webnovel

My cruel honey

Frisca_6869 · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
2 Chs

Dua

Anisa baru saja hendak pulang ke rumah. Tubuhnya kali ini kembali merasa penat. Proses otopsi yang dilakukan seorang dokter forensik ternyata memakan waktu lama. Akan tetapi hasilnya tetap saja nol. Mayat tersebut bersih dari bekas sidik jari maupun jejak DNA. Dokter tersebut hanya bisa berkesimpulan jika peristiwa pembunuhan itu dilakukan oleh beberapa orang.

"Besar kemungkinan oleh gangster atau preman yang sengaja disewa untuk menghabisi korban," ucap beliau.

Anisa termangu. Dia tahu yang terjadi memang pengeroyokan, tetapi tetap saja otak di balik kasus tersebut adalah satu orang. Orang yang menghendaki kematian korban untuk menutup mulut agar tidak berbicara pada polisi.

Mobil Anisa berhenti di sebuah warung pinggir jalan. Ia kemudian memesan sebungkus nasi goreng untuk dibawa pulang. Penat bekerja hingga larut malam membuat dia tidak mampu lagi untuk memasak makanan setelah pulang ke rumah.

Tanpa disadari gadis itu, beberapa orang datang mengincar dirinya. Saat mereka makin dekat dan mengambil posisi mengepung, barulah Anisa menyadari dirinya dalam bahaya. Orang-orang tersebut segera menghajar Anisa.

Anisa segera memberikan perlawanan. Meski begitu, para preman tersebut ternyata cukup kuat dan hampir mengalahkan dia. Sementara bapak penjual nasi goreng hanya bisa menatap semua itu sambil meringkuk ketakutan dengan tubuh gemetar.

Sekelebat sosok pemuda berjas hitam muncul dan menolong Anisa. Sang penolong yang tidak dikenal Annisa tersebut segera menghajar para preman. Merasa kalah, penjahat-penjahat itu segera melarikan diri.

Pemuda itu kemudian menghampiri dan menolong Anisa.

"Kamu tidak apa-apa?" tanyanya. Anisa hanya mengangguk dan berucap terima kasih.

"Lukamu tampaknya cukup parah. Ayo aku antar kamu ke rumah sakit."

Anisa kembali mengangguk. Jantungnya berdegup cepat saat orang tersebut mendekap tubuhnya dan memapah menuju mobil. Selama ini, baru sekarang ia begitu dekat dengan seorang pria. Meski banyak dipuja dan dikejar lawan jenis, Anisa hanya menanggapi.

Lukas melirik gadis di sampingnya tersebut saat mereka berkendara di rumah sakit. Senyum kembali muncul di wajahnya. Semua berjalan lancar sesuai rencana.

***

Rudi yang baru saja beristirahat terbangun seketika saat mendapat telepon yang mengabarkan Anisa tengah berada di rumah sakit.

Pria tersebut segera berganti pakaian tanpa peduli meski sang istri berusaha menghalangi.

"Apa dia begitu penting bagimu?" tanya Jenny dengan suara tercekat. Wanita berpenampilan anggun tersebut tampak hampir menangis. Akan tetapi, Rudi tidak peduli, dia terlalu mencemaskan Anisa. Tidak lama kemudian, pria tersebut bergegas berangkat tanpa lagi menoleh untuk melihat air mata yang menggenang di pelupuk sang istri.

***

"Mengapa kau menghubungi dia?" tegur Anisa sambil menatap Lukas. Perasaannya berubah buruk saat tahu Lukas menghubungi Rudi. Jenny pasti makin salah-paham padanya.

"Pihak rumah sakit yang meminta dan hanya nomor dia yang kutemukan di ponselmu dengan tulisan kerabat. Jadi aku menghubungi dia. Apa ada masalah?"

