Tulisan di kertas:
Selamat dan sejahtera bagi kita semua.
Disclimer: Hasil ini berlaku dan dipublikasikan kepada pihak kepolisian di Indonesia.
Suspek: Deni
Pembuka: Sejak sebelum Pak Warno mengontak, Saya telah sangat tertarik dengan kasus ini. Kasus bilamana orang membunuh diri di apartemen Dahlia dengan cara yang tidak biasa. Namun maaf, saya hanya bisa menjelaskan 50% kasusnya karena hanya data dari Malaysia yang saya miliki. Hal-hal yang Saya dapatkan dari penyelidikan saya adalah sebagai berikut.
Hasil: Deni merupakan warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di Malaysia. Dia drop out dari UM kemudian dia menjadi tukang cuci piring di sebuah restoran. Alasan dia di DO karena skandal pembunuhan, tapi menurut Saya pribadi dari awal masuk ke Malaysia mentalnya sudah tidak stabil. Jika bisa Saya katakan, pagi hari Dia ke masjid, malam hari Dia ke diskotek. Disebutkan bahwa orang itu tidak mempunyai suatu skandal apa pun dengan wanita lain saat istrinya masih hidup. Menurut saya kondisi kejiwaannya sangat berkaitan dengan kondisi Istrinya. Ternyata tebakan saya benar, Saya mendapati di berkas jika sebelum ke Malaysia istrinya mati.
Kemudian kemarin Saya mendapatkan hasil olah tempat dari kepolisian setempat. Menurut Saya, Dia belum mati. Dan Benar, yang terlempar dari lantai 47 bukan Deni, melainkan Cahya bin Romiah, yang menurut berkas adalah seorang orang gila di taman dekat apartemen tersebut.
Dimasukkan Cahya di dalam apartemen dan diberi makan lalu untuk suatu alasan Ia keluar jendela dari lantai 47. Dari hasil olah tempat oleh kepolisian, Saya simpulkan sebagai percobaan bunuh diri yang terencana. Pasalnya tidak ada tanda-tanda kerusakan barang-barang didalam ruang apartemen Deni dan dari hasil autopsi di tubuh Cahya tidak ada luka fisik lain kecuali karena benturan keras (karena jatuh dari lantai 47). Ini seperti Cahya sangat menuruti apa kata Deni.
Namun, belum ada penjelasan mengenai kenapa Cahya mau mengikuti apa mau Deni hingga ia jatuh dari lantai 47.
Yang terpenting, Dia menggunakan kematian gelandangan itu untuk memberi kabar apabila Ia sudah meninggal. Secara spontan, otoritas Malaysia akan langsung memberitahu keluarga terdekatnya. Menurut Saya ini adalah bagian dari rencananya. Dia menggunakan cara ini agar bisa menghilangkan bukti jika Ia masih hidup.
Namun ada hal yang menarik bagi Saya. Ada suatu hal lain yang menjadi tujuannya. Dimana hal itu merupakan sesuatu yang hanya bisa dilakukan jika Ia masih dianggap berada di Malaysia. Dianggap berada di Malaysia? Ya, kenyataannya Ia sudah kembali ke Indonesia tanggal 6 Juni.
Jika Deni adalah orang yang pandai, Ia pasti tidak meninggalkan jejak, seperti sangkar manusia, TV menyala, HP yang masih aktif dan terdapat panggilan tidak terjawab dari nomor tidak dikenal, dan hal-hal lainnya. Seharusnya Ia melenyapkan semua buktinya (mungkin dengan cara meledakkan kamarnya). Tapi tidak Deni lakukan. Seperti kata saya di pembuka, saya hanya bisa 50% menjelaskan kasus ini.
Simpulan: Suspek (Deni) menggunakan Cahya sebagai perisai hidup untuk membuktikan Suspek (dianggap) masih hidup dan berada di Apartemen untuk jangka waktu tertentu, namun, Ia juga menggunakan Cahya sebagai alat untuk mendeklarasikan kematiannya kepada orang terdekat (keluarga). Alasannya? Saya tidak tahu.
