webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
93 Chs

Pertunangan Jeni

Akhirnya Mama tahu jika aku dan Bagas berpacaran.

Betapa bahagianya Mama sampai jingkrak-jingkrak tak karuan saking senangnya mendengar berita itu.

Memang sejak lama, Mama menjdoh-jodohkan aku dengan Bagas, dan sekarang tersampaikan juga.

"Hah! Senangnya, akhirnya aku punya calon mantu ganteng, keren, baik, dewasa! Astaga ... senenganya!" kata Mama.

"Eh, kira-kira kita bakalan ngerayain ini enggak, sih?" tanya Mama kepada aku dan yang lainnya.

Sementara aku, Elis, dan Jeni, hanya terdiam dengan kompak.

Bukanya menjawab pertanyaan Mama, kami malah bengong menyaksikan tingkah Mama yang heboh sendiri.

"Ih, kok kalian pada diem, sih?" tanya Mama keplpada kami, Elis dan Jeni menanggapinya dengan senyuman paksa.

Setelah itu Mama berjalan mendekatiku.

"Mel, pkoknya Mama gak mau tahu, kamu sama Bagas gak boleh putus ya, Mel!" ujar Mama dengan suara mengintimidasi.

"Tuh, dengerin, Mel," bisik Jeni.

"Iya, Mel! Gak boleh ngelawan orang tua," imbuh Elis.

Aku hanya mengangguk dengan senyuman paksa.

Entah mengapa momen bahagiaku bersama Bagas seperti memiliki beban tersendiri.

***

Pagi ini aku sudah kembali ke sekolah seperti biasa.

Bedanya aku sekarang sudah menjadi senior di sekolah ini.

Ya, aku sudah kelas 3 SMA.

Tak terasa dua tahun begitu cepat.

Masih ingat betul saat aku di hukum bersama Dion ketika MOS dulu. Kenangan itu terasa indah, namun semakin aku membayangkan, aku semakin teringat perasaanku yang dulu terluka parah.

Sukurlah ... hatiku sudah membaik, aku sanggup melupakan sesuatu yang indah namun menyakitkan itu.

Sekarang aku juga sudah mendapatkan kebahagiaan yang lebih indah.

Bagas, ya ... dia oranganya. Sosok pria yang membuat hariku selalu ceria. Walaupun jarak memisahkan aku dan Bagas, tetapi ... Bagas seperti ada di sisiku.

Selama aku berada di Jakarta, dia rutin menanyakan kabar tentangku. Hampir setiap hari dia menelponku. Dan tak pernah ada kata bosan bagiku, setiap mendengar celotehan Bagas yang membuatku tertawa.

Setiap malam sebelum tidur, kami mengobrol walau hanya sebentar.

Setidaknya saling mendengar dan menatap wajah di depan layar ponsel, mampu mengurangi rasa rindu ini. Yah ... walaupun terkadang ada gangguan jaringan buruk yang membuat obrolan kami menjadi tersendat.

Entah sampai kapan cinta ini akan bertahan, namun yang aku harapkan, selamanya ....

*****

"Mel, pulang sekolah ke rumahku, yuk!" ajak Jeni.

"Aku, gak diajak?" tanya Elis.

"Iya, El! Kamu juga!" jawab Jeni.

"Ngomong-ngomong, ada acara apaan, sih? Tumben kamu nagjakin kita ke rumah?" tanyaku pada Jeni.

"Lagi ada acara keluarga aja," jawab Jeni.

"Acara keluarga?" tanyaku, "acara keluarga kamu kok ngajakin, kita?"

"Iya ... gak apa-apa, kan biar rame, kalian itu udah aku anggap keluarga!" jawab Jeni, tetapi setelah itu Jeni menundukkan kepalanya. Entah mengapa wajah gadis itu mendadak murung.

"Pokonya, kalian dateng aja, deh!" ujarnya lagi.

Aku dan Elis saling memandang, karena merasa heran dan tidak tahu dengan apa yang tengah Jeni rasakan saat ini. Dia terlihat aneh dan tidak seperti biasanya.

Daripada aku merasa penasaran memikirkan Jeni, akhinya aku pun memberanikan diri untuk bertanya.

"Jen, sebenar ada apa, sih?" tanyaku pada Jeni.

"Enggak ada apa-apa, kok," jawab Jeni.

"Serius?" Aku bertanya dengan wajah mengintimidasi, "kamu lagi ada masalah, ya?"

"Kamu, kenapa sih, Mel?" Jeni mencoba menyangkal, "aku mah gak ada masalah, kok,"

"Bohong! Keliatan kali, Jen!" tuduhku pada Jeni.

"Dih, kenapa sih nanya, begitu? Kayak lagi ngintrogasi teroris, aja!" protes Jeni.

