Pak Sumi membuka matanya. Suasana terasa hening, sendiri terbaring di kasur dingin di sebuah bilik bersekat. Sebuah lampu LED 5 watt menyala putih. Pun tirai hijau membentang menyekat. Itu adalah ruangan di Rumah Sakit. Pak Sumi menoleh. Ada istrinya disampingnya, sedang tertidur dengan posisi duduk bersandar ranjang pasien milik Pak Sumi. kemudian Ia ingat apa yang terjadi.
"Lili!" Kata orang itu berulang ulang sambil mencoba untuk duduk.
Tapi Dia tidak bisa. Kepalanya terlalu berat. Kemudian Bu Rati terbangun.
"Bu! Lili! Lili! dimana anak itu sekarang!" Kata Pak Sumi yang masih terbaring.
Wanita itu diam. Kemudian air matanya bercucuran. Bu Rati menangis bahagia.
"Syukurlah, kau bangun pak." Kata wanita itu sambil menangis.
"Sudah tak apa, Lili... Lili, apakah dia sudah..." Kata Pak Sumi terputus karena seorang anak kecil yang sangat ia kenal masuk ke bilik dengan kerepotan karena benda yang dibawanya.
Anak itu mengetuk pintu lalu masuk ke dalam. Pak Sumi kaget. Anak itu membawa baskom berwarna hijau berisi air dan handuk kecil yang disampirkan di tepi baskom. Anak itu adalah Lili.
"Lili! kau... kau masih hidup?" Kata Pak Sumi.
Bocah itu kebingungan atas pernyataan Pak Sumi. Bu Rati yang dari tadi masih memeluk suaminya, mulai menegakkan kepalanya dan berkata "Ya. Itu Lili."
Pak Sumi menatap Bu Rati dengan perasaan bingung. Pak Sumi hanya berpikir bila hal yang terjadi sebelum ini adalah mimpi.
"Taruh di atas lemari itu nak." Kata Bu Rati kepada Lili.
"Lili? kamu benar-benar masih hidup nak?" Kata Pak Sumi.
Tangan Pak Sumi menggapai tangan Lili yang dingin karena memegang sebuah baskom berisi air es. Anak yang kebingungan itu hanya bisa mengangguk-anggukan kepalanya. Pak Sumi tersenyum, Dia lega.
"Sudah berapa lama aku pingsan?" Tanya Pak Sumi.
"2 minggu." Jawab Bu Rati sambil mengompres kepala Pak Sumi.
"2... 2 minggu? Selama itu? Lalu bagaimana dengan yang lainnya?" Tanya Pak Sumi.
"Yang lain? tolong jangan paksakan otak bapak untuk berpikir." Kata Bu Rati saat melihat Pak Sumi terlihat pusing.
"Iya." Pak Sumi melihat kedua orang itu.
Lalu Pak Sumi menyadari sesuatu.
"Lili! Lehermu!? Kenapa dengan lehermu!?" Kata Pak Sumi sesaat setelah dia memperhatikan leher anak itu.
Leher anak itu berlubang.
"Kanker Esofagus. Anak ini terkena kanker, lalu menggerogoti lehernya sampai ke pita suara. Jadi Lili sekarang bisu." Terang Bu Rati.
Meski begitu, Lili menunjukkan wajah tersenyumnya dihadapan Pak Sumi.
"Ah, Lili, Ibu minta tolong ambilkan kain lagi, bisa?" Tanya Bu Rati.
Lili mengangguk dengan girang. Lalu Anak itu keluar dari bilik Pak Sumi.
"Apa penyebabnya?" Tanya Pak Sumi.
"Yang pasti ada infeksi Virus yang menyebabkan akalasia (1), lalu kondisi itu semakin diperparah dengan Ubi beracun yang dimakan. Itu masih menyangkut di leher, lalu akhirnya..." Kata Bu Rati terhenti ketika suaminya itu terlihat panik.
Saat Bu Rati mulai menjawab, Pak Sumi gelisah dan tengak-tengok ke kanan dan ke kiri.
"MARIE! MARIE! DIMANA ANAK KU SEKARANG? Dia masih di rumah kan? kan? Hei, dia masih tertidur dikamarnya kan? tolong jawab aku kalau aku sayang, HEI RATI!" Kata Pak Sumi.
"Marie... iya dia tertidur." Kata Bu Rati.