"Jika Deni adalah orang yang pandai, ia pasti tidak meninggalkan jejak, dan mati di apartemen."
atau
"Jika Deni adalah orang yang pandai, ia akan mengabarkan ia masih ada di Malaysia dan hidup disana."
Maka jika kalimat kedua saya digunakan sebagai ide dasar untuk kalimat pertama maka akan jadi seperti ini:
Deni berniat memanggil keluarganya yang merupakan seorang polisi (Pak Warno) untuk keluar dari Indonesia untuk sementara waktu.
Pak Sumi membaca sampai habis dan merasakan sesak di dadanya.
"Aku sangat menyesal, tapi saat aku ingin memberikan ini padamu-" Pak Warno tidak melanjutkan.
"Aku masih koma? Lagi pula semua sudah terjadi, sepertinya... orang ini kesimpulannya sama sepertiku saat kita akan pulang ke Indonesia. Jika saja, Aku memutuskan untuk menelepon orang rumah pada saat itu, hal ini, semua hal sialan ini tidak akan terjadi padaku." Kata Pak Sumi.
Pak Warno tidak begitu paham apa yang digumamkan Pak Sumi.
"Deni berhasil menipumu, dan menipuku. 6 hari. 6 Juni ia pulang ke Indonesia, 7 Juni adalah tanggal kasus pembunuhan pertama sampai ke kita. Korban pertama meninggal satu hari sebelum kasus itu sampai ke kita. Dia membuat kita sibuk. Jika suatu organisasi sibuk, maka pemimpinnya adalah orang yang paling merasakan dampaknya. Dia ingin membuatmu menyerahkan Lili ke orang lain." Kata Pak Sumi.
"Bentar, Sumi, apa maksudmu menyerahkan Lili ke orang lain?" Tanya Pak Warno.
"maksudku..." Kata Pak Sumi terhenti.
pak sumi berhenti karena kepalanya pusing.
"Ah kau tidak apa-apa? Sudah tidak perlu bicara lagi jika itu terlalu sakit." Kata Pak Warno.
"Tidak! tidak, aku harus mengatakan hal ini, aku tidak mau hanya aku yang tahu kebenarannya." Kata Pak Sumi.
"Kau tahu war, rumahmu itu ada sekuriti 24 jam. Dia tidak bisa membunuh Lili jika Lili masih berada di Rumahmu." Lanjut Pak Sumi.
"Jadi, kau mau mengatakan jika semua sandiwara dan pembunuhan yang ia lakukan itu untuk membunuh Lili?" Tanya Pak Warno.
"Ya. Aku sangat yakin, karena Dia bunuh diri setelah berhasil melakukannya. Selain itu Dia terlalu meninggalkan jejak di Apartemen, atau bisa ku katakan membiarkan semuanya begitu saja. Baginya, tidak ada artinya jika Ia hidup lebih lama." Kata Pak Sumi.
"Sebentar sum. Ada hal yang ingin aku katakan. Tapi kenapa?... kenapa dia melakukan semua itu hanya demi membunuh anaknya sendiri? Terlebih lagi, baiklah untuk alasan yang masih tidak aku ketahui dia akan membunuh Lili, tapi bukannya ada jalan yang sangat lebih mudah daripada melakukan semua ini?" Tanya Pak Warno.
"Ya. Seharusnya orang itu bisa langsung kembali ke Indonesia, bertemu denganmu, dan membunuh Lili jika ada kesempatan saat berada di rumahmu, lalu bunuh diri. Tapi tidak Ia lakukan. Kau tahu kenapa war? Saudaramu itu sangat mencintai istrinya lebih dari apa pun, walaupun itu anak, dirinya sendiri ataupun Tuhan. Sama seperti kata detektif ini, menurutku Deni sudah mati saat istrinya mati. Tapi dia menyembunyikan hal itu selama di Malaysia. Kata 'pagi hari dia ke masjid malam hari dia ke diskotek' menjadi alasanku mengatakan ini." Jelas Pak Sumi.
