Coretan tanda tangan dihiasi bintang kecil di bagian atas. Astaga, bahkan dari bentuk tanda tangannya saja sudah mencerminkan sisi manis dan imut. Mungkin aku sudah gila karena terkesan berlebihan memuji coretan pena, tetapi kalau kau berada di posisiku, aku berani jamin kalau sikapku ini terbilang wajar.
'Untuk si pemalu Bryan Stewart, semoga kita bisa bertemu langsung.
Dari Joshua Schaeffer.'
"Joshua.. Schaeffer.."
Aku mengeja satu persatu kata dari nama yang terpatri indah di bawah coretan tanda tangan. Jadi, si pirang itu bernama Joshua? Nama yang sangat cocok untuknya. Manis dan mempunyai aura bintang. Tanpa sadar, senyuman lebar telah tersungging. Otot-otot wajahku tertarik, membuat tulang pipi semakin menonjol. Hanya dengan melihat coretan bertuliskan namanya saja sudah membuatku seperti orang gila. Nama itu terlalu indah, menjadikanku lumayan kebingunan untuk memilih panggilan apa yang cocok saat nanti kami bertemu kembali.
Joshua? Jojo? Shua? Sayang?
Hey, Sadarlah! jernihkan pikiranmu itu Bryan!
Memangnya kau siapa, berani sekali memanggil orang dengan 'sayang'?
Lembar kertas putih dalam genggamanku sekarang memiliki nilai lebih berharga daripada apapun juga di rumah ini. Yang mana berarti, aku harus menjaga agar tidak rusak apalagi hilang. Ini satu-satunya hal yang menghubungkanku dengannya.
Lembar takdir.
Aku menganggap demikian.
Jika benang merah dikenal sebagai simbol dari takdir yang menyatukan dua orang, aku memiliki lembaran kertas berisi tanda tangan ini. Lebih nyata dan juga aku bisa menggunakannya sebagai jimat keberuntungan.
Terkadang, sesuatu yang tidak masuk akal menjadi benar-benar realistis jika berhubungan dengan cinta.
Karena, sejujurnya aku tak terlalu percaya dengan ramalan atau takhayul, sebelumnya. Hal-hal mistis tidak masuk akal yang tak bisa dijelaskan dengan penelitian, dulunya aku jenis orang macam itu. Aku juga sering menyebut Lucas anak pungut karena warna kulitnya paling berbeda dengan bagian keluarga lain, sebelum aku mengetahui kalau ayah kandungnya sudah meninggal dan sosok pria yang selama ini kulihat adalah ayah tirinya.
Well, perubahan cukup berjalan baik bagi kehidupan.
Pola pikirku mulai berubah, anggapan bahwa segala yang terjadi sekedar kebetulan kini tak lagi sama. Tidak ada namanya kebetulan, semua berjalan sesuai takdir mereka.
Sesuatu yang berharga harus mendapat perlakuan ekstra hati-hati bukan?
Maka ku putuskan untuk memajang lembar berisi tanda tangan ini pada sebuah bingkai kosong. Ku rasa, aku punya satu bingkai yang sudah lama dibiarkan berdebu, tidak ku pakai. Karena, sejujurnya aku bukan tipikal orang yang cukup narsis untuk memasang wajahku sendiri di dalam kamar. Hanya ada satu poster Timnas olahraga Rugby serta dua poster film super hero ; Deadpool dan Ironman menghiasi dinding berwarna putih tulang. Terkesan membosankan, tetapi mataku sudah sangat terbiasa dengan pemandangan yang menurut Lucas membosankan ini. Si alis tebal selalu saja mengomentari hidup orang.
"Ada di mana yah.."
Kegiatan mandi tadi bisa dibilang sia-sia karena sekarang aku telah membuat sebagian tubuhku bermandikan debu ketika tengah membongkar lagi barang-barang lama. Ruangan loteng memang paling memiliki banyak debu ketimbang ruangan rumah lain, tetapi loteng ini semakin kotor dengan banyaknya sarang laba-laba melekat pada barang-barang di dalam sini. Aku terlalu malas untuk selalu membersihkan tempat ini, hanya beberapa bulan sekali, itu pun kalau ada hal yang sangat mendesak. Seperti sekarang, ketika harus membongkar ulang kardus-kardus yang tertutupi debu tebal demi mencari sebuah bingkai tak terpakai.
