webnovel

Kembali ke Rumah

Aku masih memainkan ponselku sembari menunggu Aditya membersihkan diri. Menghela napas lalu bersandar pada bahu kursi. Menatap jendela yang begitu terlihat jelas pemandangannya. Tidak terduga ternyata kota terlihat indah dilihat dari arah sini. Setelah Aditya selesai, dia mengajakku untuk pulang. Khawatir Clarisa akan mencari orang tuanya.

Langkahku terhenti saat berjalan di lobi. Yudha bersama asistennya ada di hotel yang sama. Dia pun menyadari keberadaan kami.

"Kalian?" ujar Yudha.

Aku masih terdiam. Untuk apa mereka berdua di hotel ini.

"Ya," jawab Aditya singkat.

"Aku bekerja di sini," ujar Yudha. "Clarisa? Oh, kalian berbulan madu ke dua ya?"

Entah kenapa mendengarnya aku masih merasa malu padahal ini adalah hal yang wajar bagi suami istri.

"Seharusnya kalian bilang padaku jika akan kemari. Aku akan memberi kalian kamar VIP dan itu gratis, anggap saja sebagai hadiah pernikahan kalian," kata Yudha.

"Aku masih mampu membayarnya. Terima kasih," ujar Aditya.

Aditya menarik tanganku. Sampai di tempat parkir, Aditya melepaskan tanganku.

"Ada apa denganmu? Lihat tanganku merah karenamu," ujarku dengan memperlihatkan pergelangan tanganku.

"Aku masih merasa kesal melihatnya, karena kamu pernah tinggal bersamanya selama beberapa hari," jawab Aditya.

"Kamu masih cemburu ternyata? Itu sudah berlalu sayang," kataku sambil melingkarkan lenganku di lehernya.

"Ya. Aku cemburu."

"Aku beru menemukan laki-laki posesif dan berterus terang kalau dirinya sedang merasa cemburu," kataku lalu mengecup lembut bibirnya.

Sepertinya Aditya tergoda dengan ciumanku seperti ini. Dia pun mencium bibirku sampai napas kami terengah-engah. Aditya mengecup leherku.

"Sayang, aku takut ada yang melihat kita jika kita melakukannya di sini," kataku.

"Baiklah, mari kita pulang. Anak kita sudah menunggu."

Sampai di kediaman Kusuma. Aditya membukakan pintu mobil untukku. Aku diperlakukan bak seorang ratu. Aku menggandeng tangannya lalu berjalan masuk. Tampak ibu sedang menggendong Clarisa yang tertidur.

"Loh, Adit kamu tidak kasihan pada istrimu? Anaknya masih kecil dan kamu sudah mau punya lagi?"

Aku terbelalak saat ibu berbicara seperti itu. Bukankah tadi sebelum pergi hanya bilang akan pergi menghabiskan waktu berdua, tidak mengatakan kami pergi ke mana kenapa bisa tahu? Monologku dalam hati.

"Tidak bu, kami tidak ..."

"Sudahlah ibu tahu kok. Ayo masuk," sahut ibu yang memotong ucapanku.

Ternyata Clarisa baru bisa tidur dalam pangkuan omanya dan terus menangis saat menidurkannya di kasur yang membuat ibu masih menggendong cucunya itu. Aditya duduk di sampingku. Rena melihat ke arahku yang duduk di sebelahnya. Dia mengembalikan pandangannya ke laptop lalu kembali melihatku, lebih tepatnya leherku.

"Kalian bikin adik untuk Clarisa? Harus kembar kalau bisa," ujar Rena.

"Bagaimana sih kamu ngomong Ren? Harus kalau bisa, tahu juga enggak," ketus Aditya.

"Kenapa pada bilang kalau Clarisa akan punya adik lagi?" tanyaku heran

"Itu ...," Rena menunjuk ke arah leherku.

Aku mengambil ponsel lalu membuka kamera dan melihat jelas tanda merah di leher. Aku menatap tajam Aditya. Dia hanya tersenyum dengan mengangkat satu alisnya. Ingin sekali aku memukulnya. Aku pun meninggalkan mereka. Ternyata Aditya mengikutiku.

"Kenapa pakai meninggalkan jejak segala sih?" ketusku begitu Aditya memelukku dari belakang.

"Kita sudah menikah sayang. Bukan masalah."

"Tetap saja aku malu."