Anisa menghela napas panjang. Sudah lama dia tinggal sebatang kara. Tepatnya sejak tiga tahun lalu setelah sang ayah meninggal. Orang terdekatnya hanyalah Rudi. Akan tetapi, menyuruh pria itu datang ke rumah sakit tentu akan memperburuk salah-paham dengan Jenny.

"Kenapa? Apa kau ada masalah dengannya atau kalian sedang bertengkar?" tanya Lukas sambil menatap gadis yang baru selesai mendapat perawatan tersebut.

Anisa menatap pemuda itu dan menggeleng.

"Aku hanya takut akan muncul masalah."

***

Rudi yang baru tiba di rumah sakit segera menemui Anisa. Kepanikan tersirat jelas di wajah tersebut.

"Apa yang terjadi? Apa kau baik-baik saja? Apa kata dokter? Apakah masalahnya serius?" tanya Rudi bertubi-tubi. Anisa mengangguk.

"Aku baik-baik saja," jawabnya.

"Untung ada dia yang menolongku."

Tatapan Rudi teralihkan dan dia seolah baru menyadari kehadiran Lukas di sana.

"Jadi kau yang telah menolongnya? Terima kasih banyak," ucap Rudi sambil menjabat tangan Lukas.

"Tidak masalah," sahut Lukas sambil mengangkat bahu dan tersenyum kecil.

"Yang penting Anisa baik-baik saja."

Lukas menoleh dan menatap Anisa hangat. Hati Anisa berdesir ringan. Netra mereka yang bertemu membuat dia tidak sanggup mengalihkan pandangan. Hal tersebut tentu tidak luput dari perhatian Rudi. Dia berdehem keras untuk mengalihkan perhatian kedua orang tersebut.

"Kau bisa pergi karena aku sudah ada di sini. Maaf telah merepotkanmu," ucapnya.

"Tidak apa-apa, aku bisa tetap di sini, kok. Tidak merepotkan juga," sahut Lukas.

"Itu benar," ucap Anisa cepat.

"Sudah ada Lukas yang menjagaku, kau bisa pulang, Rud. Kasihan Jenny dan anak-anak. Mereka sendirian di rumah."

Rudi menatap Anisa tidak percaya. Gadis itu bahkan mengusirnya untuk bisa bersama dengan seorang pemuda yang baru saja dikenalnya. Meski begitu, karena Anisa yang meminta, mau tidak mau dia menurut.

***

Pagi hari telah tiba. Anisa berangkat ke kantor diantar oleh Lukas. Gadis itu sempat bingung saat di halaman kantor, Lukas ikut keluar dan mengantar dia hingga ke dalam. Tidak dapat dipungkiri, hatinya melonjak senang, tetapi akan timbul masalah jika Rudi dan yang lain melihat dia bersama Lukas.

"Kau sudah mengantarnya. Kau bisa pergi sekarang!" seru Rudi yang menemui mereka. Ia tidak suka Anisa terus saja berdekatan dengan Lukas.

"Aku tidak bisa pergi," jawab Lukas tenang. Ia kemudian mengeluarkan selembar surat dan menyerahkan kepada Rudi. Pria bertubuh tegap tersebut tertegun saat membaca isi surat tersebut.

"Jadi kau seorang agen FBI?" tanyanya pelan. Anisa terperanjat dan ikut menoleh pada pemuda di sampingnya.

"Benar. Aku kemari untuk membantu kalian mengatasi kasus pembunuhan yang baru terjadi."

Lukas kemudian tersenyum kepada Anisa. Gadis itu juga balas tersenyum. Sementara di hadapan keduanya, Rudi hanya bisa meremas kertas dengan kesal.

Lukas mengamati Anisa dan Rudi bergantian.

'Gadis ini mudah untuk ditaklukkan. Dia sudah terpikat padaku, tapi pria ini, dia pasti mencari cara untuk menyingkirkanku. Aku harus bertahan dan membuat kasus itu tidak pernah terkuak.'