webnovel

My Ètoile : Secret Love

Sebuah rahasia yang selama ini ku simpan. Tentang bagaimana aku mencintai seseorang diam-diam. Aku sadar betul tentang kami yang tidak bisa bersama. Bukan karena adanya perbedaan, tetapi mengenai suatu persamaan. Aku dan dia diciptakan dengan jenis kelamin yang sama.

JieRamaDhan · LGBT+
Không đủ số lượng người đọc
164 Chs

Potret Dua Bocah

Aku tak percaya menghabiskan waktu satu jam berada di dalam bathtub. Selain karena aroma Lemon segar, pasti karena tubuhku terlalu kelelahan. Padahal ku rasa, tak ada banyak hal yang ku lakukan seharian ini. Hanya berkendara selama enam jam pulang pergi, berdiri di bawah terik matahari, terdesak oleh kerumunan masa berbau masam dan apek, dan terakhir bergumul dengan debu-debu tua. Well, sepertinya memang salahku karena terlalu menganggap remeh setiap hal. Tidak terlihat melelahkan tapi ternyata mampu membuatku hampir tenggelam karena tertidur di dalam Bathtub.

Jam digital di atas meja nakan telah menunjukan pukul 01.13, tak terasa sudah lewat tengah malam dan aku belum memejamkan mata sama sekali. Mandi memang selalu membuatku kembali bugar, meskipun sebelumnya kelopak mataku sudah sangat berat untuk diangkat . Air sangat berhasil membuatku terjaga, sama seperti minuman berkafein.

Kini, setelah pergumulan dengan debu tebal di loteng atas, rasa lelah mendorongku untuk merebahkan diri di ranjang. Aku berani sumpah, kasur ini bukanlah merek termahal yang dijual di kotaku, bukan juga barang baru karena aku telah tidur di atasnya selama kurang lebih lima tahun terakhit. Tetapi sekarang aku merasakan sensasi yang berbeda. Sangat lembut hingga ku pikir aku bisa masuk ke dalam busa-busa di dalamnya. Seperti ilusi yang biasa dilakukan pesulap, aku merasa diriku terhisap. Semakin dalam, semakin kesadaranku kian menghilang.

Berakhir terlelap seperti bayi.

.

.

.

.

Waktu berjalan lebih cepat ketika kau tertidur. Mimpi-mimpi yang muncul terkesan terlalu nyata untuk diabaikan, begitu pula denganku. Walaupun terkesan acak —seekor sapi yang minum kopi sambil membaca koran— nampak lebih menghibur daripada apa yang ada pada dunia sebenarnya.

Suara bising dari dunia nyata berhasil masuk ke dalam alam mimpi, dimana aku masih terjebak di sana. Membangkitkan fokus otak, membuatnya semakin menjauh dari dunia mimpi yang semu. Perpindahaan terkesan rancu, hingga aku tak menyadari bahwa langit tak lagi gelap di luar sana.

Bahkan cahaya terang berhasil menyoroti seisi kamar. Menerangi secara alami tetapi lebih efektif ketimbang lampu yang terpasang pada plafon atas.

Sama seperti kebanyakan orang, bangun dari tidur selalu di awali dengan menggerakan salah satu atau seluruh anggota badan. Aku pun melakukan hal yang sama. Namun, begitu badanku mulai bergerak, aku merasakan otot-otot menjadi kaku seiring dengan rasa sakit yang menjalar setiap kali bergerak.

Inilah terkadang aku tidak suka menghabiskan waktu di luar. Berbaring seharian di bawah Air Conditioner terdengar pilihan paling bagus untuk menghabiskan libur musim panas. Alasan terbesarku berkendara selama tiga jam penuh tentu saja karena si mata biru shappire. Mungkin terdengar bodoh dan kekanakan, tetapi bagiku itu adalah satu-satunya hal yang ku tunggu. Satu hari paling istimewa ketimbang 365 hari lainnya.

Kini setelah beberapa kali pertemuan tak menghasilkan apapun yang memuaskan —karena aku belum cukup berani untuk berbicara langsung secara empat mata— kemarin usahaku membuahkan hasil. Sebuah tanda tangan beserta nama dari pira bermata biru tersebut.

Ah, benar. Kemarin, saking mengantuknya aku lupa untuk mengganti isi bingkai dengan kertas bertanda tangan. Seingatku, terakhir kali ku tinggalkan bingkai itu di atas meja nakas, sebelum tubuhku terlalu lelah untuk mengingat detail apa saja yang terlewat semalam.