Pintu di ketuk. Ternyata ibu yang datang. Aku mengambil Clarisa dalam pangkuannya yang sudah terbangun.

"Ibu harus keluar sebentar karena kamu sudah ada di sini jadi tidak masalahkan kalau ibu keluar dulu?"

"Iya bu, enggak apa-apa. Bahkan aku sangat berterima kasih karena sudah merawatnya seharian ini," ujarku.

Ibu melenggangkan kakinya menjauh dari kamarku kemudian aku masuk dan menutup pintu. Aku duduk di tepi ranjang samping Aditya. Dia fokus pada ponselnya. Karena hari sudah mulai gelap, aku menidurkan Clarisa yang sempat terbangun tadi.

Keesokan harinya. Aku bangun dari tidurku. Semua barang Clarisa sudah di kemas rapih. Mengedarkan pandangan mencari sosok pria yang biasanya ada di sampingku saat aku terbangun. Terdengar suara air di dalam kamar mandi. Tidak lama pintu kamar mandi terbuka. Aditya keluar dengan rambut yang masih basah.

"Keringkan dulu sayang nanti kamu bisa masuk angin," ujarku.

"Segeralah bersiap, kita pulang," katanya sambil mengambil kemeja di lemarinya.

Aku melangkahkan kakiku lalu mengambil hidryer untuk mengeringkan rambutnya.

"Kenapa terburu-buru?" tanyaku.

"Ada rapat penting hari ini. Aku tidak ingin meninggalkan kalian di sini tanpa aku, maka dari itu aku membereskan semuanya supaya tidak memakan waktu banyak," jelas Aditya.

Aku hanya mengangguk. Kemudian sekarang giliranku yang membersihkan diri. Setelah selesai, kami pun pamit pergi.

"Dengan klien baru?" tanyaku.

"Ya, aku menemukan orang yang ingin berinventasi pada perusahaan. Maka dari itu kita harus pulang. Kita pulang ke warung saja, ya? Supaya ada yang menemanimu," ujarnya.

"Baiklah, lagi pula di sana ada Vina. Aku tidak akan kesepian di sana."

Sampai di warung yang tidak lain adalah rumahku. Di sana sudah ada yang databg ternyata, termasuk Vina.

"Wah ada bocah gemes yang lucu datang," kata Vina sambil menghampiri kami.

"Iya dong, soalnya mau ganggu anty Vina kerja," kataku dengan suara bak anak kecil.

"Apa sih, jangan gitulah. Ada orang yang iri karena itu tahu," ujar Vina.

"Dia tidak tahu saja siapa kita."

"Siapa kita ..."

"Dukapi. Huh."

Tawa pun terlepas. Dukapi itu nama penaku yang vina buat, terlihat aneh tapi karena nama itu aku jadi populer di dunia komik.

"Kapanlah kita mulai gambar-gambar lagi?" tanya Vina sambil mengambil tas yang aku pegang.

"Beberapa bulan lagi, mungkin. Aku juga tida tahu, akan aku bicarakan nanti pada Adit," ujarku sambil berjalan masuk.

"Baiklah. Aku bingung kalau bikin gambar sendiri, haha."

Vina mengantarkanku samapi kamar. Dia kembali melanjutkan pekerjaannya. Teringat Aditya, sepertinya orang yang akan kerja sama dengan Aditya bukan orang sembarangan samapi dia sperti itu. Bukannya memang perusahaan lagi membutuhkan dana karena kerugian kemarin ya? Kataku bermonolog. Kak Tyas meneleponku.

"Ada apa kak?" tanyaku.

"Besok lusa peringatan meninggal ayah dan ibu, apa kamu lupa?" tanya kak Tyas.

"Astaga, aku lupa kak. Aku tidak bekerja sekarang jadi aku jarang mengecek kalender."

"Baiklah kalau begitu kakak datang saja ke sana ya untuk membicarakannya."

"Datang saja ke rumahku, aku sedang di sini hari ini."

"Oke. Nanti siang kakak ke sana."

Telepon pun terputus. Teringat kata Vina. Benar juga ternyata aku sudah lama tidak menggambar. Melihat viewers komikku yang terus bertambah. Semoga saja Aditya mengizinkanku lagi untuk menggambar. Aku memanggil Vina lagi, menitipkan anakku padanya karena aku tidak percaya pada yang lain yang aku belum tahu siapa mereka. Aku pergi ke toilet karena merasa sakit perutku.