webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
93 Chs

Setatus Baru

Hiruk-pikuk Jakarta menyapaku, sudah saatnya aku kembali dalam kesibukanku.

Sepulang dari Semarang, aku tak pergi kemana-mana dan memutuskan untuk diam di rumah.

Dua hari lagi aku akan kembali ke sekolah, dengan menyandang setatus baru, sebagai anak kelas dua SMA. Serta resmi menyandang setatus Jomblo.

Yah ... Jomblo! Ini jauh lebih baik dari pada punya pacar tapi rasa Jomblo.

Aku kadang berpikir, kenapa dia tidak memutuskanku sejak awal.

Paling tidak luka hatiku sudah sembuh sejak dulu. Dion memang menyebalkan!

"Mel, kamu dari kemarin diam aja semenjak dari Jawa, kenapa?" tanya Tante Diani.

"Ah, enggak apa-apa kok, Tante, Mel cuman cepek aja butuh istirahat!" jawabku.

"Ah, kan kemarin udah istirahat! Sekarang ikut Tante yuk!" ajak Tante Diani.

"Kemana?"

"Ke mini market, nanti Tante traktir es krim!" kata Tante.

"Coklat juga ya, Tante!"

"Emm ...," Tante terdiam sesaat, "boleh deh!" ucapnya.

"Okay!" Aku pun langsung bergegas ikut bersama dengan Tante Diani.

Sesampainya di mini market, Tante mulai memilih-milih barang-barang yang ia cari. Aku membuntutinya dari belakang.

Tak sengaja aku malah bertemu dengan Dino.

Aku heran dari banyak sekali mini market di Jakarta, kenapa makhluk ini harus mampir di mini market ini.

Melihatku, dia langsung mendekat.

Aku pikir setelah kejadian malam itu dia akan kapok dan tidak akan mengejarku lagi. Tapi ternyata dia masih berani mendekatiku.

"Hai, Mel," sapanya dengan senyuman khas.

"Apa?!" bentakku.

"Yaelah, Mel! Masih galak aja," keluhnya.

"Biarin! Emang gue galak! Terus masalah buat elu!" sengutku pada Dino.

"Mel, soal kejadian yang waktu itu—"

"Iya, gue udah maafin elu! Dan sekarang elu boleh cabut dari hadapan gue!" sengutku. Aku motong kalimatnya.

Aku memang sudah memaafkannya, tapi setiap mengingat kejadian malam itu, aku masih merasa kesal.

Karena kejadian itu bukan kejadian yang bisa dibilang main-main, tapi itu tindakan kriminal.

Dino sudah menculik aku, bahkan dia juga sudah berniat akan melakukan tindakan asusila kepadaku.

Aku bisa saja menjebloskan dia kepenjara, tapi aku masih kasihan dengan orang tuanya. Lagi pula aku tidak mau kasus ini akan mengusik kehidupanku.

Kerena sudah pasti aku akan menjadi bahan obrolan bagi seluruh siswi di sekolah.

"Mel, kamu beneran udah gak mau lagi ya jadi pacar aku?" tanya Dino.

Pertanyaan yang benar-benar membuatku geram, "Enggak!" jawabku dengan tegas.

"Mel, katanya udah maafin aku, kok masih gak mau sih jadi pacar aku?"

"Eh, Bambang! Gue maafin elu bukan berarti mau jadi pacar lu lagi ya!" bentakku, suaraku cukup tinggi, sampai membuat orang-orang menengok kearahku.

"Najis," umpatku pada Dino, tapi suaranya agak pelan, supaya tidak terdengar oleh orang-orang lagi.

Tante Diani pun mendekatiku.

"Mel, ada apa sih?" tanya Tante.

"Gak ada apa-apa kok, Tante," jawabku.

"Dia siapa? Kok mukanya cabul banget?" tanya Tante Diani sambil melirik sinis kearah Dino.

Dan Dino pun langsung meraba wajahnya sendiri, "Masa sih, muka aku cabul?" gumamnya. Aku hampir tertawa mendengarnya, tapi berusaha kutahan, aku ini sedang marah, kalau aku sampai tertawa yang ada tingkat kesangaranku bisa luluh lantah.

"Tante, belanjanya udah belum?"

"Udah sih, tinggal bayar aja," jawab Tante Diani.

"Yaudah, kalau begitu langsung ke kasir aja deh Tante, Mel udah gak betah lama-lama di sini!"