Untuk sesaat Pak Sumi lega
"...Di alam yang lain. Marie telah meninggal." Lanjut Bu Rati.
Seketika Pak Sumi menampar Bu Rati. Amarah dan kesedihannya tak terbendung karena ia berpikir jika istrinya baru saja mengatakan kebohongan padanya. Tapi sebenarnya tidak. Marie memang mati. Bu Rati hanya bisa tertunduk. Orang itu tidak marah akan tamparan suaminya, meski tamparan itu adalah tamparan pertama kalinya Pak Sumi kepadanya.
"Saat kamu ke luar negeri, Aku melakukan sedikit penyelidikan mayat di ruang Mayat. Mungkin aku terlambat mengakuinya tapi... Aku adalah informanmu, seseorang yang membantumu dibalik bayangan selama ini." Kata Bu Rati.
Pak Sumi melihat Bu Rati dengan perasaan tidak percaya. Pikirannya campur aduk. Belum sempat Ia mencerna kabar kematian Marie, pikirannya dijejal lagi dengan kabar yang sangat tidak Ia duga.
"Setelah melakukan autopsi aku menemukannya. Aku menemukan Sebuah 'kunci' yang kamu cari sampai ke Malaysia. Aku bersama Quora lalu kembali ke rumah. Kami sudah- aku sudah sekuat tenagaku... Tapi... Tapi... saat sampai di depan rumah semuanya terlambat. Aku hanya melihat mayat saudara Pak Warno itu dengan garpu yang menancap di leher belakangnya. lalu Marie..." Kata Bu Rati.
Bu Rati memegang baju di area sekitar dada dengan kedua tangannya. Nafasnya sesak karena menahan isak tangis yang sudah hampir tak terbendung. Rasa sakit pipi kanan Bu Rati tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sakit hati karena terpaksa mengucap satu hal yang membuat sakit walau jika itu hanya terlintas di batin.
"Ma-Marie juga ada di sebelah mayat orang itu. Dia dibawa paksa keluar dari ranjangnya. Semua alat penunjang hidupnya sudah dicopot. Marie sudah mati saat aku tiba disana. Kemudian, Lili, Lili sendiri yang menghunjam ayahnya dengan garpu."
Semuanya terdengar oleh Pak Sumi, tapi tidak bisa Ia simak. Pikirannya buntu. Terlalu banyak informasi baru yang ia terima dalam satu waktu bersamaan. Hari itu menjadi hari yang berat bagi seseorang yang baru saja siuman.
Kini sepasang suami istri itu sedang merasakan apa yang disebut titik terendah dalam hidup. Mereka berdua saling menguatkan satu sama lain. Mereka berdua berpelukan setelah Pak Sumi meminta maaf kepada Bu Rati yang hanya bisa menangis sesenggukan setelah mengatakan semuanya. Namun yang bersedih bukan hanya mereka berdua. Lili, gadis kecil itu duduk membungkuk memeluk betisnya di sebelah tirai hijau.
Lili tidak pernah mengambil kain yang baru saat itu. Mendengar perbincangan orang tua angkatnya, Anak itu terlalu lemas ketika mengingat kembali kejadian yang telah ia lupakan sepenuhnya. Ingin menangis berteriak-teriak sampai puas, namun pita suaranya tidak mengizinkan.
"Ayah... Marie..." Batin Lili.
...
Satu hari setelahnya Kondisi badan Pak Sumi telah pulih. Ia diberi tahu oleh istrinya jika Ia diberi jatah cuti lebih awal, untuk menyembuhkan badannya. Hari ini juga Pak Sumi akan berkunjung ke pemakaman. Ia bersama istri dan anak angkatnya yang baru (Lili) akan berkunjung ke dua orang yang disemayamkan di satu tempat pemakaman.
Itu adalah Marie dan Deni. Yang pertama adalah makam Deni. Meski begitu Pak Sumi masih tidak bisa menerima perbuatan bodoh Deni. Dia menggeret istrinya pergi dari makam itu dan mengajaknya untuk menunjukkan dimana letak makam Marie. Lili ditinggal sendiri didepan makam ayahnya.
Lili tidak meneteskan air mata sedikit pun. Tidak jelas apakah Dia juga sudah melupakan kejadian itu, melupakan eksistensi ayahnya, atau dia bukannya lupa, tapi sudah tidak menganggap orang itu sebagai sosok ayah. Yang jelas, Lili juga beranjak pergi dari depan makam itu sesaat setelah ia selesai menyebarkan bunga ke atas makam.
dan meludahi batu nisannya.
