webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Teen
Not enough ratings
93 Chs

Betapa Besarnya Cinta Bagas

Sepulangnya dari rumah Laras, Bagas mengajakku mampir di sebuah warung bakso langganannya.

"Mbak Mel, kita mampir di sini dulu, ya?"

"Boleh, kebetulan aku juga lapar," sahutku.

Lalu Bagas mulai memarkirkan motornya.

Kami memasuki warung bakso.

Aku duduk di salah satu bangku pelanggan, dan Bagas tengah memesankan makanan kami.

Kemudian Bagas duduk di sampingku.

"Mbak Mel, capek ya?"

"Lumayan," jawabku. "Di sini, panas bahget, ya?" ujarku seraya mengipas-ngipaskan tangan kearah leher.

Lalu Bagas pun bergegas pergi.

"Eh, Gas! Mau kemana?" tanyaku.

Tapi Bagas tidak menyahuti pertanyaanku. Dan ternyata dia sedang memutar kipas angin agar mengarah tepat ke tubuhku.

'Bagas, so sweet banget,' batinku sambil tersenyum.

Kemudian dia kembali menghampiriku.

"Udah gak panas, 'kan, Mbak?" tanya Bagas.

"Engga, udah adem hehe ...," jawabku. "Thanks, Gas,"

"Iya," Bagas menganggukkan kepalanya. Dan tak lama pesanan kami pun datang.

Seketika aroma kuah bakso yang khas mulai menyapa indra penciumanku.

"Ayo, di makan, Mbak! Jangan malah dilihatin doang," kata Bagas.

"Ok, Gas! Dengan senang hati!" jawabku.

Aku mulai mencicipi kuahnya, sambil kutiup-kutiup sedikit, karena masih panas.

Tapi Bagas malah menyodorkan kepadaku, sebuah garpu yang di atasnya sudah tertancap satu buah bola bakso.

"Ini, Mbak, udah aku tiupin kok," kata Bagas.

"Hmm?" Aku mengerutkan dahiku.

"Ayo, dimakan, kenapa malah melotot?" tanya Bagas.

Lalu aku pun memakan bola bakso itu.

"Gak panas, 'kan?"

"Enggak," jawabku sambil mengunyah baksonya.

Bagas kembali meraih satu bola bakso lagi, untuk diberikan kepadaku, kali ini aku menolaknya.

"Udah, Gas! Aku bisa makan sendiri!" sengutku.

Karena jujur aku risih, apalagi ada banyak orang di sini.

"Emang kenapa sih, Mbak?" protes Bagas.

"Ya aku risih aja, Gas! Ya kali, orang-orang pada ngelihatin kita, tahu! Lagian kamu itu pacar aku atau Mama aku, sih?" bicaraku dengan bibir mengerucut. Dan aku tidak sadar telah mengucapkan satu kalimat yang salah.

"Maaf, bisa diulangi lagi? Tadi ngomong apa, ya?" tanya Bagas dengan nada meledekku.

Dahiku seketika mengerut, kedua mataku membulat. Aku mengingat ulang kalimatku tadi.

Kemudian Bagas langsung mengulaingi kalimatnya.

"Mbak Mel, tadi bilang gini; 'kamu itu pacar aku, atau, Mama aku sih, Gas?' nah kurang lebih begitu, Mbak!" ujar Bagas sambil tertawa.

Aku langsung memegang bibirku secara reflek.

"Ma-ma-sa, sih, aku bilang begitu?!" tanyaku dengan suara yang terbata-bata.

"Udah, gak apa-apa kali, Mbak! Aku malah suka, ini artinya, Mbak Mel, udah benar-benar menganggap aku pacarnya, Mbak Mel!" ujar Bagas penuh percaya diri.

Aku pun menjadi malu.

"Mbak, gimana?"

"Gimana apanya sih, Gas?"

"Ya, gimana, kita udah pacaran, 'kan?"

"Ih, eng—"

"Inget, Mbak Mel, udah janji lo, dan udah satu tahun berlalu!" kata Bagas mengingatkanku.

Dan aku pun tak bisa mengelaknya lagi.

Aku harus menepati janji untuk memberi kesempatan Bagas menjadi pacarku. Lagi pula aku, 'kan juga menyukai Bagas?

Dengan penuh keyakinan hati aku pun menjawab pertanyaan Bagas.

"Iya, Gas!" ujarku.

"Iya? Maksudnya kita beneran pacaran gitu, Mbak?" tanya Bagas dengan penuh antusias, kedua matanya berbinar-binar, dengan wajah merah merona khas orang yang sedang jatuh cinta.