"Emang kenapa?" tanya Tante.

"Di sini tempatnya gak sehat, bisa bikin orang darah tinggi!" jawabku. Tante Diani masih terlihat bingung dan aku pun langsung menarik tangan Tante dan membawanya ke meja kasir, sementara Dino masih berdiri di depan rak makanan ringan. Sepertinya dia ingin mengejarku lagi, tapi berhubung ada Tante Diani, sehingga Dino menjadi segan.

Untungnya mini market sedang sepi sehingga si Embak Kasir langsung menghitung belanjaan kami.

Setelah itu Tante Diani mengajakku makan bakso yang tak jauh dari mini market itu.

Dan di sini Tante mulai mengintrogasiku mirip tersangka Pembunuh Berantai.

"Mel, yang tadi itu siapa? Mantan kamu ya?" tanya Tante.

"Iya, Tante," jawabku.

"Sebenarnya mukanya lumayan ganteng sih," kata Tante.

"Tadi kata Tante, mukanya, cabul?" protesku.

"Iya juga sih, sorot matanya kayak Om-om Cabul gitu, tapi serius kalau dilihat dari segi fisik dia lumayan ganteng, hidungnya mancung, terus badanya juga tinggi besar tapi sayang giginya kawatan," tutur Tante Diani menilai Dino.

"Emangnya kalau giginya kawatan kenapa, Tante?" tanyaku.

"Ya gak apa-apa sih, cuman Tante kesel aja!"

"Kan gigi-gigi dia, kok jadi Tante Diani yang kesel sih?"

"Lah, kamu sendiri kenapa kok kayak benci banget sama dia?" Tante Diani bertanya balik kepadaku.

"Ya habisnya dia itu cowok gila, Tante!"

"Cowok gila? maksudnya yang suka telanjang di jalanan gitu?" tebak Tante Diani yang imajinasinya terlalu jauh.

"Ih, ya gak gitu juga, Tante!"

"La terus gimana dong?"

"Dia itu orang yang pernah culik Mel, waktu itu Tante!" jelasku.

"APUAAAH?"

Seketika Tante Diani tersentak, dan kedua matanya melotot tajam, bahkan bola bakso yang ada dimulutnya sampai menyembur keluar. Dan sialnya bola bakso itu mendarat tepat di mataku.

"Aduh, Tante, matanya Mel jadi perih nih!" keluhku sambil memegangi mataku.

"Eh, sorry, Mel! Tante beneran khilaf!" Tante Diani berusaha menolongku.

Tapi setelah itu dia kembali bangkit, kedua matanya kembali melotot tajam.

"Kemu kenapa gak bilang dari tadi sih, Mel! Kalau tuh cowok yang sudah culik kamu waktu itu?!" bentak Tante Diani.

Kedua tanganya sudah mengepal dan sudah bersiap untuk menghajar Dino.

Aku yang masih memegangi mataku mencoba melarangnya. "Tante, udah biarin aja, Tante! Jangan bikin malu!" ujarku.

"Ya tapi dia itu sudah keterlaluan, Mel! Paling enggak Tante harus bikin hidung dia retak!" kata Tante penuh emosi.

"Aduh ... jangan Tante, please, biarin aja ya, kita makan bakso lagi,"

"Ya tapi—"

"Tante, kali ini, Mel! Yang bayarin deh!"

"OK deal!" Tante langsung duduk manis seperti tidak terjadi apa-apa lagi.

Ternyata semudah ini merayu Tante Diani, hanya dengan mentraktirnya semangkuk bakso. Untung kemarin, Kakek memberikanku uang jajan, yah ... tidak apa-apa deh kali ini aku yang rugi.

Yang penting Tante Diani tidak membuat keributan di tempat ini.

Kadang aku berpikir jika Elis da Tante Diani itu seperti memiliki karakter yang hampir sama.

Sama-sama emosian dan mirip preman.

Tapi tak bisa dipungkiri mereka adalah orang-orang yang sangat menyayangiku dan selalu membelaku walau apapun yang terjadi.

Mereka menyayangiku dengan cara mereka sendiri.

Bersambung ....

Dendam tidak akan mengobati luka hati kita.

Justru dendam hanya akan membuat hati kita semakin terluka.

Lalu bagaimana cara mengatasinya?

Cukup ikhlaskan, dan biarkan semesta yang menghukum mereka.

Melisa Aurelie