Naira memasuki ruangan Zian dengan membawa berkas, Naira memberikan berkas itu sesuai dengan permintaan Zian. Setelah berguru pada Hesti, sedikit banyak Naira tahu harus apa dengan beberapa berkas yang diminta Zian.
"Hari juma'at saya tidak...."
"Saya sudah batalkan pertemuannya, Pak." Sela Naira. Zian mengernyit, bukankah itu tidak sopan memotong kalimat orang lain seenaknya saja.
"Saya alihkan pertemuannya ke hari senin, maaf kemarin saya belum tahu tentang pengaturan jadwal pertemuan."
"Apa mereka setuju dengan pergantian waktunya?"
"Mereka setuju, hari senin jam 10 di Cafe Mentari."
Zian tersenyum seraya mengangguk, baguslah kalau begitu Zian tidak perlu repot menjelaskan lagi. Naira lantas pamit setelah dirasa urusannya selesai, Naira akan kembali pada pekerjaannya yang lain lagi di tempatnya sendiri.
"Naira, enak banget ya kamu bisa langsung jadi Sekretaris tanpa pengalaman apa pun!"
Naira diam saja, sejak awal masuk sudah beberapa kali Naira mendapatkan ejekan seperti itu. Mungkin karena tubuh Naira yang memang mungil dan wajahnya yang memang terlihat sangat muda, sehingga mereka bisa menyimpulkan sendiri jika Naira memang selayaknya anak sekolahan.
"Pakai cara apa kamu bisa mendapatkan kepercayaan dengan semudah itu?"
"Jangan-jangan ada bonus istimewa ya yang kamu berikan?"
"Ih mengerikan sekali, kamu bocah nakal ya?"
Naira menghela nafasnya dalam, kenapa kalimat mereka jahat sekali, memangnya apa yang dilakukan Naira. Sejak awal Naira melamar sesuai dengan aturannya, apa mereka tidak percaya keberuntungan, mungkin saja keberuntungan memang berpihak pada Naira sehingga bisa mendapatkan posisinya sekarang.
"Hey, Naira. Jangan besar kepala kamu ya, paling juga berapa minggu kamu bertahan, jangan anggap posisi kamu itu mudah"
"Kalian kalau keberatan dengan kehadiran Naira, sebaiknya mengeluh pada Pak Zian langsung!" Ucap Hesti yang tiba-tiba saja datang. Naira menghembuskan nafasnya lega, akhirnya ada yang mau membantunya juga, Naira tidak mau keributan terjadi dan sampai membuat Zian marah nantinya.
"Kenapa? Ada masalah dengan Naira?"
"Benarkah kamu baik-baik saja? Bukankah kamu begitu dekat dengan Pak Zian, kenapa tidak kamu saja yang jadi Sekretarisnya?"
"Sekretaris atau bukan, saya tetap berarti di Perusahaan ini!"
Mereka tersenyum mengejek mendengar ucapan Hesti, mereka yakin jika Hesti sebenarnya kesal juga dengan Naira. Mereka lantas bubar dan kembali ke meja masing-masing, entah sampai kapan mereka akan terus bersikap seperti itu pada Naira.
"Terimakasih, Mbak."
"Kembalilah ke tempat kamu, bukankah ada beberapa yang harus kamu kerjakan cepat?"
"Baik, Mbak. Saya permisi."
Hesti mengangguk dan membiarkan Naira pergi dari hadapannya, sesaat Hesti menatap mereka yang sempat mengejek Naira tadi. Apa mereka merasa lebih pantas untuk diposisi Naira saat ini, mengingat mulut mereka yang asal bicara seperi itu rasanya Zian tidak akan pernah menaikan jabatan mereka. Hesti menggeleng dan turut pergi meninggalkan mereka semua, Hesti menemui Zian di ruangannya ketika Zian sedang fokus dengan berkas-berkasnya.
"Ada keluhan?" tanya Zian yang sudah tahu siapa yang datang meski tak menoleh.
"Sekretaris pilihanmu jadi ejekan mereka semua."
"Biarkan saja, kalau tidak kuat maka Naira bisa mengundurkan diri."
Hesti tersenyum mendengarnya, bukankah Zian membutuhkan sekretaris lalu kenapa Zian dengan mudah mengatakan kalimatnya. Zian menoleh dan turut tersenyum pada Hesti, siapa pun yang bekerja dengannya selain harus pintar juga harus kuat mental, Zian tidak akan mengistimewakan semuan karyawannya jika tidak menguntungkan Zian sama sekali.
"Waktu hari pertama, kalian telat bareng?"
"Dia ikut ke Rumah Sakit jenguk Mama."
"Bagaimana keadaannya sekarang?"
"Masih sama saja, tapi kamu harus tahu kalau Mama bersikap beda pada Naira."
"Beda?"