Mereka berdua diam.
Kemudian ada salah satu anggota kepolisian masuk ke dalam ruangan. Dia akan mengajak Pak Sumi ke depan untuk acara penyerahan hadiah oleh Kapolri. Pak Sumi beranjak.
Lalu Pak Warno berkata "Sum, sekali lagi... terima kasih untuk Lili, tapi... maaf untuk Marie."
Pak Sumi hanya melihat Pak Warno tanpa mengucapkan kata apa pun, kemudian Ia berlalu. Dada pak sumi sangat sesak, agaknya jantungnya kambuh lagi. Apalagi ditambah dengan pembicaraannya dengan Pak Warno, hasil penyelidikan seorang detektif yang sama persis dengan apa yang dipikirkan Pak Sumi sesaat sebelum take-off dari Malaysia ke Indonesia.
Dia dipaksa untuk mengingat-ingat tentang Marie, anak pungut kesayangannya. Lorong gelap dilewati Pak Sumi. Pemadaman listrik memang tengah dijadwalkan hari ini, di jam ini. Sampai di ujung lorong banyak lampu blitz (2) menyala-nyala. Banyak wartawan yang datang pada hari ini, tak terkecuali juga Bu Rati dan Lili juga.
Mereka berebut foto 'Pahlawan kota Surabaya' yaitu Pak Sumi. Perbedaan intensitas cahaya yang cukup besar, disertai oleh suara gaduh yang datang tiba-tiba membuat jantung Pak Sumi makin tertekan. Tidak ada yang tahu hal tersebut kecuali Sumi dan Tuhan. Sampai di atas mimbar Pak Sumi ditanya oleh Kapolri apa yang telah dilakukannya secara singkat. Pak Sumi diharuskan berdiri dan bercerita dan mengingat kejadian demi kejadian itu lagi.
Pak Sumi menceritakan semuanya. Semuanya. Bagi Pak Sumi, ini adalah 5 menit terlama dalam hidupnya. Keringat dingin kemudian muncul dari pelipis sebelah kiri, bahkan Pak Kapolri sempat bergurau dan meminta kipas angin tambahan. Entah mengapa Pak Sumi berhasil menahannya.
Akhirnya sampai pada prosesi terakhir, penyerahan plakat oleh Pak Kapolri. Dihadapan orang banyak, Pak Sumi tidak memegang plakat dan bersiap untuk berfoto, tapi Pak Sumi sudah tidak tahan lagi. Dia memegang dadanya.
Orang tua itu ambruk lalu bertumpu pada lututnya. Oksigen di dalam ruangan tertutup harus terbagi dengan orang banyak, diperparah dengan kondisi Pak Sumi yang masih sakit. Di hadapan istri, anak, sahabat, dan banyak orang, Pak Sumi meninggal. Semuanya terpukul. Bu Rati tidak bisa menerima kenyataan. Tak ada air mata dan tangisan yang jatuh dari Bu Rati, dia terlalu lemas, terlalu terpukul, dan tidak percaya akan kepergian suami tercintanya yang begitu cepat.
...
...
Kini hanya Bu Rati dan Lili. Bu Rati untuk sementara memutuskan untuk tinggal bersama Pak Raymond dan istrinya, beberapa hari kemudian Dia (Bu Rati) memberikan Lili kembali ke Pak Warno, Dia memutuskan untuk tinggal sendiri di sebuah apartemen yang sangat dekat dengan rumah sakit tempat dia bekerja. Sesekali Ia akan menjenguk Lili di Rumah Pak Warno, untuk mengajaknya ke Makam Marie, dan Pak Sumi.
Bagaimana dengan Rumah Pak Sumi? sudah rata dengan tanah. Bu Rati memutuskan untuk menjual rumah dan kenangan itu kepada orang lain. Sepertinya diatas tanah rumah itu akan dibuat toko.
-fin-
(1) Cuci otak (indo)
(2)Blitz: lampu pengisi cahaya pada kamera digital dan kamera 'built-in' di telepon pintar.