webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Teen
Not enough ratings
93 Chs

Memberikan Kesempatan

"Mbak Mel, ngapain ke rumahnya, Laras?" tanya Bagas.

"Ya aku mau minta maaf, Gas," jawabku.

"Memangnya, Mbak Mel, buat kesalahan apa sih? Sampai harus minta maaf segala?"

"Ya karena aku ...."

"Iya, Mbak Mel, kenapa?"

"Gara-gara kamu suka sama aku, Laras jadi marah sama aku!" jawabku.

"Ow ...."

Seketika suasana mendadak hening aku dan Bagas saling terdiam.

Dia seperti enggan membahas tentang kejadian semalam saat Laras menyatakan perasaan cintanya kepada Bagas.

"Gas, kamu kenapa nolak, Laras?" tanyaku agak ragu-ragu, jujur aku sangat takut jika Bagas akan marah mendengar pertanyaanku ini.

"Ya karena aku gak cinta sama, Laras," jawab Bagas.

"Iya apa alasannya?" tanyaku lagi.

"Kenapa, Mbak Mel, masih tanya juga? Padahal, Mbak Mel, 'kan udah tahu alasan aku gak suka sama Laras, karena aku sukanya cuman sama, Mbak Mel!"

Seketika aku terdiam lagi, mendadak aku kehilangan kata-kata.

Bagas melanjutkan kalimatnya.

"Aku gak mau menjadikan Laras sebagai pelarian, sementara perasaan aku masih ada pada, Mbak Mel!" jelas Bagas.

"Setidaknya kamu beri Laras, kesempatan Gas, kamu sendiri yang bilang kalau kamu tidak akan menyia-nyiakan orang yang suka sama kamu, dan Laras cinta sama kamu, Gas!" ucapku.

Bagas menundukkan kepalanya.

"Memangnya, Mbak Mel, gak mau kasih aku kesempatan ya?" tanya Bagas, "walau sedikit saja?"

"Apa yang membuatmu menyukaiku, Gas? Aku ini galak! Dari kecil aku suka manfaatin kamu!" ucapku meyakinkan Bagas, agar dia berhenti menyuakiku. Karena Bagas itu lebih cocok dengan Laras, yang jelas-jelas menyukainya dengan tulus.

Bahkan Laras dapat melupakan Nino semenjak mengenal Bagas.

Aku yakin Laras akan membuat Bagas bahagia, dibadingkan aku, yang pastinya akan membuat Bagas terluka, karena aku hanya menjadikannya sebagai pelarian saja.

"Aku gak peduli mau Mbak Mel, galak, judes, atau Tukang Bully, sekalipun aku sama sekali gak peduli! Aku tetap suka sama, Mbak Mel!"

"Ya tapi apa alasannya?"

"Alasan? Tentu aja gak ada alasannya! Seperti, Mbak Mel, suka sama Dion, dan sampai gak bisa move on dari Dion, itu apa alasannya?" Bagas bertanya balik kepadaku, "gak ada, 'kan?"

Aku terdiam lagi.

"Mbak, perasaan cinta itu gak bisa dipakasakan dan gak tahu kapan dia akan datang, dan kapan perasaan itu akan pergi. Bisa saja cinta itu akan bertahan selamanya ... dan yang lebih parahnya lagi kita juga gak bisa memilih dengan siapa kita akan jatuh cinta, seperti aku suka sama, Mbak Mel!" pungkas Bagas.

"Tapi, coba buka hati kamu untuk Laras, Gas! Dia itu gadis yang baik," pintaku.

"Kalau, Mbak Mel, bisa menyuruhku begitu, berarti aku juga bisa menyuruh, Mbak Mel, supaya kasih kesempatan untuk membuka hati kepadaku. Aku pria yang baik kok," kata Bagas, yang memutar pembicaraanku.

"Astaga! Tapi aku gak bisa, Gas!"

"Iya, tapi apa alasannya?"

"Ya alasannya ...."

"Mbak Mel, gak bisa jawab, 'kan?"

"...."

"Gini aja, Mbak! Aku bakalan kasih Laras kesempatan buat pacaran sama aku. Tapi kalau dalam waktu satu tahun aku masih mikirin, Mbak Mel! Aku bakalan putusin dia! Dan Mbak, yang giliran kasih kesempatan aku buat jadian sama, Mbak Mel!" tutur Bagas.

Dia mengajukan perjanjian, dan aku terpaksa mengiyakan permintaan Bagas.

Kerena memang tak ada pilihan lain.

Tapi dalam hatiku selalu berharap, Bagas benar-benar akan jatuh cinta kepada Laras.

