Tak terasa air mata Naira menetes di kedua pipinya, tubuh Jihan tak lagi berdaya ketika dibaringkan di ranjang sana. Perawat memberinya obat penenang karena Jihan yang terus menangis, pelukan terhadap Naira begitu enggan dilepaskannya sehingga Zian memutuskan untuk memberinya obat penenang.
"Permisi, Pak." Ucap perawat yang kemudian pergi. Zian mengusap wajahnya tenang, tidak jarang Zian merasa prustasi dengan keadaan ibunya itu. Satu tahun bukan waktu yang singkat jika harus menghadapi orang dengan gangguan kejiwaan seperti itu, Zian kerap ingin menyerah dan tidak mau lagi mengurusi Jihan jika saja Zian tidak memiliki kawarasan yang cukup.
"Naira," panggil Zian. Naira berpaling dan mengusap air matanya cepat, kemudian berbalik dan menatap Zian disana.
"Maaf untuk perlakuan Mama, saya tidak tahu kalau Mama akan seperti itu terhadap kamu. Selama ini, tidak ada orang yang bisa dekati Mama seperti itu."
Naira mengangguk saja, itu tidak masalah karena sebenarnya tadi Naira hanya takut saja Jihan akan menyakitinya. Pemikiran itu salah besar, Jihan sama sekali tidak menyakiti Naira, wanita itu hanya memeluknya saja selama bersama tadi.
"Naira, kamu marah?"
"Tidak, apa aku berhak marah? Emm mungkin saja Pak Zian tidak pernah memeluk Mamanya, makanya Mama Pak Zian jadi ingin memeluk orang lain."
Celetukan Naira justru membuat Zian sedikit tersinggung, bagaimana mungkin Zian tidak pernah memeluk mamanya itu. Apa Naira tidak melihat sewaktu datang tadi, Zian langsung memeluk mamanya.
"Pak Zian, aku tidak seharusnya tahu tentang ini, bukankah urusanku dengan Bapak hanya perkara pekerjaan Kantor? Tapi, sepertinya aku perlu tahu tentang ini lebih jauh."
"Kamu fikir kamu berhak?"
Naira diam, mungkin besarnya memang tidak berhak, tapi Naira tidak mau fikirannya terus menerka tentang semua yang dialaminya hari ini. Naira tersenyum kemudian menggeleng, Zian lebih berhak untuk tidak mengatakan apa pun tentang kisah hidupnya dengan keluarganya, itu lebih benar.
Keduanya kembali melanjutkan perjalanan untuk sampai ke kantor, mereka datang ketika setelah terlambat berjam-jam. Zian melihat jam di pergelangan tangannya, sudah masuk jam makan siang, sebaiknya Zian mencari makan dulu agar bisa fokus bekerja tanpa merasa lapar.
"Kenapa ke sini?" tanya Naira saat sadar Zian tidak pergi ke Kantor.
"Ini jam makan siang, kamu tidak lapar?"
Tak ada jawaban, rasanya Naira tidak lapar karena Naira masih terfikir tentang Jihan tadi. Zian membuka pintu mobilnya dan kembali melirik Naira yang masih mematung di tempatnya, sekilas Zian tersenyum kemudian keluar lebih dulu.
"Saya akan cerita tentang Mama di dalam, bukankah seharusnya kamu ikut untuk mendengarkan cerita saya?"
Seketika itu Naira tersenyum dan turut keluar, Zian menggeleng melihat reaksi Naira, apa wanita itu benar-benar ingin tahu tentang Jihan. Zian membawa Naira ke tempat duduk yang biasa ditempatinya tempo hari, di lantai atas yang memang suasananya lebih tenang.
"Silahkan menunya." Ucap pelayan yang seketika menghampiri. Zian meminta Naira untuk memesan juga, dan pelayan itu pun pergi setelah mendapatkan pesanan Naira dan Zian.
"Kamu menangis tadi?"
"Hem?"
"Kamu kesakitan ketika Mama peluk kamu?"
Naira menggeleng bingung, bukan sakit tapi mungkin lebih ke sesak karena pelukan Jihan begitu erat. Zian sedikit tersenyum dan kembali meminta maaf atas ulah Jihan, tapi sepertinya bukan maaf itu yang diinginkan Naura saat ini.
"Maaf, Pak. Tapi Kaira itu siapa?"
"Dulu dia Istri saya."
"Istri?"
