webnovel

My cruel honey

Frisca_6869 · Urban
Not enough ratings
2 Chs

satu

Pistol tersebut berada di genggaman tangan Anisa. Perlahan dia mengangkat pistol tersebut dan mengarahkan pada kepala pemuda berparas tampan yang berada di hadapannya. Semua terjadi tidak pernah dia sangka, pemuda yang dia cintai ternyata seorang anggota mafia keji yang selama ini diincar pihak kepolisian.

"Apa kau akan membunuhku?" tanya pemuda di hadapannya tersebut. Ia juga mengangkat pistol dan menodongkan di kening Anisa.

"Jika tidak, maka aku yang akan membunuhmu."

***

Anisa bangkit dari duduknya dan merenggangkan otot-otot tubuhnya yang seolah kaku. Pekerjaannya sebagai seorang detektif swasta ternyata justru membuat dia menghabiskan banyak waktu duduk di balik meja. Pekerjaan yang sempat dikira keluarganya berbahaya karena bisa merenggut nyawa, ternyata sama saja dengan pekerjaan kantoran lainnya.

"Kau masih berada di sini?" tegur Rudi. Rudi adalah rekan kerja alias partnernya. Mereka sering bersama-sama menangani kasus dan mengintai penjahat hingga tidak pulang berhari-hari. Mungkin itu yang membuat Jenny, istri Rudi cemburu. Ya, siapa yang tidak akan merasa panas hati jika partnet kerja sang suami adalah seorang gadis muda.

Penampilan Anisa memang menawan. Wajah mungilnya yang bulat telur dipadu dengan mata besar kecoklatan. Hidung bangir dan bibir tipis melengkapi kecantikan wajahnya. Kulitnya yang kuning langsat dan tubuh ramping menjadi nilai tambah bagi kemolekan gadis muda itu. Tidak heran para petugas di tempat tersebut banyak tergila-gila padanya. Meski begitu, Anisa tidak menanggapi, dia tetap mengabdikan diri pada pekerjaannya sebagai seorang detektif.

"Aku hanya membaca ulang dan merapikan berkas-berkas dari kasus yang belum terselesaikan," sahut Anisa sambil menyibakkan rambut ikalnya yang kecoklatan. Rudi hanya mengangguk. Diam-diam ia meneguk ludah. Sebagai pria normal, tentu tidak bisa dipungkiri hatinya tergoda pada sosok perempuan muda di hadapannya tersebut. Perasaan yang dulu pernah dia rasakan kepada Jenny dan kini telah lenyap, kini dia rasakan kepada Anisa. Betapa ingin dirinya mencumbu dan mendekap erat tubuh indah tersebut dalam pelukan penuh hasrat.

"Baiklah, tapi sebaiknya setelah ini kamu pulang. Meski kamu seorang detektif, tetap saja berbahaya pulang malam seorang diri. Atau mungkin aku harus mengantarmu?"

Anisa menggeleng menolak tawaran Rudi. Seberkas rasa kecewa membuncah di benak pria tersebut. Dia tahu Anisa berusaha menjaga jarak demi menjaga perasaan Jenny.

'Apa seharusnya kukatakan saja padanya bahwa perasaanku pada Jenny kini telah mendingin?' gumam Rudi dalam hati.

***

Sementara itu, di malam yang sama tetapi di tempat berbeda, seorang pria bertubuh tambun tengah dipukuli oleh beberapa orang bertubuh besar. Pria paruh baya itu berulang kali berteriak kesakitan dan menangis memohon ampunan.

Tidak jauh dari orang yang tengah dikeroyok tersebut, berdiri seorang lelaki muda bertubuh tinggi dengan paras rupawan. Jas hitam yang dikenakannya menambah pesona di rupa yang seolah lukisan mahakarya tersebut. Mata elangnya menatap dingin ke arah orang yang sedang dipukuli tersebut tanpa menyiratkan setitik rasa iba. Ia justru bersandar pada mobil hitamnya yang mewah seolah menikmati pemandangan di hadapannya tersebut.

Pria paruh baya yang menjadi korban pemukulan itu berlari dan berlutut di hadapannya.

"Tuan Lukas, mohon maafkan saya, Tuan. Saya berjanji tidak akan melakukan kesalahan lagi. Tolong saya, Tuan. Tolong ampuni saya," mohonnya sambil berurai air mata. Lukas melihat pria tersebut telah memar-memar. Pipinya bengkak hitam akibat hantaman bertubi-tubi yang diterima. Mulut dan hidungnya mengalirkan darah segar. Meski begitu, tidak ada yang berubah dari ekspresi dingin Lukas.

