webnovel

My Husband Is a CEO

Putaran alunan waktu membuat dua insan bertemu, lewat sebuah kejadian tidak terduga Elvan dan Nesya menjalin hubungan hikmad tanpa dasar cinta. Terpaksa menikah karena dijebak oleh teman-temannya, bukannya suka, Nesya justru semakin membenci Elvan–Suaminya. Kesal pun senantiasa menyelimuti hati, lalu apakah nanti Sang Penguasa membolak balikkan hati? "Aku tidak ingin ikut Pria Miskin itu, Ma!" Pria Miskin—sebutan Nesya pada SUAMI DADAKAN-nya. Lalu apakah benar Elvan lelaki miskin seperti dugaannya? Fine. Elvan tidak masalah dikatakan "Miskin" sama sekali tidak terhina, dia pun hanya melepaskan satu kata dari sela bibirnya, "Jangan menilai seseorang dari penampilannya." Kata-kata itu seperti memberikan peringatan keras untuk sang Istri yang mempunyai taraf kesombongan, keangkuhan, dan keras kepala luar biasa, buktinya Nesya masih saja mengatai Elvan dengan hinanya, walau pun sedikit demi sedikit lelaki itu mulai membuka siapa dia sesungguhnya. Namun, seiring perjalanan pernikahan, banyak misteri yang menjadi pertanyaan dalam benak Nesya tentang sang suami. Penasaran tentang itu, Nesya pun diam-diam sering kepo dengan kehidupan pribadi sang suami. Bagaimana akhir perjalanan pernikahan mereka. Ikuti kisahnya di My Husband Is a Ceo

Maidina_Asifa94 · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
35 Chs

Selangkah Menuju Pernikahan

Setelah melewati perdebatan panjang antara Nesya, Pak Wawan, Ibu Nirmala, dan Elvan. Akhirnya mereka sepakat memutuskan untuk melangsungkan pernikahan hari ini.

"Yang penting kalian sah secara agama dulu," ucap Pak Wawan—Ayah Nesya.

Elvan mengangguk. "Baiklah, saya akan urus semuanya Om. Malam ini kita langsungkan pernikahan di Villa dengan disaksikan beberapa warga."

Nesya yang masih sesegukan pun hanya bisa pasrah menerima. "Ingat pesan gue, jangan sampai ada yang tahu tentang pernikahan ini," ancamnya dengan pelototan mata tajam.

Elvan hanya tersenyum mengiyakan. Memberitahu warga, dia sekaligus mengundang semua orang di sana. Lalu lelaki muda itu pun beranjak untuk pamit pergi mengurus semuanya.

"Sekali lagi saya meminta maaf atas semua yang terjadi," ucapnya pada warga. "Saya permisi dulu, untuk segera menyiapkan segalanya. Agar tidak ada lagi kegaduhan."

"Baiklah, Pak Elvan." Warga pun juga bubar dan kembali melanjutkan aktivitasnya. Setidaknya mereka sudah lega, karena Elvan dan Nesya bersedia bertanggung jawab atas perbuatan mereka.

Nesya masih memberenggut kesal pada sahabatnya, menghentakkan kaki, wanita itu juga pergi dari sana setelah menyambar pakaiannya.

"Nesya," tegur sang Papa. Namun, wanita itu sama sekali tidak peduli.

***

Kembali ke Villa, Nesya mengunci diri di kamar. Meratapi bagaimana nasibnya nanti ke depan. Sementara ketiga sahabatnya, sangat menyesal atas tindakan yang kemarin mereka lakukan.

"Lebih baik kita ceritakan saja sama Pak Wawan, siapa tahu beliau mau membatalkan pernikahan ini," cetus Chacha.

"Benar," setuju Dila.

"Tapi, gue takut. Takut kalau Pak Wawan akan marah sama kita," sela Andin.

"Itu sudah resiko kita. Kita harus bertanggung jawab atas masalah yang kita buat," terang Dila.

Akhirnya ketiganya memutuskan menemui Pak Wawan, menceritakan apa yang mereka rencanakan sebenarnya. "Kami benar-benar tidak tahu akan berakhir seperti ini, Om," sesal Andin.

"Iya, Om. Kami tidak bermaksud menjebak Nesya. Kami hanya ingin mengajarkan dia untuk menghargai lelaki saja. Apalagi lelaki seperti Elvan yang notabenenya berasal dari keluarga sederhana," tambah Chacha.

"Maafkan kami, Om," tutur Dila.

Pak Wawan diam saja. Menatap ketiganya yang menunduk, beliau sontak menarik sudut bibir dan tersenyum secara diam-diam. Berdehem keras, Pak Wawan lalu beranjak berdiri. "Semua sudah terjadi. Terlepas mereka melakukan perbuatan tidak senonoh atau tidak, mereka tetap harus menikah sekarang."

Ibu Nimala—perempuan paruh baya yang sudah berjuang mati-matian melahirkan Nesya itu hanya pasrah, dia tidak berani membantah sang suami. Satu yang dia yakini, kalau keputusan Wawan pasti demi kebaikan anaknya.

Tok-tok-tok!

Pintu diketuk dan sosok Elvan muncul dari sana. Membawa beberapa orang yang menenteng peralatan. "Tolong dekor tempat ini sebisa kalian," titahnya.

Mengangguk pada Pak Wawan, Elvan melemparkan senyum ramahnya. "Semua sudah saya urus dan sudah saya siapkan, Om."

