28 Menanti Sang Buah Hati

Hujan masih belum reda hingga pagi harinya. Membuatku malas untuk beraktivitas, begitu juga dengan Kakak. Namun ia masih bisa santai karena mengambil cuti kuliah sampai proses melahirkan selesai dan melanjutkan kuliahnya tahun depan.

Berbeda denganku, karena ada kewajiban yang harus aku jalani membuatku mau tidak mau harus segera bangun untuk menjalani hari.

"Kak, bangun yuk sarapan!" Menarik selimut Kakak yang masih tertidur di sebelahku.

"Hoamm, nanti saja Kakak masih mengantuk." Kakak menarik selimutnya kembali menutupi wajahnya.

"Hmm, yasudah aku bangun dulu." gumamku lirih.

Aku segera beranjak dari kasur menuju kamar mandi. Kulihat di jam dinding yang masih menunjukkan pukul lima pagi yang artinya masih terlalu awal untukku bangun dari tidur. Namun karena keadaan Kakak yang susah bergerak karena perutnya yang hamil tua, membuatku harus mengambil alih semua tugas Kakak mulai saat ini, termasuk juga dalam membuat sarapan setiap pagi.

Selesai mencuci muka, segera ku pergi ke dapur untuk membuat sarapan pagi ini.

"Emm, enaknya masak apa ya hari ini?" tanyaku pada diri sendiri sembari mengenakan celemek di dada.

"Butuh bantuan?" Tiba-tiba ada yang menyentuh bahuku dari belakang.

Aku menoleh. "Eh, Kakak?!"

Kakak hanya tersenyum saat melihat reaksiku.

"Kakak ngapain kesini?" tanyaku.

"Ingin membantumu," jawab Kakak tersenyum.

"Tidak perlu, Kak. Nanti perut Kakak sakit bagaimana coba? Kakak tunggu saja dikamar. Jika sarapan sudah siap pasti akan kupanggil nanti, Kak!" terangku yang cemas dengan keadaan Kakak.

"Hihi, Kakak baik-baik saja kok. Kamu tidak perlu cemas. Lagipula Kakak tidak tega saja membiarkanmu memasak sendiri. Jadi, biarkan Kakak membantumu, boleh?" bisik Kakak dengan lembut di telingaku.

"Eh, emm.. Baiklah jika itu kemauan Kakak. Tapi Kakak hanya boleh membantu yang ringan-ringan saja, sementara yang berat biar aku saja yang kerjakan!"

"Oke, setuju!"

Kami pun mulai memasak untuk sarapan nanti. Kakak bagian yang ringan seperti mengupas dan meracik bumbu-bumbu. Sementara aku yang mengaduk bahan makanan yang sudah siap di sebuah wajan besar diatas kompor.

Pukul enam masakan yang kami buat sudah siap disajikan. Kakak menyiapkan sarapan di meja makan sementara aku pergi mandi karena harus berangkat sekolah pukul tujuh nanti.

Selesai mandi dan mengenakan seragam, aku segera menemui Kakak yang sudah menungguku di meja makan.

"Maaf, membuat Kakak menunggu lama," ujarku sembari menarik kursi.

"Tidak apa-apa. Yuk, makan!"

"Yuk, Kak!"

Kakak mengambilkanku sepiring nasi lengkap dengan lauknya.

"Nih buat kamu, Sayang!" Menyodorkan sepiring nasi padaku.

"Terimakasih, Kak!" Aku menerima piring tersebut.

Kami berdua memulai sarapan dengan sangat nikmat hingga tak sempat membahas hal apapun hingga sarapan selesai.

"Kalau begitu aku berangkat dulu, Kak!" pamitku sembari menyalami tangannya. Bagaimanapun juga dia tetap Kakakku yang harus kuhormati meskipun kami telah menikah.

"Iya, hati-hati di jalan, Rui."

"Iya, Kak. Kakak juga jaga diri baik-baik dirumah."

Kak Guin mengangguk pelan. "Pasti."

Setelah berpamitan aku segera berangkat memakai payung menuju persimpangan jalan dan menaiki angkot yang lewat disana.

***

Hari-hari yang menyenangkan telah banyak kulalui bersama Kakak. Hingga tak terasa tiga bulan telah berlalu dan tepat di pagi hari yang cerah ini, genap sembilan bulan sudah usia kandungan Kakak.

"Tidak apa-apa, Rui. Kamu berangkat sekolah saja. Jangan cemaskan Kakak, Sayang." bisik Kakak lembut saat kami baru saja terbangun dari tidur.

"Tidak, Kak. Hari ini aku mau bolos saja. Aku tidak ingin Kakak tiba-tiba sakit perut saat aku tidak ada dirumah. Pokoknya aku ingin menemani Kakak sampai proses kelahiran nanti."