"Yah, habisnya kamu main rahasia-rahasiaan sih, Jen!" ujarku.

Lalu Elis pun juga menimbrung obrolanku dan Jeni.

"Iya, Jen, elu keliatan berbeda banget, kayak lagi ada beban pikiran gitu," ujar Elis.

"Huft ...." Jeni mendengus kesal, mulutnya mengerucut.

"Ayo cerita sama kita!" suruh Elis.

"Iya, buruan cerita! Kamu gak mau berbagi cerita sama kita?" ujarku.

Elis memegang wajah Jeni dengan kedua tangan, lalu dia memaksa Jeni menatap wajahnya.

"Kita, 'kan teman, Jen? Kalau ada masalah jangan dipikirin sendiri, dong!" kata Elis dengan raut wajah memaksa.

"Uh, kalian ini, maksa deh ...." Jeni tampak keberatan.

Namun akhirnya Jeni pun mau bercerita kepada aku dan Elis.

Ternyata wajah murungnya hari ini karena dia sedang memikirkan nasibnya nanti.

Sebenarya dia mengundangku dan Elis, di acara keluargamya ini bukan acara keluarga biasa. Melainkan acara pertunangan Jeni dan seorang pria.

Jeni dijodohkan dengan seorang pria anak dari sahabat karib sang Ayah.

Ini terdengar tidak adil memang, karena Jeni yang belum siap menikah, tetapi malah dipaksa harus bertunangan dengan orang yang tidak ia kenal.

Yah, walaupun pernikahan mereka baru akan di laksanakan beberapa tahun lagi. Namun tetap saja ... hal ini membuat Jeni merasa terbebani.

Dan ini terasa berat bagi Jeni, dia itu belum pernah merasakan pacaran. Dan sekarang tiba-tiba saja dia akan bertunangan.

Di tambah lagi, Jeni belum pernah bertemu dengan pria itu.

Tentu saja Jeni merasa was-was apa bila ternyata si pria yang dijodohkan itu tidak sesuai dengan kriterianya.

Jeni mengundang aku dan Elis, atas persetujuan orang tuanya.

Awalnya mereka hanya ingin mengadakan acara pertunangan ini antar keluarga saja.

Tetapi Jeni menolak, dan dia ingin agar aku dan Elis ikut datang sebagai saksi.

Jeni tahu jika kami ini para sahabat yang sangat peka, apabila si pria yang dijodohkan itu kurang baik di mata kami, maka kami wajib memberitahu Jeni untuk lebih berhati-hati, atau bila perlu membatalkan pertunangan ini.

Orang tua Jeni setuju, dan kami boleh datang ke acara itu, yang terpenting kami tidak boleh membuat keributan di acara nanti.

Dan kalau pun benar Jeni tetap tidak menyukai pria itu, dia tetap harus mau bertunangan. Dan menjalin hubungan selama beberapa tahun, jika Jeni jatuh cinta hubungan akan dilanjutkan ke jenjang pernikahan, tetapi kalau Jeni tidak jatuh cinta, maka pernikahan mereka akan di batalkan.

Menurutku ini sangat rumit, dan tentunya sangat memberatkan Jeni. Apa lagi di jaman se—modern ini mereka masih saja mengadakan perjodohan.

Tetapi aku tidak bisa menyalahkan mereka, mungkin kedua orang tua Jeni itu memiliki maksud baik di balik perjodohan ini.

Sehingga aku dan Elis hanya bisa berdoa, supaya pria yang dijodohkan untuk Jeni ini pria baik-baik.

Syukur-syukur ganteng, karena Jeni gampang meleleh saat melihat wajah ganteng.

***

Siang sepulang sekolah aku dan Elis pulang ke rumah masing-masing hanya sebentar, dan setelah berganti pakaian kami langsung bergegas ke rumah Jeni.

Kurang lebih pukul 4 sore kami berkumpul di sana.

Dan keadaan rumah Jeni juga tidak terlalu ramai, hanya kami dan beberapa saudara dari orang tua Jeni.

Semua makanan sudah tertata rapi, untuk menyambut keluarga dari Calon Tunangan Jeni.

Kami semua berkumpul dan duduk di sofa ruang tamu.

Beberapa saat kemudian orang yang kami tunggu-tunggu pun sampai.

Seorang pria kumisan dengan rambut kelimis belah tengah menghampiri kami. Dan dia datang bersama pria dan wanita paruh bayah di sampingnya.

Aku rasa pria dan wanita itu adalah orang tua dari, si pria berambut klimis belah tengah, yang saat ini tengah tersenyum dengan gigi ompongnya.

Aku dan Elis seketika mengusap-usap bagian pundak Jeni.

Aku yakin saat hati Jeni benar-benar hancur.

Bersambung ....