Pak Sumi sangat terpukul ketika ia sampai didepan makam kecil. Itu adalah makam Marie. Mereka berdoa di depan makam itu. Bu Rati tak kuasa menahan air matanya, tak elak juga Lili. Nampaknya sudah 2 minggu dan Lili masih ingat dengan Marie.
Pak Sumi terpukul karena dua hal. Menangis karena kehilangan putrinya, dan menyayangkan pengambilan keputusan Marie. Aquastor. Pak Sumi sangat percaya bahwa pada saat itu sudah waktunya bagi Marie untuk mengambil tumbal yang baru untuk kelangsungan hidupnya. Marie telah gagal 'menyembuhkan dirinya sendiri' saat gagal membunuh Bu Rati dulu, kali ini Aquastor tidak bisa menunggu lebih lama lagi.
Tapi Marie menolak keinginan "penjaganya" itu untuk membiarkan inangnya (dirinya) hidup lebih lama. Pak Sumi berpikir memang Marie seharusnya tidak bisa hidup lagi, dan kehidupan Marie sendiri tidak selaras dengan hukum alam. Tapi apakah salah jika kita menginginkan orang terkasih kita tetap hidup?
Setelah berdoa, Pak Sumi memegang batu nisan Marie dan berkata "Marie...Marie sungguh anak yang baik. Maaf nak."
...
Hari ini pula dijadwalkan Pak Sumi harus berada di kantor. Ia akan diberi hadiah dari Gubernur Surabaya karena telah berhasil mengungkap siapa dalang dari pembunuh berantai. Bu Rati kembali bersama Lili ke rumah, sedang Pak Sumi langsung menuju ke kantor polisi. Disana ia disambut oleh semua polisi yang ada disana. Tak terkecuali Pak Warno. Ia lalu meminta waktu berdua dengan Pak Sumi.
"2 minggu dan kau baru siuman." Kata Pak Warno.
"Apa yang terjadi padaku?" Tanya Pak Sumi.
"Jantung. Kelihatannya saat itu waktu di pesawat kamu mengalami gagal jantung, karena terbentur badan pesawat. Raymond berkata padaku seperti itu." Kata Pak Warno.
"Gagal jantung? tidak-" Kata Pak Sumi kaget.
"Tidak mungkin? Kata dokter yang mengawasimu, terdapat bukti jika saat itu hormon adrenalinmu meningkat tajam, aku pun sempat melihatmu berkeringat dan nafasmu tersengal-sengal. Lalu itu membuatmu mengalami hipertensi yang tiba-tiba." Kata Pak Warno.
Pak Sumi diam.
"Lalu sebenarnya ada apa kau memanggilku kesini? Kau tidak hanya akan memberitahuku hal ini kan?" Tanya Pak Sumi.
"Tidak. Ya... Sebenarnya ada hal lain lagi yang perlu aku jelaskan padamu. Ini tentang Deni." Kata Pak Warno terhenti.
"Mungkin yang akan ku sampaikan ini menyakitkan, tapi aku tidak suka dengan kebenaran yang ditutup-tutupi." Lanjut Pak Warno.
"Den-, kenapa dengan lelaki bangsat itu." Kata Pak Sumi.
"Redam amarahmu sum, istigfar. Jangan sampai terkena serangan jantung lagi, atau nyawamu yang akan dalam bahaya." Kata Pak Warno.
" Kelihatannya dia sudah merencanakan semuanya." Lanjut Pak Warno.
Kemudian Pak Warno merogoh sakunya dan memberikan beberapa kertas miliknya.
"Foto-foto ini!?" Tanya Pak Sumi.
"Itu adalah foto hasil dari penyelidikan kepolisian Malaysia. Salah satu detektif dari sana mengirim surat kepadaku satu minggu yang lalu. Coba kau baca kertas yang paling bawah." Kata Pak Warno setelah memberikan berkas itu.
(1) Kondisi ketika otot kerongkongan tidak mampu mendorong makanan atau minuman untuk masuk ke lambung. Kondisi ini ditandai dengan kesulitan menelan, dan terkadang makanan kembali naik ke tenggorokan. (aldokter: web)