Karena dengan begitu maka Bagas tidak akan mengejarku lagi.

Dan selamanya hubungan kami akan menjadi teman.

"Baik aku setuju dengan ucapan kamu, Gas!"

"Bagus, tapi ingat ya, Mbak! Kalau sampai Laras gak bisa buat aku jatuh cinta, maka aku bakalan kejar, Mbak Mel! Dan Mbak Mel, harus kasih kesempatan aku buat jadi pacarnya, Mbak Mel!"

"Iya, Gas! Mau sampai berapa kali sih kamu bakalan ngulangin kata-kata itu!"

"Ok, deal!" Bagas mengajakku bersalaman.

Setelah itu keadaan kembali tenang, tidak seperti tadi. Kami mengobrol seperti biasa.

Tapi tetap saja dalam hatiku ada yang mengganjal. Aku takut kalau Laras, tidak bisa membuat Bagas jatuh cinta.

"Mbak Mel, berangkat jam berapa?" tanya Bagas.

"Nanti sekitar jam tiga," jawabku.

"Kalau begitu hati-hati di jalan ya, Mbak!"

"Iya,"

"Mbak,"

"Iya, ada apa lagi?"

"Liburan, tahun depan apa bakalan datang kesini lagi?"

"Emm ... aku gak tahu juga sih?Kenapa emangnya?"

"Ya enggak? Tapi jujur aku berharap, Mbak Mel, datang lagi," kata Bagas.

Aku mengangguk sambil tersenyum paksa.

Bagas mirip Tukang Teror, dia seakan-akan menerorku dengan kalimatnya yang berbunyi, 'tapi jujur, aku berharap, Mbak Mel, datang lagi,' kata-kata itu terngiang-ngiang di telingaku.

Aku tidak yakin liburan tahun depan aku akan datang kemari. Mungkin aku akan memilih untuk tetap berada di Jakarta dan menghabiskan waktu bersama Jeni dan Elis.

"Mbak, hari ini aku akan mendatangi Laras dan aku akan mulai pacaran sama dia!" tukas Bagas.

"Ok, Gas! Semoga berhasil!" kataku sambil mengacungkan jempol.

"Yah, semoga saja aku bisa move on dari, Mbak Mel, tapi kalau enggak—"

"Stop! Iya, Gas! Aku tahu! Jangan diulangi lagi kata-katanya!" bentakku.

Kemudian Bagas pun pergi meninggalkanku.

Aku melanjutkan pekerjaanku, mengecek kembali barang-barang bawaan supaya tidak ada yang tertinggal.

*****

Sore telah tiba, mobil travel yang akan mengantarku sudah terparkir tepat di depan rumah, koperku juga sudah dimasukkan ke dalam mobil.

"Nenek, Mel, pulang dulu ya," Kucium punggung tangan Nenek.

"Iya, Ndok, hati-hati ya, salam buat orang tua kamu dan Tante Diani," ucapnya.

"Iya," sahutku sambil mengangguk, dan akan beralih mencium tangan Kakek.

"Hati-hati ya, Mel, ini buat bekal di jalan," Kakek memberikan beberapa lembar uang pecahan 100 ribuan kepadaku.

"Ah, gak usah, Kek! Uangnya buat Kakek, sama Nenek, aja!"

"Udah terima aja!" kata Nenek.

Meski aku berusaha menolaknya, tapi Kakek dan Nenek terus memaksa.

Akhirnya aku terima saja, tidak baik menolak rezeki, lagi pula bau uangnya cukup harum hehe ....

Nanti kalau aku sudah bekerja dan bisa menghasilkan uang sendiri, aku akan memberikan sebagian uangnya untuk Kakek dan Nenek.

Tak berselang lama, mobil melaju dan mulai meninggalkan perkampungan nan asri itu.

Rasanya campur aduk, aku mulai jatuh cinta dengan kampung ini, tapi rasanya enggan untuk kembali ke sini lagi. Karena Bagas.

Lagi pula aku juga sudah tak ada harapan lagi di sini. Aku dan Dion sudah putus.

Hanya Kakek dan Nenek, alasan terbesarku untuk datang lagi.

'Semoga tahun depan, Bagas dan Laras, sudah saling mencintai, sehingga aku bisa datang kemari tanpa ada beban janji bersama dengan, Bagas,'

Kupejamkan mata melewati jalanan aspal yang mulai gelap, rintik hujan kecil menyertai perjalananku.

Dion ... aku harap bayangan Dion, sudah terhapus oleh rintik hujan ini.

Bersambung ....