webnovel

MILIK ORANG

Ini bukan kisah tentang pelakor. Melainkan kisah seorang janda muda yang sebenarnya bukanlah janda. "Kamu mencari ku? Aku akan menikah." Satu Kalimat berhasil mengiris hatinya.

TTPublisher · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
22 Chs

Chapter 7

"Apa sesulit ini memperjuangkan seseorang yang kita cintai?"

"Ketika hati tidak ingin berhenti, kenapa keadaan memaksa?."

"Kamu pernah seperti ini?."

Dua manusia masih bergelut dalam pikiran dan logika masing-masing. Hanya detak jarum jam yang menemani malam sunyi itu.

Ketika Nayna akan masuk ke kamar, Arkan menahannya. Meminta wanita tersebut menemaninya bicara. Dan, berakhirlah ibu satu anak tersebut di sini, di ruang tamu. Mendengar setiap kata demi kata yang menjadi cerita antara pria di depannya dan wanita yang menjadi penyebab pria tersebut berada di rumahnya.

"Kamu tidak dengar, Nay?"

Nayna tidak menjawab, menatap malas wajah pria di depannya yang duduk bersila di atas sofa.

"Saya berbicara dari tadi, tapi tak sekalipun kamu tangggapi?."

Ngantuk, jengah, malas, mengganggu!! Itu yang dirasakan Nayna saat ini pada Arkan. Bagaimana tidak, jam 12.00 malam. Biasanya jam segini Nayna sedang menikmati jam istirahatnya bukannya mendengarkan dongeng Arkan

"Nay!!!."

"Mau nanggepin gimana? Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Mas Arkan yang tiba-tiba datang dengan keadaan seperti ini."

Arkan merasa tidak enak, tapi dia tetap ingin berbicara dengan ibu muda tersebut.

"Jadi kamu penasaran?"

"Tidak. Aku hanya ingin tidur!!."

Arkan mendesah. dia lagi banyak pikiran kenapa Nayna malah berpikir ranjang empuknya.

"Hubungan saya dengan Laras sudah jalan dua tahun Nay." Arkan mulai bercerita walaupun melihat wajah malas Nayna.

"Orang tuanya sangat menyukai saya, dan mendukung ketika saya mengutarakan niat untuk melamarnya. Menjadikan istri untuk selamanya."

Nayna tidak menanggapi, tapi rungunya menangkap jelas bait-bait tersebut. Hanya mendengar, bukan menghayati.

Tubuh pria tersebut bersandar, kaki diturunkan untuk menyamankan posisinya. "Tapi ... Mas Lio, kakaknya Laras, tidak menerima hubungan kami."

Mata Nayna bergerak, perlahan menatap mata Arkan. Pandangan keduanya terkunci ketika mata itu beradu.

"Kenapa?"

Nayna memutuskan kontak matanya, membiarkan Arkan yang terombang-ambing dalam pusara nelangsa.

Arkan berdeham, memaksakan diri untuk terlihat santai. Walau diyakininya ibu muda tersebut bukan wanita yang gampang menunjukkan kelamahan lawannya.

"Kamu tidak perlu tahu, Nay." jawaban Arkan membuat Nayna tersenyum tipis. Sangat tipis, hanya mata yang tajam yang bisa melihat pergerakan bibir Nayna.

"Baiklah, Apa aku boleh tidur sekarang?" tanya Nayna.

Kernyitan kening Arkan membuat wanita itu mendengus.

"Apa kamu ingin saya mengantarmu ke kamar?"

Tubuh Nayna berbalik, meninggalkan pria yang sudah menyita waktu istirahatnya. Entahlah, Nayna tidak suka melihat anak bu Wati tersebut.

Istirahat sekitar empat jam, lebih baik. Dari pada tidak sama sekali. Karena tidak mau ada salah paham, sebelum memejamkan matanya, Nayna mengirim pesan pada uni Ina bahwa besok dia tidak jualan.

Rasanya baru saja tidur, Nayna terjaga karena Ica, putrinya haus. Kebiasaan setiap malam Nayna akan bangun karena membuat susu Ica.

Raungan Ica semakin menjadi dalam gendongan Nayna, ketika wanita itu memanaskan air. Entah kenapa semalam dia lupa memasukkan air dalam termos. Tidak pernah seperti ini.

"Num bu...cucu bubu..."

Kepala setengah pusing, Nayna mengambil botol susu dan mengisinya dengan air dingin sebelum mencampurkannya dengan air hangat. Baru kemudian mengisi susu.

Melirik jam sudah menunjukkan angka 05.10, Nayna menidurkan Ica di ruang tengah. Menyalakan televisi sebelum ke kamar mandi.

"Ibu ke kamar mandi dulu ya, Ica nonton tv." Setelah itu, Nayna bergegas ke kamar mandi membersihkan diri dan bersiap sholat subuh. Biasanya, jam segini dia sudah berkutat di dapur menyiapkan dagangannya. Tapi hari ini, seseorang mengacaukan rutinitasnya.

Setelah memasak nasi, Nayna menggoreng ikan kembung. Sambel hijau dan merah tidak ketinggalan. Dua telur dadar sudah ada di meja makan. Sayur bening dan tumis kecambah kecambah pun sudah matang.

"Masak apa?"

Nayna menoleh. Di belakangnya sudah ada Arkan yang menggendong putrinya.

"Goreng ikan, yang lain sudah matengan."

