Jam lima petang. Vina masih di rumah menemaniku karena Aditya belum juga pulang. Mengobrol ke sana ke mari seperti pada perempuan umumnya. Hingga tidak terasa langit sudah berubah jadi gelap.
"Adit lama banget pulangnya!" celetuk Vina.
"Iya ya. Bahkan dia tidak memegang HP selama di kantor," ujarku sambil melihat kontak Aditya.
"Coba kirim pesan, kalau enggak telepon. Aku ingin main tahu," katanya.
"Tumben. Mau ke mana? Punya pacar saja enggak, sok mau main, kan ini juga lagi main."
"Ya enggak begitu juga. Mau pergi belanja maksudnya. Belanja bulanan. Clarisa cepat gede apa biar aku bisa bawa kamu dan tinggalkan mommy kamu sendiri di sini menunggu dadymu pulang."
"Seenaknya kalau ngomong. Sana bikin sendiri, nikah makanya!" sahutku.
"Mentang-mentang sudah menikah kau bicara seperti itu pada kawanmu sendiri. Padahal tahu sendiri orang yang aku suka sulit didapat jadi aku harus bersabar untuk mendapatkannya tidak sepertimu."
Aku tertawa melihatnya cemberut seperti itu. Senang menggodanya seperti itu tapi ada rasa kasihan juga dengan kisah cintanya yang tidak semulus cerita di novel dan komik. Aku menghubungi Aditya.
"Ya, sayang ada apa? Apa terjadi sesuatu di sana?" tanya Aditya.
"Ke mana saja? Sudah malam dan kamu belum juga pulang ...," kataku dengan nada manja bak anak kecil.
"Iya, sayang. Ini mau pulang."
"Oke. Aku tunggu ya."
Aditya menutup teleponnya. Vina melihatku bergidik ngeri. Aku mengangkat alis.
"Kenapa kamu?" tanyaku heran.
"Ngeri sumpah, lihat kamu seperti itu. Sejak kapan kamu seperti itu?"
"Sejak nikah sama dia. Lagi pula dia suamiku, wajar saja aku begitu. Dia juga enggak merasa keberatan aku begitu ke dia."
Tidak lama kemudian. Aditya datang. Aku senang melihatnya datang tapi tidak dengan Vina. Dia menggerutu karena Aditya pulangnya lama. Mengambil tasnya lalu pergi meninggalkan kami. Langkahnya terhenti di ambang pintu. Merasa penasaran aku ikut melihat ke arah luar. Ternyata Fikram. Aku mendorong Vina sampai dia berdiri di hadapannya.
"Baik-baik kalian," ujarku sambil melambaikan tangan.
"Apa sih Kay!" sahutnya dengan wajah pucatnya karena gugup.
"Fikram dia bilang mau pergi belanja, antar dia! Tadi dia bilang tidak ada ojek jam segini." Kataku.
"Boleh. Lagi pula aku hanya mengantar Aditya pulang," jawab Fikram.
Mereka pun pergi. Aditya merangkulku lalu mengecup kepalaku. Kami berjalan beriringan sampai kamar. Clarisa menangis, aku menggendongnya lalu memberinya asi.
"Dadynya juga mau dong," ujar Aditya.
"Jangan aneh-aneh," kataku.
Aditya duduk di sampingku. Mengusap Clarisa. Lalu dia bercerita tentang masalahnya di kantor. Ternyata orang yang ingin bekerja sama dengan perusahaannya itu adalah Yudha. Pantas saja dia begitu sibuk di kantor. Setelah Clarisa tertidur lelap, aku menidurkannya di kasur lalu menyiapkan baju untuk Aditya karena dia sedang membersihkan diri. Setelah selesai, kami pun berbaring di kasur.
"Sayang," panggil Aditya.
"Ya, apa sayang?" tanya lalu menghadap ke arahnya.
Aditya langsung mencium bibirku tanpa izin. Setelah melepaskan ciumannya, dia memelukku. Aku mengusap kepalanya.
"Tidurlah. Besok hari sibukmu kan?"
"Hem."
"Eh iya, yang. Apa aku sudah boleh kerja lagi? Buat komik lagi seperti dulu? Sudah lama aku berhenti."
"Ya. Kalau itu tidak merepotkanmu atau mau cari orang untuk jaga anak kita juga boleh. Atur-atur," katanya sambil memejamkan matanya.
