webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
93 Chs

Pria Yang Kemarin

Aku dan Laras sampai terperangai saat si pria membuka masker. Wajah pria itu sangat tampan, hidungnya mancung, 'tapi gak mancung-mancung amat!' Matanya sipit, kulitnya putih, dan mirip Oppa-oppa Korea.

Tapi aku yakin dia bukan orang Korea, melainkan orang lokal keturunan Cina. Yah mungkin Kokoh-kokoh yang sering di toko elektronik itu.

Setelah melihat wajah si pria tadi, Laras mendadak diam. Dan dia tidak marah-marah lagi.

"Mungkin ini yang di sebut, The Power of Good Looking!" sindirku pada Laras.

"Ih, apaan sih, Mbak!" sahut Laras.

Lalu aku berbisik di telinga Laras.

"Ras, ganteng, ya? Muka kamu, sama muka dia kayaknya mirip deh, jangan-jangan kalian jodoh lagi," ledekku pada Laras.

Sebenarya memang agak mirip, matanya sama-sama sipit dan kulitnya sama-sama putih. Mungkin karena mereka yang sama-sama keturunan Chinese.

"Ih, Mbak Mel, apaan sih!"

"Ih, beneran, Ras, kamu pertama ketemu sama dia aja, marah-marah gitu, nanti pasti ujung-ujungnya jadi cinta. Yah ... kayak yang di sinetron-sinetron itu, lo," bicarakan dengan nada pelan.

"Ah, Mbak Mel, kalau ngomong makin ngacok, deh!" bentak Laras.

Dan si pria itu sampai menoleh kearah kami.

"Tuh, kan, dia jadi dengar, kamu sih ngomongnya kenceng-kenceng," bisikku di telinga Laras.

"Ya, habisnya, Mbak Mel, sih ...."

***

Sepulang dari puskesmas kami kembali di antar oleh pria yang belum sempat kami ketahui namanya itu.

Terpaksa dia mengantarkan kami pulang, karena kaki Laras masih berjalan pincang.

Lututnya terpaksa dijahit hingga 5 jahitan, dan sekarang perban warna putih tengah menghiasi area lututnya.

Sesampainya di rumah Laras, si pria itu juga kembali menggendong Laras sampai masuk ke dalam kamar.

Sebenarnya Laras masih sanggup berjalan walau pincang. Akan tetappi pria yang menabraknya itu tetap kekeh untuk menggendongnya.

Dia berkata jika ingin membuktikan kepada Laras, bahwa dia itu pria yang bertanggung jawab, tidak seperti yang telah di tuduhan oleh Laras tadi.

Setelah itu dia juga meminta maaf atas kejadian ini kepada Tante Lena ibunya Laras.

"Maaf, Tante, saya benar-benar gak sengaja tadi. Nanti kalau terjadi apa-apa langsung telepon saya saja ya, ini nomor saya," Pria itu memberikan selembar kertas yang bertuliskan nomornya.

"Iya, saya maafin kamu. Lagian kamu emang gak sengaja kok, dan Tante juga yakin pasti ini gara-gara Laras juga yang pecicilan, makanya sampai jatuh begini!" kata Tante Lena.

Aku kagum dengan pria ini, dia sangat bertanggung jawab.

Kemudian si pria berpamitan kepada Tante Lena.

"Tante, saya pulang dulu, ya!" ujarnya seraya menjabat tangan wanita paruh bayah itu.

"Loh, kok buru-buru?"

"Iya, saya lagi ada urusan!" jawabnya. Kemudian pria itu juga menoleh kearahku.

"Mari, Mbak!" ucapnya.

"Mari, Mas! Sahutku.

***

Esok harinya aku pun kembali mendatangi rumah Laras bersama dengan Bagas.

Kami membelikan buah-buahan sebagai oleh-oleh untuk Laras.

Aku lihat kondisi Laras lumayan membaik. Dia sudah duduk di teras depan sambil menyeruput kopi hitam.

"Eh, Mbak Mel! Bagas! Sini duduk!" ajak Laras.

"Eh, Iya!" sahutku.

Kami duduk di sebelah Laras, kebetulan di teras rumah Laras terdapat beberapa bangku dan meja, yang bisa kami gunakan untuk mengobrol bersama.

"Mau di sini aja, apa mau masuk ke dalam?" tanya Laras.

"Sini aja, Ras! Lebih enak lihat pemandangan!" jawabku.

"Oke! Oke!" Laras manggut-manggut.

"Kalian mau kopi enggak? Kalau mau, biar aku suruh Mama bikinin buat kalian juga?" tanya Laras.

