webnovel

My Lovely Sister

Namaku Rui. Aku adalah anak adopsi di keluargaku yang sekarang, karena keluargaku yang dulu tidak mampu membiayai kebutuhan hidupku, maka dengan berat hati ibuku mengusulkan agar aku diadopsi oleh keluarga yang lebih mampu. Hari-hari yang kujalani bersama Kak Guin terasa menyenangkan hingga suatu hari sebuah masalah menimpa kami. Awalnya hanya masalah kecil namun menjadi masalah yang tak pernah terbayangkan akan terjadi ternyata terjadi juga. Segala rintangan dan halangan kami lalui bersama dan dari sinilah kisah petualangan ku bersama Kak Guin demi mencari sebuah jalan pulang.

Rachell_Aditya · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
29 Chs

Menikah

Enam bulan telah berlalu sejak pemakaman Mama dan Papa, kami kembali menjalani kehidupan sehari-hari seperti biasa. Butuh waktu selama berbulan-bulan lamanya untuk Kakak dan aku mengikhlaskan kepergian Mama Papa.

Begitu juga dengan kandungan Kakak yang semakin membesar. Aku menyarankan untuk aborsi, namun Kakak menolaknya dengan alasan tidak tega karena itu sama saja dengan membunuh.

Alasan Kakak memang masuk akal. Namun disisi lain aku juga merasa kasihan karena tidak ada yang bertanggung jawab atas kehamilan Kakak. Maka dari itu aku sudah memutuskan dengan matang jika aku yang akan menjadi ayah dari bayi yang dikandung Kakak tersebut. Aku tahu ini memang salah, tapi aku juga tidak mau Kakak menjadi cibiran bagi tetangga bahwa ternyata dia bukanlah gadis yang baik.

"Kak, menikahlah denganku! Aku yang akan bertanggung jawab atas kehamilan Kakak," ujarku pada malam hari saat sedang menemani Kakak yang berbaring di kamarnya.

"Kamu yakin ingin menikahi Kakak?" Kakak menatapku dalam-dalam.

"Iya, Kak. Aku sangat yakin!" Anggukku mantap.

"Tapi masa depanmu masih panjang, Rui. Kakak hanya khawatir jika kamu akan menyesal nantinya setelah menikah dengan Kakak. Bukankah lebih baik jika kamu mencari gadis lain yang jauh lebih baik dari Kakak? Lagipula status keluarga kita akan berubah jika kita menikah nanti," terang Kakak.

"Aku serius, Kak. Aku sudah membulatkan tekadku untuk menikahi Kakak! Aku tidak ingin mencari gadis lain. Yang kumau hanyalah Kakak, karena aku tidak tega jika Kakak melahirkan bayi itu tanpa sesosok ayah. Mau menjawab apa Kakak nanti saat bayi tersebut sudah dewasa dan menanyakan dimana ayahnya?"

"Kakak tahu, Rui. Maksudmu baik, tapi kamu juga harus memikirkan resiko ke depannya. Ingat kata pepatah yang mengatakan jika penyesalan selalu datang diakhir. Itu artinya jika kenyataan menikah dengan Kakak tidak sesuai dengan ekspektasimu, kau hanya akan mendapat penyesalan yang tidak bisa diulang kembali." jelas Kakak serius.

"Aku tau, Kak. Maka dari itu aku sudah membulatkan tekad karena aku sangat yakin dengan keputusanku ini. Akan ku terima apapun resikonya. Bahkan jika harus putus sekolah karena melanggar aturan jika murid tidak boleh menikah, akan tetap kulakukan semuanya demi Kakak, Kak!"

Susana berubah menjadi hening. Kami hanya bertatapan dalam diam sepatah kata pun.

"Tapi, Rui. Masa depanmu akan hancur jika sampai kamu putus sekolah, Sayang." Kakak mengusap pipiku yang mulai lembab karena air mata.

"Aku tidak lagi peduli dengan hal itu, Kak. Yang kuprioritaskan saat ini adalah Kakak dan hanya Kakak satu-satunya. Bagiku tidak ada lagi hal terpenting dalam hidup ini selain Kakak." Kupeluk Kak Guin erat-erat seolah takut jika aku kehilangan dirinya.

"Hm, tidak bisakah kamu menunggu hingga hari kelulusan tiba?" tanya Kakak sembari membelai rambutku dengan lembut.

"Tidak bisa, Kak. Hari kelulusanku masih ada satu tahun lebih. Sementara kandungan Kakak hanya tersisa empat bulan lagi."

"Baiklah, Sayang. Jika itu memang maumu, mau bagaimana lagi. Kakak tidak bisa menolak niat baikmu itu."

"Jadi, Kakak menerima lamaranku?" Aku melepas pelukan. Menatap Kakak dengan tatapan berbinar-binar.

"Iya, Sayang. Jadilah ayah yang baik bagi bayi di dalam kandungan Kakak." Kak Guin tersenyum tulus. Menatapku dengan penuh antusias.

"Pasti, Kak. Aku pasti akan menjadi sosok ayah yang baik bagi anak kita!" Kugenggam tangan Kakak dengan erat. Menatapnya bahagia.

"Iya, Rui. Terima kasih banyak untuk semua kasih sayangmu pada Kakak."