"Kerja bagus," puji Pak Wawan. Nampaknya lelaki paruh baya itu senang dan bangga terhadap calon menantunya. "Sekarang kamu istirahatlah dulu," suruhnya pada Elvan.

"Baiklah, Pak. Saya akan istirahat dulu di belakang," ucapnya. Sebelum pergi, dia membisikkan sesuatu pada seorang lelaki yang semenjak tadi berdiam diri di dekatnya.

Setelah lelaki itu mengangguk patuh. Elvan berangsur pergi dari sana. Istirahat di kamar yang memang semenjak kemarin di tempatinya.

***

Tanpa terasa waktu berjalan begitu cepat. Lelaki dengan perawakan tinggi tegap sedang berdiri di balkon kamarnya. Menghadap pada cahaya senja, dia berkali-kali menghela napas berat.

"Gue ingin bicara."

Suara itu menyadarkannya dari lamunan. Berbalik dan menatap wanita cantik yang berada di sana, dia mengulas senyum tipisnya. "Kemarilah," suruhnya.

Nesya melangkah mendekat. Melayangkan tangan dia sontak menampar pipi Elvan. "Lo juga ikut dalam rencana teman-teman gue 'kan?" tuduhnya.

Elvan mengerutkan dahinya seraya memegang pipi. "Maksud lo?" tanyanya.

Air mata Nesya berjatuhan. Berjalan ke pembatas balkon, dia sontak menatap langit senja. "Kalian sengaja merencanakan ini 'kan? Kalian menjebak gue biar terperangkap dalam pernikahan ini. Kalian ingin memberi pelajaran karena gue sering menghina lo, pria miskin 'kan?"

Elvan membelalakkan matanya. Dia memang sudah menduga kalau hilangnya Dila adalah bagian dari rekayasa, tetapi dia tidak mengira kalau Nesya tega menuduhnya turut andil di dalamnya. Menghela napas dan menyugar kasar rambutnya, dia menyandarkan punggung pada pembatas balkon.

"Apa kamu ada bukti kalau aku turut andil di dalamnya?"

Nesya mendelik Elvan dengan sinis. "Buktinya, lo setuju saja kalau kita menikah 'kan?" kesal Nesya.

Elvan terkekeh geli sendiri. Melirik jam di pergelangan tangan, dia sontak menepuk pelan bahu Nesya. "Jangan menilai orang itu hanya dari luarnya saja, karena tidak semua buah yang busuk itu pahit rasanya."

Nesya menyorot dua bola mata Elvan, mencari jawaban atas kata yang dia lontarkan. Namun, nihil. Dia tidak bisa mencernanya.

"Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Jalani saja takdir yang sudah tergaris adanya. Lebih baik kamu mandi dan bersiap- siap dari sekarang, karena sebentar lagi akan ada perias pengantin yang datang."

Elvan masuk ke dalam kamar, meninggalkan Nesya yang masih kalut dalam kebingungan. Entah apa yang di pikirkan wanita itu sekarang. Yang jelas dia teramat kecewa dengan nasib yang sedang di alaminya.

"Menerima takdir?" gumamnya. "Mana bisa gue nerima takdir ini begitu saja. Menikah dengan pria miskin dan kucel kaya dia? Oh!"

Nesya sangat stres sekarang. Menghentakkan kaki, dia pergi dari sana, meninggalkan Elvan yang nampaknya sudah berada di dalam kamar mandinya. "Dasar cowok miskin!" geramnya seraya membanting pintu keras.

Melewati para sahabatnya yang berada di taman, Nesya menekuk penuh mukanya. Kemarahan itu semakin membuncah di dada di kala melihat Dila tertawa bersama Chacha dan Andin di sana.

"Awas aja kalian," gerutu batinnya.

***

Keluar dari kamar mandi, Elvan menggeleng-gelengkan kepala untuk mengeringkan rambutnya. Menghela napas dalam, dia menyambar ponsel di nakas.

"Semua sudah beres?" tanyanya pada orang di ujung sana.

"Sudah, Pak."

"Kerja bagus," pujinya. "Setengah jam lagi, kamu kirimkan perias pengantin ke kamar Nesya," titahnya.

"Siap, Pak."

Menutup ponsel. Elvan kemudian berbaring pada kasur kecil nan sederhana itu. Menatap langit-langit kamar, dia teringat bagaimana awal pertemuannya dengan Nesya.

"Apa ini yang namanya jodoh," gumamnya. "Kalau memang ini yang harus aku jalani, aku yakin ini adalah takdir terbaik untukku."

Elvan mulai memejamkan matanya, mengistirahatkan pikiran yang semenjak tadi bergelayut terus mengganggu. Namun, belum sampai kesadaran itu terenggut sirna, pintu kembali diketuk oleh orang di luar sana.

"Masuk!" suruhnya.

Seorang gadis cantik dan anggun masuk ke dalam, matanya sontak terpaku pada lelaki yang duduk di pinggiran kasurnya.

Elvan menepuk dahinya, dia lupa kalau belum sempat mengenakan pakaian bagian atasnya. Bergegas berdiri, dia segera menyambar kaos di dalam lemari. "Maaf," ucapnya seraya memakai baju.

Mata Dila seperti terhipnotis akan tubuh lelaki itu. Mengekor kemana pun Elvan pergi, dia terpaku pada otot-otot yang terukir indah di dada, lengan, dan perut Elvan.

"Dila," panggil Elvan.

"Eh," sentak Dila dari lamunannya.