"Emm! Boleh!" jawab Bagas.

"Mbak Mel, mau juga?" tanya Laras kepadaku.

"Enggak mau, Ras! Aku udah minum di rumah," jawabku agak ragu-ragu karena tidak enak menolak tawaran Laras.

Tapi Bagas malah menimbrung pembicaraan kami.

"Mbak Mel, itu gak suka kopi hitam kali, Ras!" ucap Bagas.

"Masa?"

"Eh, suka kok, cuman lagi males aja!" sahutku.

"Eh, kalau gak suka gak apa-apa kok, di rumah ada kok kopi ungu!" ujar Laras.

"Kopi Ungu?" Aku dan Bagas saling memandang.

"Emangnya, ada?" tanyaku dengan wajah polos.

"Haha! Ya, enggaklah!" ujar Laras sambil tertawa.

Rupanya dia hanya bercanda, kemudian Tante Lena pun menimbrung sesaat bersama kami.

"Udah, nanti biar Tante bikinin minuman sepesial buat, Melisa!" ujarnya. "Tante, tahu kok minuman kesukaan, Melisa!"

"Eh, gak usah repot-repot, Tante! Mel beneran udah minum teh tadi di rumah!" ujarku.

"Udah, gak apa-apa!" Tante Lena langsung masuk ke dalam untuk membuatkan minuman.

Kini tinggalah kami bertiga saja, suasana agak hening. Mungkin ini kerena kehadiran Bagas. Padahal kemarin aku dan Laras, sudah mulai biasa saja, bahkan malah sempat lari pagi bersama. Yah ... Walau berujung kecelakaan.

"Gimana, Gas?" tanya Laras yang membuka percakapan.

"Gimana apanya?" sahut Bagas.

"Kamu udah tembak, Mbak Mel, belum?" tanya Laras.

Aku benar-benar langsung syok, karena mendengar ucapan Laras itu. Aku tidak menyangka Laras akan mengatakan hal ini kepada Bagas.

"Eh, kamu nih, Ras! To the poin banget, lagi ada orangnya juga!" ujar Bagas sambil tertawa malu-malu melirikku.

Aku pun juga ikut malu-malu, 'malu-malu tapi mau' dan secara perlahan suasana hening itu seakan memudar, dan berganti dengan bercandaan kami.

Kemudian aku bertanya tentang si pria yang kemarin menabrak Laras.

"Eh, Ras! Terus orang yang kemarin gimana? Dia tanya soal keadaan kamu enggak?" tanyaku pada Laras.

"Dia, nelepon aku, Mbak! Tapi aku gak angkat!" jawab Laras.

"Kenapa? Dia, 'kan ganteng banget?" ujarku dengan wajah polos.

Dan tiba-tiba saja Bagas menyambung obrolanku dengan Laras.

"Ih, apaan sih, Mbak Mel! Kenapa malah bilang cowok lain ganteng? Kan di sini lagi ada aku? Mbak Mel, gak kasihan ya lihat aku yang lagi cemburu ini?" sindir Bagas.

"Ciye ...!" ledek Laras.

"Ih, apaan deh!" sengutku.

Kemudian Laras melanjutkan obrolannya yang membahas tentang si pria kemarin.

"Aku agak merasa aneh sama cowok yang kemarin, Mbak!" ujar Laras.

"Aneh? Aneh kenapa, Ras?"

"Ya aneh, aja! Aku kayak pernah lihat dia, wajahnya terasa gak asing!" ujar Laras.

"Wah, serius? Jangan-jangan—"

"Jangan-jangan apa?" tanya Laras, yang memotong kalimatku.

"Jangan-jangan dia itu emang jodoh kamu, haha!" ledekku lagi seraya tertawa.

"Ih, Mbak Mel! Dari kemarin ngomongin itu mulu, deh!" keluh Laras.

"Emangnya tuh cowok, seganteng apa, sih?" Bagas terlihat penasaran.

Dengan penuh antusias aku menjawabnya.

"Ganteng banget, Gas! Kayak Oppa-oppa Korea gitu, mukanya oriental mirip Laras! Pokoknya kalau di sandingin sama Laras, cocok banget deh!" bicaraku dengan mantap.

"Ih, Mbak Mel mah lebay!" kata Laras dengan bibir mengerucut.

"Terus, kalau, Mbak Melisa, cocoknya sama siapa?" tanya Bagas dengan nada menyindirku.

Laras langsung menyahutinya.

"Ya sama, Bagas, lah!" ujarnya.

"Dih, apaan sih!"

Bersambung ....