Otak memiliki respon sangat cepat meskipun kau baru saja membuka mata, tetapi tubuh beserta saraf-saraf membutuhkan waktu lebih lama untuk memproses informasi yang dikirim oleh otak. Efek paling mudah dilihat adalah tubuh menjadi sempoyongan ketika dipaksa bangun tepat setelah mata terbuka. Karena itu, aku mendudukan diri lebih dulu, bersandar pada kepala ranjang sambil menghirup nafas dalam.

Udara pagi yang segar menelusup masuk melewati lubang ventilasi di atas jendela yang masih menutup. Aku belum memiliki cukup tenaga untuk berjalan turun dari ranjang dan membuka selot daun jendela. Di sela-sela pergantian oksigen dengan karbon dioksida, sekelibat aroma mengusik indra penciumanku. Sesuatu yang menyengat tetapi mampu membuat perut berbunyi nyaring.

Pagi ini berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Satu kejanggalan berhasil membuatku turun dari ranjang untuk mengecek ke luar kamar. Rasa penasaran rupanya telah berhasil membuat tubuhku terisi tenaga.

Sensasi dingin langsung menyapa begitu telapak kakiku menimpa permukaan lantai kamar yang dingin. Sisa udara malam masih tertinggal di sana, cahaya matahari pagi rupanya belum mampu untuk menghilangkan suhu dingin. Tidak buruk sebenarnya, karena sensasi dingin semakin membuatku tersadar. Kinerja anggota tubuh menjadi lebih menajam, terlebih pada kedua mataku.

Di sana, di atas tumpukan buku-buku pelajaran yang lupa ku tata ulang semenjak terakhir kali ku baca -tiga hari yang lalu- aku bisa melihat kayu berwarna hitam. Mengkilap berkat samalam ku bersihkan dengan telaten. Debu-debu tebal yang tak enak dipandang telah lenyap seperti asap pembakaran. Tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Siapapun yang melihat pasti akan mengira kalau bingkai ini baru dibeli, dan bukannya pernah terbengkalai di loteng atas. Aku pantas tersenyum bangga dengan hasil kerja kerasku, sampai mengotori seluruh pakaian.

Aku berbalik badan, bukannya berjalan menuju pintu kamar, malahan mendekat ke arah bingkai itu tergeletak. Tubuhku berjalan sendiri, seolah bingkai itulah yang telah mengendalikan sulur-sulur otot dan saraf. Menariknya kian mendekat.

Ketika aku sudah berada tepat di depan meja nakas, bingkai tersebut tergeletak dengan posisi menelungkup. Kaca nya terhimpit body bingkai dan permukaan sampul buku. Aku tak dapat melihatnya dengan, matematika barangkali, karena memiliki aksen merah serta jingga di beberapa bagian.

Ujung jemariku menyentuh tepi kayu hitam, lalu membaliknya dalam sekali sentak. Usaha membersihkan semalam tak mengkhianati hasil, karena kaca yang tertutup debu tebal kini bersih sempurna. Bahkan kalau kau melihatnya dari jarak agak jauh, tak akan terlihat jika ada lapisan kaca yang menutupi lembar foto. Potret dua bocah, kira-kira usia 7-8 tahun yang semalam hanya nampak bagian bawah tubuhnya saja, kini wajahnya menjadi sangat jelas.

Satu bocah berkulit putih yang jika terkena terlalu banyak sinar matahari dapat berubah menjadi merah muda mengenakan kaos singlet warna biru dengan bagian depan kotor oleh pasir coklat. Lalu satunya berkulit lebih gelap dan bertelanjang dada dengan ember merah muda di sebelahnya terlihat menoleh ke arah samping, tepatnya menatap ke arah si bocah kaos singlet.

Aku mengenali semuanya. Si bocah berkulit gelap adalah Lucas, sementara yang satuya adalah aku.

Bagian dari masa lalu terkadang akan sangat sulit untuk diingat. Apalagi jika terlampau jauh. Bahkan, aku baru menyadari kalau hari itu Lucas —si bocah menyebalkan dalam kamusku— bisa tersenyum manis seperti yang ada di foto ini.

"Kenapa bocah manis ini bisa berubah jadi menyebalkan saat dewasa..."

Decitan pintu terdengar di belakang ku, sebelum aku berbalik badan untuk mengecek apakah itu angin atau ada kucing jalanan yang menyusup masuk, sebuah suara lain menyapa.

Suara berat dari seorang pria.

"Aku pikir kau masih tidur..."