereka lesatkan, seolah tidak berefek banyak. Bahkan jumlah mereka yang baru ratusan orang ini pun seolah seimbang dengan jumlah Legenda Belanda ini. Tanpa ampun, jeritan kematian membahana di waktu malam menuju subuh ini. Legenda Belanda benar-benar memberikan pengalaman yang dahsyat.

para Mafia yang tadinya berani dan siap tempur, tiba-tiba menjadi surut. Mereka kocar kacir kabur melarikan diri setelah melihat teman-teman mereka satu persatu berguguran. Bahkan rombongan helikopter yang baru tiba pun tidak jadi mendarat setelah melihat betapa kacaunya di bawah sana. Orang orang yang seharusnya memberikan perlawanan malah berteriak-teriak meminta tolong untuk diselamatkan.

Serangan dadakan Legenda Belanda itu benar-benar menghancurkan para tentara mafia ini.

Legenda Belanada versus mafia pemburu NCT Dream.

Tak berdaya, mungkin kata itu yang tepat disematkan dalam peristiwa ini. Serombongan tentara tangguh yang dinobatkan sebagai penjaga pesisir perairan itu sama sekali tidak berdaya.

Musuh yang dihadapinya ini bisa dikatakan tidak seimbang. Apa pun yang mereka lakukan, baik itu tembakan atau pukulan, semua seperti tidak berarti apa-apa. Legenda Belanda benar-benar adidaya menghancurkan mereka semua.

Beberapa helikopter yang datang tidak jadi mendarat. Mereka hanya berputar-putar menonton kedahsyatan pertempuran di bawah sana. Orang-orang mafia yang tadinya berjumlah ratusan atau bahkan ribuan, kini seperti bisa dihitung dengan jari saja.

Dalam waktu yang relatif singkat, sangat sedikit sekali yang tersisa dan masih berdiri. Yang lainnya sudah meregang nyawa dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Bahkan yang berupaya untuk kabur pun ada yang terkejar dan mati sebagai pengecut. Mungkin penghargaan yang cocok untuknya adalah Medali Pejuang yang Lari dari Medan Perang,

The winner in this war is Legenda Belanda.

Orang-orang di dalam helikopter ini sekarang sadar, inilah yang selama ini disebut sebagai Legenda Belanda. Isu-isu yang selama ini hanya mereka dengar dari mulut ke mulut tanpa bukti, kini mereka lihat dengan mata kepala sendiri. Dengan begitu jelasnya malah, karena helikopter yang mereka tumpangi ini menggunakan lampu tembak besar. Lampu yang menyoroti semua hal yang ada di bawahnya. Mereka saat ini seperti menonton siaran langsung pembantaian rekan-rekan mereka.

Bhu bhu bhu.!!

Suara tembakan mempertahankan diri masih terdengar. Satu dua saja, mungkin bukan tembakan menyerang, tapi tembakan yang dihadapi. Dan orang yang melakukan ini pun, pada akhirnya hanya menjadi bulan-bulanan para Legenda Belanda. Hingga pada akhirnya... orang-orang Mafia tanpa sisa..

Tanpa sisa!

Dan melihat hal ini semua, apalagi yang bisa dilakukan para penunggang burung besi itu jika bukan kembali ke markas dan memberikan laporan terkait pertempuran ini. Dan ketika kabar itu sampai di telinga pimpinan mafia, lelaki berkulit hitam legam itu hanya bisa terhenyak tanpa ekspresi.

"Legenda Belanda..."

orang yang meneruskan laporan dari anak buahnya pun sampai tidak tahu harus berkata apa?

Ternyata isu-isu mengenai adanya tentara hantu di sebagian wilayah Gunung  ini benar adanya.

Dan kebenaran ini pun harus dibayar mahal dengan tewasnya seribu tentaranya.

"Berapa orang kita yang tewas di sana?" tanya sang pemimpin mafia pelan.

"Yang baru berhasil kita daratkan sekitar 954 orang. Dari hasil laporan orang kita yang memantau dari atas udara, semuanya tewas dilokasi bos!" jawab sang pemberi laporan datar. Dia sendiri dilanda kengerian ketika mendengar kenyataan seperti itu. Seumur-umur baru sekali ini dia mendapatkan kabar kalau anak buahnya tewas dalam waktu singkat dengan jumlah sebanyak itu. "Namun jika ditotal keseluruhan orang-orang kita malam ini, jumlahnya lebih kurang seribu orang telah tewas di perburuan NCT Dream ini."

"Menurut sejarahnya, wilayah itu dahulunya adalah daerah kekuasaan suku pedalaman yang kini musnah. Konon menurut kabar, kemusnahan suku tersebut dikarenakan kutukan dari para Dewa. Dan kutukan itu kini menjelma menjadi Legenda Belanda, yang tidak seorang pun tahu bagaimana bisa ADA tentara Belanda sebegitu banyaknya di sana," cerita sang pelapor.

"Tapi kenapa baru sekarang saja? Kenapa selama ini keberadaan mereka terkesan seperti misteri?

Lalu tiba-tiba sekarang seolah-olah Legenda Belanda itu menjelma menjadi kenyataan," desis pemimpin mafia. "Bahkan ternyata Legenda Blanda itu jumlahnya ada ratusan pulau..."

"Aku sendiri kurang begitu paham. Kemungkinan keberadaan mereka selama ini tersembunyi dan tidak diketahui dunia luar, karena siapa pun yang bertemu atau berpapasan dengan mereka pasti mati,"Jawab sang pelapor. "Diluar itu pula, jika merunut aturan suku-suku pedalaman, setiap suku memiliki batas wilayahnya sendiri. Suku-suku tersebut tidak akan berani menginjakan kaki atau melanggar, hingga masuk ke wilayah suku lainnya. Kemungkinan seperti itupula yang dianut Legenda Japun, mereka selama ini mendiami satu area wilayah mereka dan tidak pernah masuk ke wilayah suku lain di sekitarnya."

pemimpin mafia memicingkan kedua matanya, memandang jauh ke depan dengan sudut pandang yang sempit. Seolah-olah orang ini hendak memutuskan Jalan keluar seperti apa yang harus dia lakukan untuk menghadapi situasi seperti ini.

TO Be CONTINUE