Zian mengangguk pasti, kemudian menceritakan semuanya pada Hesti tentang Jihan yang memeluk erat Naira. Zian mengaku bingung dengan sikap itu, tapi untuk pertama kalinya Jihan tidak mengamuk ketika bertemu orang lain selain Zian, bahkan ketika bertemu Hesti pun Jihan masih tidah setenang itu.
"Mungkin Mama kamu menyukai Naira."
"Alasannya?"
"Aku tak tahu, tapi kadang naluri yang berbicara dan itu sering kali tidak bisa dijelaskan."
Tak ada jawaban, Zian diam berusaha untuk mengerti maksud ucapan Hesti, jika mengingat kuatnya pelukan Jihan pada Naira mungkin saja benar Jihan menyukai Naira. Tapi itu untuk pertama kalinya, bahkan Jihan belum tahu siapa dan seperti apa Naira. Sikap seperti itu pernah Jihan tunjukan pada Kaira, hangat dan memang penuh kasih sayang, sepertinya untuk pertama kali Zian akan melihat hal yang sama pada Jihan dan Naira.
"Kalau Mama kamu suka, bisa jadi nanti kamu juga suka sama dia."
"Lalu kamu cemburu?"
Hesti hanya tersenyum saja tanpa mengatakan apa pun, begitu juga dengan Zian yang memilih kembali fokus pada layar komputer nya itu. Hesti lantas pamit dan meninggalkan ruangan Zian, Hesti juga masih harus bekerja di kantor tersebut.
Seperginya Hesti, Zian kembali diam, perasaannya cukup terusik sampai detik ini ketika mengingat Jihan dan Naira. Sepertinya Zian harus mengulang pertemuan itu lagi, Zian ingin memastikan kebenarannya seperti apa tentang Jihan terhadap sosok Naira.
"Sepertinya itu harus," gumam Zian seraya mengangguk yakin.
*
Sampai di rumah Naira dikagetkan dengan Zahra yang bersembunyi dibalik pintu kamarnya, bocah kecil itu tertawa puas melihat wajah kaget Naira. Seharian Zahra sudah sangat kesepian karena Naira tak kunjung pulang, berulang kali Zahra meminta Nisa untuk menghubungi Naira dan memintanya pulang.
"Nakal ya kamu." Ucap Naira seraya menggendong Zahra, bocah kecil itu kembali tertawa seraya memeluk leher Naira.
"Kamu sudah mandi? Sudah makan?"
"Ayo beli ice cleam!"
"Ya ampun, Kakak tanya apa kamu jawab apa."
Zahra terkiki dan melompat di kasur Naira setelah diturunkan di sana, Naira tersenyum seraya menggeleng. Rasanya cukup melelahkan bekerja hari ini, lelah hati juga karena Naira terus saja diejek karyawan julid di sana.
"Kakak, ayo beli ice cleam!"
"Baiklah, kita pergi setelah Kakak mandi, oke?"
"Oke."
Naira mencuit hidung Zahra sekilas kemudian berlalu ke kamar mandi, sebenarnya Naira ingin sekali rebahan untuk membuat tubuhnya rileks, tapi Zahra tidak akan bisa diam jika keinginannya belum dipenuhi. Zahra yang masih melompat-lompat itu seketika diam ketika ponsel Naira bergetar, dengan jahil Zahra merogoh tas Naira dan meraih ponselnya.
"Kakak aku mau main hp." Teriak Zahra. Tanpa basa-basi Naira mengiyakan saja, Zahra tersenyum dan dengan nakalnya Zahra menolak panggilan itu. Zahra memilih membuka game dan memainkannya asal, selalu seperti itu mungkin jika tidak ketahuan Naira, ponsel Naira sudah rusak sejak lama.
"Ih apaan sih." Omel Zahra ketika panggilan masuknya kembali ada. Lagi dan lagi Zahra menolak panggilan tersebut, karena bagi Zahra panggilan itu hanya mengganggunya bermain game.
"Awas ya HP Kakak rusak!" Ucap Naira yang akhirnya selesai membersihkan diri. Zahra tak perduli dengan ucapan Naira karena sedang fokus pada gamenya, hingga panggilan itu kembali masuk dan Naira melihatnya langsung ketika Zahra menolak panggilannya.
"Zahra," ucap Naira yang kemudian merebut ponselnya.
"Itu mengganggu sekali, tadi telus gitu telus gitu telus," omel Zahra menggemaskan.
Naira mengernyit dan membuka laman panggilannya, seketika itu Naira tercengang karena banyaknya panggilan Zian yang ditolak Zahra.
"Zahra.... Kamu gak boleh ya kayak gini!" omel Naira.
"Aku lagi main game, Kakak."
"Tetap saja tidak boleh, kamu tidak sopan kalau gitu. Kamu tahu....." Kalimat Naira menggantung karena panggilan Zian kembali masuk, segera Naira menjawabnya. Naira yang berniat nyerocos lebih dulu itu justru mematung tak berdaya, Zian memarahinya disana karena panggilannya yang tolak terus menerus.