"Uhuuuk! Uhuuuk!"
Kain tebal yang menutupi sebagian wajahku ternyata sia-sia, debu tebal masih dapat merangsak masuk dan menyumbat pernapasanku. Membuat tenggorokan menjadi kering dan gatal. Ini ide buruk, harusnya aku sudah turun dari loteng ini bahkan sebelum menginjakkan kaki pada lantai kayu dengan debu-debu tebal dan butiran kayu bekas dimakan rayap. Tetapi, hasrat bodoh ini tak mengizinkanku untuk langsung menyerah. Tidak boleh berhenti sebelum menemukan bingkai kosong.
Aku tak tahu sudah berapa lama berada di atas sini, jendela kecil yang berada di dinding bagian atas menampakan pemandangan langit yang gelap pekat. Aku memang tak membawa jam tangan maupun ponsel ke atas sini, hanya perkiraanku saja, mungkin sekarang sudah cukup malam untuk beristirahat.
Yang berarti pencarian bingkai harus dihentikan saat ini juga. Tepat sebelum aku menata ulang, memasukan kembali barang-barang yang telah ku bongkar beberapa saat lalu, sudut mataku melihat sesuatu yang tak asing. Di terangi lampu kuning remang-remang, aku bisa melihat benda itu, menyelip pada jejeran buku lama yang berada di rak tua tanpa sekat. Sisi-sisi kayu yang berwarna hitam membuatku kesulitan dalam pencarian. Tetapi aku sungguh mengenali benda yang cukup menyita perhatianku.
Tepat seperti dugaan, itu sebuah bingkai kaca dengan tepian kayu berwarna hitam. Sayangnya, bingkai ini tidak kosong. Ada sebuah foto di dalamnya. Potret dua bocah yang sedang duduk di atas pasir, membentuk pasir kecoklatan menyerupai sebuah bangunan. Tetapi aku tak bisa melihat dengan jelas wajah di sana, debu tebal menempel pada permukaan kaca.
Tidak masalah, hanya butuh beberapa sapuan dari kain lap basah dan VOILA~ kaca bingkai akan menjadi mengkilap kembali seperti baru.
Aku turun dari loteng tanpa mematikan lampu kuning kecil di atas sana, memang sudah menjadi kebiasaan. Proses turun sedikit lebih susah ketimbang saat aku menaikinya tadi, tangan kanan ku gunakan untuk berpegangan pada tangga kayu sementara tangan lainnya menggenggam erat bingkai.
Begitu sampai di lantai bawah, aku segera mendorong tangga kayu ke atas, membuatnya masuk ke dalam loteng sekaligus menutup pintu loteng. Semuanya saling terhubung. Seperti pintu pesawat yang menjadi tangga untuk turun.
Jejak-jejak debu semakin kentara jelas di bawah cahaya lampu yang terang. Membuatku menatap jijik pada tubuhku sendiri, berapa kali pun tepukan ringan ku layangkan untuk menghilangkan debu pada kaos yang tengah ku pakai, semuanya percuma. Butuh guyuran air untuk membersihkan tubuhku dari debu-debu membandel.
Ini cukup merepotkan, tetapi aku sadar jika tak akan bisa tidur bahkan sekedar duduk-duduk santai tanpa membersihkan diri terlebih dulu. Apalagi nantinya kamar akan menjadi kotor karena debu kecil ini bisa berjatuhan setiap kali aku bergerak.
Mau tak mau, aku memilih untuk mandi dua kali daripada menimbulkan berbagai kekacauan akibat debu-debu menyebalkan. Kali ini tak lagi dengan air dingin, aku tak mau nekat membuat tubuhku tersiram air dingin ketika malam semakin larut. Air hangat lebih cocok juga akan membantu tidur menjadi nyenyak.
Yeah, kau bisa mengataiku sebagai orang yang tak teguh pada pendirian. Beberapa saat lalu berkata tak butuh air hangat untuk mandi, tetapi sekarang justru tengah mengisi bathtube dengan air hangat. Well, aku tidak masalah dianggap plin-plan daripada berakhir demam semalaman karena nekat mandi dengan air dingin.