Naira tak percaya dengan itu, Naira berfikir jika Kaira mungkin adik atau masih keluarga Zian juga. Minuman yang mereka pesan datang lebih dulu, dan Naira langsung menikmatinya saat itu juga.
"Saya pernah menikah 2 tahun lalu, lebih tepatnya itu perjodohan."
Naira tak berniat untuk ikut bicara, bukankah itu artinya jika Zian sekarang adalah seorang duda. Padahal Zian masih terlihat sangat muda, bagaimana bisa wanita itu meninggalkan Zian yang begitu tampan.
"Kaira itu anak sahabat Papa, dan Mama begitu menyayanginya, mereka bilang Kaira sudah mereka kenal sejak masa anak-anak. Sampai akhirnya kami menikah, saya tidak mengerti kenapa Kaira bisa jadi sepenting itu bagi Mama. Ketika dia pergi, Mama sampai sakit dan kondisinya tidak membaik sampai sekarang."
"Bagaimana dengan keluarga Kaira."
"Sewaktu kami menikah, Kaira sudah tidak memiliki orang tua."
"Lalu kemana Kaira sekarang?"
Zian menggeleng, jika Zian tahu sudah pasti Zian akan membawanya menemui Jihan, wanita itu harus bertanggung jawab atas keadaan Jihan saat ini. Tapi seolah Tuhan pun mendukung keadaan Jihan saat ini, sehingga begitu sulit untuk Zian bisa menemukan Kaira.
Semua sudah Zian lakukan untuk pencarian Kaira, polisi dan orang kepercayaannya pun sudah ditugaskan untuk itu. Tapi setelah satu tahun tidak ada hasil apa pun, Zian telah berfikir jika Kaira memang sudah mati sehingga tidak ada jejaknya lagi.
"Jadi, kalian masih Suami Istri?"
"Saya sudah urus perpisahannya, saya sudah tidak ada ikatan lagi dengan Kaira."
"Sesayang itu Bu Jihan sama menantunya," ucap Naira dengan senyuman penuh, pasti akan sangat beruntung jika memiliki mertua yang sayang pada menantunya. Makanan keduanya telah dihidangkan di meja, baik Kaira atau pun Zian, keduanya menikmati hidangan dalam diam.
Dari rumah Naira berfikir akan sangat pusing dengan pekerjaan yang baru didapatkannya itu, tapi ternyata Naira justru mendapatkan kejutan lain yang bahkan tidak pernah terfikir kan sebelumnya. Naira memiliki ibu juga, tapi kondisi ibu Naira sangatlah sehat, Naira tidak bisa bayangkan seperti apa perasaan Zian yang sebenarnya.
"Pak Zian, kalau Papanya masih ada?"
"Papa saya sudah meninggal tidak lama setelah Mama masuk Rumah Sakit itu."
Naira mengangguk dan kembali diam, mengurus Jihan seorang diri pasti membuat Zian pusing. Belum lagi dengan tuntutan Perusahaan Zian sendiri, Naira tersenyum bangga, lelaki itu pasti lelaki hebat bisa menjalani semuanya dengan tetap waras.
"Pak, kalau misalnya Bapak mau nengok Bu Jihan, boleh aku ikut?"
"Mungkin Mama akan membuatmu takut lagi."
"Mungkin tidak, pertemuan pertama terkadang suka berlebihan kan?"
Zian hanya mengangguk kecil, Zian akan kembali ke Rumah Sakit jika memang waktu luangnya ada. Atau Zian akan memaksakan datang jika situasi darurat seperti tadi, Zian memiliki banyak urusan sehingga tidak bisa begitu saja datang menemui Jihan.
Setelah makan siang itu keduanya akhirnya sampai di kantor, Naira langsung dibuat pusing oleh daftar pekerjaan yang akan jadi tanggung jawabnya itu. Naira dibantu orang kepercayaan Zian untuk bisa mengerti semuanya, penjelasan yang didapatkan Naira cukup memudahkannya untuk mengerti dengan cepat.
"Jangan khawatir, Pak Zian adalah Bos paling baik. Dia tidak akan marah jika hanya satu kesalahan saja, tapi jika kesalahan itu terulang ya resiko ditanggung pemenang." Ucap Hesti seraya terkikik, Naira ikut tersenyum mendengarnya. Sebisa mungkin Naira tidak akan melakukan kesalahan, Naira akan banyak berkomunikasi dengan Hesti sebelum menghadapi Zian nantinya.