"Harum ya Ca?." Arkan mengendus rambut Ica, wangi shampoo bayi menguar dari rambut Ica.

"Iyalah, Ica sudah mandi," sahut Nayna tanpa berbalik dari wajan.

"Bukan. Masakan kamu."

Nayna berdecak, dengan gesit wanita itu mengambil piring. Perlahan dia mengangkat ikan tersebut.

"Arkan?"

Kedua manusia itu berpaling melihat siapa yang datang. Wajah Nayna sudah pucat, berbeda dengan Arkan. Pria itu meninggalkan Nanya dan menghampiri ibunya.

"Kamu ngapain di sini? Itu muka kamu kenapa? Kamu nggak jahatin Nay, kan?."

Arkan mendesah dalam hati, kenapa dia harus bersembunyi di rumah Nayna kalau akhirnya bu Wati juga mengetahui keadaannya. Kenapa juga dia lupa, bukankah setiap pagi dia sendiri yang mengantar ibunya untuk menjemput Ica?

"Kalian tidak nglakuin yang aneh- anehkan?"

Bukannya menjawab, Arkan menyerahkan Ica pada bu Wati. "Ica sama Nenek dulu ya, Om lapar."

Setelah itu ia duduk di meja makan, mengabaikan raut wajah kesal ibunya.

"Nay, piringnya tidak ada?"

Mata Nayna melirik canggung antara ibu dan anak tersebut. Perlahan ia mengambil piring dan sendok.

"Apa ibu akan melihatku terus?"

Bu Wati menarik salah satu bangku yang ada di meja makan dan duduk di samping Arkan.

"Sejak kapan kamu sering ke sini?"

Nayna merasa tidak enak dengan pertanyaan bu Wati. Jujur, ia tidak menggoda pria tersebut.

"Tadi malam." Arkan bersiap untuk suapan pertama setelah menjawab pertanyaan ibunya. Sebentar lagi akan ada banyak sesi tanya-tanya ala bu Wati. Maka dari itu, Arkan harus mengisi energinya.

Mata bu Wati memicing ke arah ibu Ica yang masih berdiri di belakang Arkan."Kamu Nay, kenapa nggak jualan?"

"Nay, istirahat Bu."

"Ibu tanya ke Nay, bukan kamu!!."

"Jawab Nay," titah Arkan yang menghasilkan gerutuan kesal dalam hati Nayna.

"Em, Nay----" Nayna berpikir, apakah ia harus menjawab jujur?

"Kenapa kamu membiarkan lelaki ini masuk ke rumah? Kamu tahu 'kan bagaimana mulut tetangga? Apalagi kalian bukan suami istri!."

Ludah pahit ditelan wanita tersebut, membenarkan ucapan bu Wati. Bagaimanapun Nayna yang salah. Seharusnya tadi malam dia mengusir Arkan agar kejadian ini tidak terjadi. Bagaimana kalau para tetangga tahu?

"Arkan yang maksa, Bu." Arkan tidak ingin ibunya salah paham mengingat ibu satu anak tersebut sudah menolongnya.

"Kalian tidak tau apa yang akan terjadi, capek ustadz-ustadz itu ceramah. Kalau lagi berdua, pasti ada pihak keti---"

"Kami bertiga sama Ica," sanggah Arkan tanpa melihat ibunya, karena dia sedang memisahkan daun seledri pada telur dadarnya.

Kesal, kenapa ada daun ini pada makanan yang sedang disantapnya.

Bu Wati ingin sekali melemparkan dua piring sambal ke wajah putranya. "Sama saja, itu tidak benar. Apa kamu mau menikahi Ibunya Ica!?."

"Jangan terlalu mendramatisir, Bu. Arkan hanya numpang tidur." Walaupun jawabannya datar, tak tekesan ketus, tetap saja membuat Nayna kesal dan marah.

"Apa kamu bilang? Drama? Siapa yang buat drama Arkan!."

Kepala Arkan belum pulih, sekarang malah mendengar omelan ibunya, semakin terasa berat denyutan tersebut.

"Tengah malam buta, Laras ke rumah cariin kamu, ditelepon nggak dijawab. Apa masih mau bilang drama? Kalau dia sempat ke sini kamu mau jelasin apa, hah!?"

Nayna menggigit bibir bawahnya, mendengar ucapan bu Wati. Dia seperti sedang dalam lingkaran. Ke manapun langkahnya mengarah, selalu ada luka yang menunggu.

"Nay minta maaf, Bu."

Bu Wati melihat ke arah Nayna, mata Nayna memerah bersiap mencurahkan lahar panas. Tangan wanita itu saling bertautan, menahan gejolak yang kian mendekat. Nayna pikir, dua tahun yang lalu itu akhir luka hidupnya, nyatanya baru saja ia merasa rendah dengan sikapnya.

Perhatian bu Wati teralihkan ketika melihat pergerakan Arkan.

"Mau ke mana?" "Ketemu Laras."

Setengah berlari, Arkan keluar dari rumah Nayna. Mencari ojek dan melesat ke tujuan di mana mobilnya berada.

Pikirannya berkecamuk. Setelah ini ada hal yang harus diluruskan. Namun sebelum itu, dia harus berbicara dengan Laras.

Berharap dalam hati, semua masalah dengan kekasih yang sudah menjadi tunangannya berujung dengan baik.

Karena, ia mengenal dengan baik siapa Marlio Hartawan. Yang tidak lain adalah kakak Laras.

***