"Tidak, Kak. Harusnya aku yang berkata seperti itu." Aku kembali memeluk Kakak bahagia. Terharu atas keputusannya yang menerimaku menjadi calon suami Kakak.

Aku pasti akan menepati janjiku, menjadi seorang suami yang baik sekaligus sosok ayah teladan yang akan menjadi panutan bagi anak kami kelak.

***

Hari ini tepatnya satu bulan yang lalu sejak malam itu, aku dan Kak Guin resmi menggelar acara pernikahan kami secara sederhana di sebuah kantor urusan pernikahan.

Tidak ada satu pun yang kami undang kecuali Kak Mira sebagai saksi. Ia sempat terkejut saat mendengar kabar jika aku dan Kak Guin akan menikah, namun akhirnya mendukung pernikahan kami saat aku menjelaskan semuanya pada Kak Mira.

"Dengan ini saya nikahkan Saudara Ruka Istyadi dengan Saudari Aguinna Clarista dengan mas kawin satu buah dress kuning dibayar tunai, sah?"

"Sah!" Kak Mira yang pertama berteriak antusias. Membuat seisi ruangan kaget dibuatnya.

"Baik jika begitu, selamat karena kalian sudah sah menjadi sepasang suami istri sekarang," ucap pak penghulu pada kami.

"Hah, benarkah, Pak?" Kutatap pak penghulu dan Kak Guin secara bergantian dengan senang.

Pak penghulu itu tersenyum lebar sambil mengangguk kecil padaku.

"Syukurlah, Kak. Kita sudah resmi menikah sekarang!" Aku meneteskan air mata bahagia sembari memeluk Kak Guin.

"Iya, Sayang." Kak Guin yang juga terharu pun tak bisa menahan lagi air mata kebahagiaannya dan akhirnya turut menangis dalam pelukanku.

"Selamat, Rui, Guin. Kalian sudah resmi menjadi sepasang suami istri sekarang." Kak Mira mengucapkan selamat pada kami. Ia juga turut menangis terharu karena bahagia.

"Terima kasih, Mira. Berkatmu pernikahan kami dapat berjalan dengan lancar." Kakak melepas pelukanku dan berganti memeluk Kak Mira.

"Tidak masalah, Guin. Kamu adalah sahabatku, jadi sudah sewajarnya jika aku membantu sahabatku saat ia membutuhkan bantuan." Kak Mira mengusap punggung Kak Guin yang masih menangis bahagia.

Kami memutuskan untuk pulang setelah semua urusan selesai karena hari yang sudah semakin sore.

"Yakin Kak Mira tidak mau menginap lagi?" tanyaku sesampainya di depan pintu pagar rumah kami.

"Tidak, Kakak sedang ada urusan. Jadi, lain kali saja deh aku menginapnya." jawab Kak Mira tersenyum.

"Ya sudah, kalau begitu hati-hati di jalan ya, Mira." sahut Kak Guin.

"Iyap! Kalian juga, selamat menikmati malam pertamanya. Hihi." Goda Kak Mira yang segera pamit untuk pulang ke rumahnya.

"Dasar, Mira." Kakak melambaikan tangan pada Kak Mira begitu juga denganku hingga akhirnya ia menghilang dibalik persimpangan jalan.

"Ya sudah yuk, Kak. Kita masuk!" ajakku pada Kakak.

"Yuk!" Kakak menarik tanganku membawaku masuk ke dalam rumah.

Malam ini terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya. Karena ini adalah malam pertama di hari pernikahanku dengan Kakak.

"Em, Kakak sudah mengantuk?" tanyaku saat kami sedang menonton TV bersama di ruang tengah.

"Belum, kamu?"

"Eh, aku juga belum."

Entah mengapa ini pertama kalinya aku merasa canggung mengobrol dengan Kakak.

"Rui?" panggil Kak Guin.

"Iya, Kak?"

"Meskipun kita sudah menikah, haruskah kita melakukan hubungan itu?" tanya Kakak yang memalingkan wajahnya dariku.

"Eh, kalau itu, terserah Kakak saja." Aku turut memalingkan wajahku karena malu mengatakannya.

"Kalau begitu ayo lakukan!"

"Eh?! T-tapi Kakak sedang hamil." ujarku yang khawatir jika melakukan itu, akan membuat kandungan Kakak terkena dampaknya.

"Em, asal kita melakukannya berhati-hati mungkin tidak masalah. Ayo!"

"Eh, tunggu, Kak!"

Kakak segera menarik tanganku masuk ke kamarnya.

Malam itu juga, ditengah guyuran hujan yang deras kami melakukan sebuah aktivitas baru yang tidak pernah kualami dalam hidupku selama ini.

Ku harap keputusanku menikahi Kakak adalah yang terbaik untuk kami. Meskipun aku terancam dikeluarkan dari sekolah jika pihak sekolah mengetahui pernikahanku, aku tidak peduli. Yang paling penting bagiku adalah Kakak yang tidak perlu khawatir lagi jika ia ditanya siapa yang menghamilinya. Meskipun bayi yang dikandung saat ini bukan hasil dari benihku, namun aku akan tetap mengakuinya sebagai anak karena aku yang sudah berjanji akan bertanggung jawab atas kehamilan Kak Guin yang sangat kusayangi.