"Ish, kamu ini. Ini kan masih hari pertama, tidak mungkin jika Kakak melahirkan hari ini. Paling tidak di pertengahan bulan nanti Kakak mulai akan merasakan tanda-tanda sang bayi akan segera lahir."

"Hmm, tapi tetap saja aku tidak akan sekolah sampai Kakak melahirkan." gerutuku.

"Rui, jangan begitu. Nanti jika kamu absen lebih dari seminggu, nilai raportmu akan merah dan bisa saja kamu terancam tidak naik kelas!"

"Tapi jika aku pergi nanti, siapa yang akan menolong Kakak saat Kakak butuh bantuan?!" ucapku cemas.

"Kakak akan menghubungimu saat Kakak membutuhkan bantuan." Membelai lembut rambutku dengan senyuman manisnya.

"Hmm. Baiklah, Kak. Aku akan berangkat sekolah. Tapi janji, jika Kakak kenapa-napa segeralah menghubungiku!"

"Siap, Sayang." jawab Kakak tersenyum.

***

Dengan berat hati aku terpaksa berangkat sekolah meninggalkan Kakak. Selama berada di sekolah aku tidak terlalu fokus dengan pelajaran. Berulang kali aku memeriksa ponsel berharap Kakak menghubungiku, namun tidak ada satupun notifikasi dari Kakak.

"Kuharap Kakak baik-baik saja dirumah." gumamku ditengah pelajaran yang membosankan.

Seperti biasa bel pulang sekolah berbunyi tepat pukul empat sore. Aku bergegas mengemasi buku-bukuku dan segera berlari menuju rumah.

"Hah... Hah... Hah..."

Nafasku tersengal-sengal karena berlari. Namun itu tak menyurutkan semangatku untuk menemui Kakak dirumah.

Setelah berlari selama 15 menit sampailah aku dirumah. Pintu kubuka dan segera mencari Kakak di dalam.

"Kak! Kakak?!"

Tidak ada jawaban. Aku tak menyerah. Kucari Kakak hingga ke kamarnya dan menemukan dia yang sedang tertidur lelap.

"Huh, syukurlah Kakak baik-baik saja." gumamku lega.

Aku memutuskan untuk mandi setelah memastikan jika Kakak baik-baik saja.

"Bagusnya kunamai siapa ya jika anak kami telah lahir nanti?" gumamku saat sedang mandi.

"Ah, nanti deh pikirkan bersama Kakak saja." Aku cepat-cepat menyelesaikan mandiku karena sudah terlalu lama berada di dalam kamar mandi.

***

Malam harinya sebelum tidur, kami membahas hal menarik yang tadi sempat kupikirkan saat sedang mandi; yaitu membahas nama untuk anak kami saat lahir kelak.

"Bagaimana jika Leo untuk laki-laki, dan Lia untuk perempuan?" usulku pada Kakak.

"Hmm, tidak. Menurut Kakak kurang cocok." bantah Kakak.

"Emm, Dita untuk laki-laki dan Dito untuk perempuan?" usulku sekali lagi.

"Tidak juga." Kakak menggeleng cepat.

"Lalu nama apa yang cocok menurut Kakak?" Aku mulai kesal karena semua usulku ditolak.

"Emm, jika yang lahir perempuan, Kakak ingin menamainya Alita yang berarti sayap. Lalu untuk nama belakangnya Kakak ingin menggabungkan nama belakang Kakak dengan namamu menjadi Ristyana." papar Kakak tersenyum.

"Alita Ristyana?"

"Yap. Bagaimana menurutmu?" tanya Kakak.

"Bagus sih, Kak. Tapi kenapa Kakak ingin menamainya Alita yang mempunyai arti sayap?"

"Karena Kakak ingin anak kita nantinya dapat terbang setinggi mungkin untuk menggapai mimpi dengan sayapnya." jelas Kakak.

"Hmm, cukup indah juga alasannya. Lalu bagaimana jika yang lahir adalah laki-laki?"

"Kalau itu Kakak serahkan saja padamu."

"Eh, padaku?"

"Yap, karena Kakak hanya mempunyai saran untuk nama perempuan." celetuk Kakak.

"Ish, Kakak."

"Hihi. Ya sudah yuk tidur saja! Kakak sudah mengantuk." ajak Kakak.

"Hmm, baiklah, Kak. Selamat tidur!" Aku mengecup kening Kakak dan mematikan lampu setelah itu.

"Selamat tidur juga, Rui."

Malam ini adalah malam yang terang dengan jutaan bintang-bintang yang berkelap-kelip sangat indah diatas sana, disertai dengan cahaya rembulan yang begitu menghangatkan. Sehangat hatiku yang tak sabar menanti malaikat kecil kami hadir di rumah ini.

avataravatar
Next chapter