"Wah terima kasih sayang."
Andai kamu tahu. Aku ingin kehidupanku normal seperti ini. Plat tidak ada masalah, apa lagi masalah yang tidak masuk akal. Aku ingin rumah tangga seperti ini, yang selalu berpihak pada kita meskipun terkadang kamu cekcok dengan ayahmu sendiri. Aku pun ikut terlelap.
Keesokan harinya. Aku menghubungi Vina karena dia belum datang. Aku menyuruhnya untuk datang segera. Aditya sudah pergi ke kantor tadi. Aku memberitahu Dika bahwa Vina tidak bekerja lagi di warung nasi.
"Kau dengar itu? Pilih kasih sekali kan?" bisik seorang perempuan tapi temannya menyuruhnya untuk diam.
"Dika, siapa yang bawa dia kerja di sini?" tanyaku sambil menunjuk ke arahnya.
"Teman saya kak," jawab Dika.
"Apa keahlianmu selain nyinyir orang lain?"
Dia dan temannya tertunduk.
"Jangan bicara kalau kamu tidak bisa membantu pekerjaanku!" ketusku padanya.
Aku mendorong stroller Clarisa. Vina datang lebih cepat ternyata. Aku memintanya untuk merapikan kantorku. Dia mengangguk antusias saat aku memberitahunya kalau akan menggambar lagi.
"Aku senang akhirnya bisa kembali menggambar," ujar Vina.
"Tahu begini aku bicara padanya dari dulu ya?" kataku.
"Iya, meskipun bayarannya enggak langsung karena memang sudah jadi hobi jadi enggak merasa terbebani."
Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala. Kami mulai menggambar. Kali ini aku menggambar agak lama karena sekarang ada Clarisa. Dan akhirnya aku melakukan multitasking seperti ibu-ibu. Sepertinya aku memang harus cari pengasuh untuknya supaya aku bisa cepat menyelesaikannya.
"Hari ini terasa sangai banget karena sekarang ada Clarisa," ujar Vina.
"Iya. Aku menggambar pun jadi enggak fokus," kataku.
Pintu diketuk. Vina membuka pintu karena aku sedang menyusui Clarisa. Ternyata Dika datang dan memberitahu bahwa ada seseorang yang datang untuk bertemu denganku. Aku terkejut setelah mendengar nama Yudha yang datang. Dika pergi setelah memberitahu itu. Vina membantuku memakaikan kain.
"Yudha yang dari kenalan online itu kan?"
"Iya. Kami bertemu lagi dan aku menginap di sana."
"Apa? Astaga! Gila! Parah banget sih."
"Temani aku untuk menemuinya. Aku tidak mau sendirian karena tidak ada Aditya di sini."
Vina mengangguk lalu mengikutiku. Sampai di depan, dia tengah duduk memainkan ponselnya. Dia memasang wajah semringah begitu melihatku. Aku duduk di hadapannya.
"Kita bertemu lagi. Sekarang aku yang datang ke rumahmu," kata Yudha.
"Aditya masih di kantor ..."
"Aku ingin makan di sini dan ditemani olehmu. Bolehkah?" katanya memotong ucapanku.
"Tidak! Aku masih ada pekerjaan di dalam. Aku tidak bisa menemanimu," kataku ketus.
"Kau berbeda sekali ya? Lebih garang sekarang. Oh, atau mungkin karena sudah ada pawangnya? Haha," ujarnya.
Dia membuka ponsel kembali menelepon seseorang yang bernama Aditya VK Group. Aku terdiam mendengarnya yang ternyata dia meminta ijin pada Aditya. Aku tidak percaya begitu saja meskipun aku memang mendengar suaranya. Setelah menutup teleponnya aku menghubungi Yudha dan ternyata benar. Aditya agak kesal karena aku meneleponnya. Tumben sekali dia sampai berkata tegas padaku tidak seperti biasanya. Apa mungkin dia sedang rapat? Akhirnya aku pun menemaninya makan.
Kami berbasa-basi dengan perkenalan yang memang Yudha dan Vina baru bertemu. Kami mengobrol asyik. Hingga tidak terasa sudah siang. Aku mengirimkan pesan kepada Aditya untuk menanyakan makan siangnya, karena aku ingin pergi ke sana sudah lama juga aku tidak berkunjung ke sana.