Kemudian aku pun langsung menjawab tegas pertanyaan Bagas.

"Iya, Gas! Kita pacaran mulai dari, sekarang!" tegasku.

"Serius?" Bagas mendadak diam dengan wajah datar, kedua mata yang tadi berbinar-binar kini berubah berkaca-kaca.

"Gas, kamu kenapa?" tanyaku seraya menatap wajah Bagas yang tengah menunduk.

"Kamu ... nangis ya, Gas?" tanyaku. Bagas tidak menyahutinya.

Dan dia benar-benar menagis aku tidak percaya ini.

Setelah bertahun-tahun lamanya aku kembali melihat Bagas yang sedang menangis.

"Bagas, kenapa kamu nangis? Kamu gak malu, sekarang kamu, 'kan udah keren, lo?" tanyaku yang menghawatirkan keadaan Bagas. Mungkin kalimatnya agak kurang tepat, tapi bodo amat lah!

Suasana mendadak hening untuk beberapa detik, hingga akhirnya keluar sebuah kalimat dari mulut Bagas.

"Terima kasih ya, Mbak," ucapnya.

"Kamu bilang 'terima kasih?'"

"Iya,"

"Terima kasih untuk, apa?"

"Ya, terima kasih karena, Mbak Mel, sudah mau menerima saya," kata Bagas.

"Terus, kenapa kamu nangis? Kamu keinget sama, Mellow?" tanyaku.

Bagas langsung menepis tebakanku.

"Aku menangis gara-gara aku terharu, Mbak. Akhirnya aku bisa pacaran sama, Mbak Mel," jawab Bagas.

"Sampai ... segitunya ...?"

Aku benar-benar tak menyangka ternyata perasan Bagas itu begitu besar terhadapku. Baru kali aku melihat seorang laki-laki menangis di hadapanku, hanya karena aku menerima cintanya ....

Yah ... mungkin ini tidak keren bagi kalangan para laki-laki, atau mungkin bagi para perempuan pun juga demikian.

Bagaiamana tidak?

Seorang laki-laki sampai menangis di hadapan seorang wanita hanya kerana cintanya diterima. Tapi bagiku ini sangat keren.

Itu artinya perasaan Bagas terhadapku benar-benar sangat besar.

Aku menyesal mengapa tidak dari dulu menerima perasaan Bagas.

Kenapa aku malah berlarut-larut dalam ketidak pastian hubunganku dengan Dion?

Jelas-jelas lelaki itu hanya mempermainkanku!

"Gas, aku minta maaf ya, kerena dulu aku gak mau terima perasaan, kamu," ucapku pada Bagas.

"Maaf, Mbak. Kalau beb aku tahu, apa alasan, Mbak Mel, terima perasaan aku? Apa ini hanya kerana ingin menepati janji saja?" tanya Bagas.

Aku menggelengkan kepalaku. "Tentu saja tidak!" jawabku dengan tegas. "Aku kali ini menerima kamu dengan tulus, bukan karena ingin menepati janji saja. Tapi karena aku benar-benar udah jatuh cinta sama kamu, Gas!"

"Mbak Mel, beneran jatuh cinta sama, saya?"

"Iya, Gas!"

"Ah ... syukurlah ...." Bagas tersenyum lega.

"Dulu, aku pikir diri ini yang terlalu sok tahu. Dan menganggap Mbak Mel, itu benar-benar jatuh cinta kepadaku. Eh ternyata dugaanku benar! Dan, Mbak Mel, benar-benar jatuh cinta kepadaku!" pungkas Bagas dengan wajah yang sumringah.

"Iya, Gas! Selama ini aku yang munafik, aku terus menyangkal persaan aku sama kamu, tapi ternyata. Semakin aku menyangkal, perasaan cinta aku ke kamu semakin besar," ujarku seraya menundukan kepala.

"Satu tahun ini aku tersiksa, Gas. Aku tersiksa dengan perbuatanku sendiri," ucapku. "Aku, terlalu munafik!"

Bagas pun tersenyum lalu dia mengusap bahuku.

"Yang terpenting, sekarang Mbak Mel, udah jadi milikku. Aku bakalan buat Mbak Mel, terus tersenyum, dan aku janji gak bakalan buat Mbak Mel bersedih karena tingkahku ini," ujar Bagas.

Saat menangis tadi, dia terkesan kekanak-kanakan, tapi setelah berbicara seperti ini, Bagas terlihat sangat dewasa. Dan aku bangga memiliki kekasih seperti, Bagas.

To be continued