Pemuda itu justru dengan tenang menyulut sebatang rokok. Orang yang berlutut tersebut terus saja merengek memohon ampunan. Lukas menatap pria tersebut sekali lagi dan menggeleng.

"Kau sudah membuatku kecewa," desisnya kemudian menyundutkan rokok yang masih menyala di wajah pria tersebut. Tentu saja lelaki itu menjerit kesakitan. Sesaat kemudian, Lukas mengangguk kepada para tukang pukul yang masih bersiaga.

"Bunuh dia!" perintahnya. Pemuda berambut hitam rapi tersebut kemudian bergegas naik ke mobilnya. Kendaraan tersebut segera melaju tanpa peduli teriakan penuh permohonan dari si lelaki tambun.

***

Rumah besar tersebut bernuansa gelap. Meski terpajang berbagai ukiran dan lukisan yang memperindah ruangan di tempat tersebut tetap saja ada nuansa suram di tempat itu.

Lukas bergegas masuk ke dalam kediaman. Langkahnya kemudian terhenti saat melihat sosok di ruang tengah. Seorang lelaki berambut uban tengah duduk sambil menghisap cerutu.

"Kau sudah mengatasi dia?" tanya pria yang tengah duduk itu.

"Aku sudah membereskannya, Ayah. Kau tidak perlu cemas," jawab Lukas singkat.

Sang ayah hanya mengangguk. Semenjak kecil, Lukas memang telah dilatih dan dididik dengan keras untuk menjadi seorang mafia kejam yang tidak berperasaan. Semua itu karena suatu saat nanti Lukas akan menggantikan dia untuk menguasai dunia hitam.

"Tapi ingat kau harus tetap waspada. Polisi pasti akan mengincar kita. Dia mungkin telah membocorkan semua kepada para petugas itu setelah memutuskan untuk mengkhianati kita," ucap beliau.

"Ayah, tenanglah. Para polisi itu, aku akan mencari cara untuk mengatasi mereka juga."

***

Setelah beberapa hari merasa menjadi pekerja kantoran, kini Anisa merasa penuh gairah saat mayat seorang pria bertubuh tambun ditemukan.

Dari wajahnya yang babak-belur dan penuh luka, dipastikan pria tersebut telah dibunuh, meski jenazahnya ditemukan tergantung pada sebuah pohon besar jauh di dalam hutan.

"Aku tahu siapa beliau," cetus Rudi tiba-tiba setelah beberapa saat mengamati wajah sang pria.

"Kau mengenalnya?" tanya Anisa yang berjongkok di dekatnya dan ikut melihat wajah korban.

Rudi mengangguk.

"Beberapa hari lalu, aku sempat menangani kasusnya. Dia seorang bos di sebuah klab malam yang menjual obat-obatan terlarang. Saat digeledah, di sana ditemukan pula beberapa senjata api dan bom rakitan. Ia telah berjanji untuk memberi kesaksian siapa pemasok barang-barang itu, tapi ternyata kelihatannya orang tersebut tahu dan segera menghabisi dia."

Anisa mengangguk dalam diam. Jaringan obat dan barang ilegal memang berbahaya dan beresiko nyawa. Akan tetapi, demi uang semua akan dipertaruhkan.

'Manusia memang tamak. Kerakusan mereka akhirnya dibayar dengan nyawa mereka sendiri.'

Tidak lama, para petugas forensik datang dan memasukkan jenazah pria tersebut di dalam kantong hitam untuk selanjutnya dibawa ke rumah sakit agar bisa dilakukan proses otopsi.

Setelah memeriksa tempat tersebut beberapa saat dan tidak ditemukan bukti yang mengarahkan mereka menemukan si pembunuh, Rudi dan Anisa bergegas menyusul ke rumah sakit untuk menyaksikan proses otopsi.

Tanpa mereka sadari, di kejauhan sebuah mobil sedan hitam terparkir. Jendela terbuka sedikit dan memperlihatkan sosok Lukas tengah duduk dengan wajah tanpa ekspresi. Seulas senyum tipis muncul di wajahnya, dia harus melakukan sesuatu untuk mengatasi semua masalah ini.