webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Teen
Not enough ratings
93 Chs

Resmi Berpacaran

Aku sudah membawa koperku keluar rumah. Mama dan Papa sedang menata barang-barangnya ke dalam mobil.

"Pa, tolong bantu masukin, ya," pintaku pada Papa.

"Ok," jawab Papa.

"Kita langsung pulang sekarang, Pa?" tanya Mama.

"Nanti aja, Ma. Tunggu sampai adzan ashar, sekalian kita sholat dulu, baru deh kita berangkat," jawab Papa.

"Yaudah, kalau begitu, Mel, ke belakang dulu ya, Ma!" ujarku.

"Iya deh," jawab Mama.

Aku pun bergegas di bawa pohon talok favoritku, aku sedang menunggu Bagas keluarga dari rumah. Rasanya agak canggung kalau aku langsung masuk ke dalam rumahnya Bagas lalu berpamitan.

"Bagas, kemana sih? Apa aku langsung ke rumahnya, aja?" gumamku seraya memandangi rumah Bagas. Tetapi sejujurnya aku malu untuk datang ke sana.

Tak lama ponselku bergetar sebuah pesan masuk dari Bagas.

[Mbak Mel, jadi pulang sekarang?] tulis Bagas dalam pesan itu.

Kedua ibu jariku bergerak secara lincah, membalas pesanmu Whatsapp dari Bagas.

[Iya, Gas! Tapi tunggu sampai habis shalat ashar," tulisku.

Kemudian ceklis dua abu-abu itu berubah menjadi biru, artinya Bagas sudah membacanya.

Dan tak lama Bagas muncul dari rumah.

"Mbak Mel!" panggilnya.

"Hei, Gas! Sini!" Aku melambaikan tangan kearahnya.

Kemudian kamu duduk di kursi kayu.

"Gas, aku punya sesuatu buat kamu,"

"Apaan tuh, Mbak? Aku mau di kasih kiss lagi?" tanya Bagas dengan polosnya.

"Ih, kamu mah!" Aku menepuk pundak Bagas dengan bibir mengerucut.

"La, terus apaan, dong?"

"Kamu tunggu di sini ya, Gas!" Aku pun langsung masuk ke dalam rumah.

Bagas masih menungguku dengan raut wajah yang penasaran.

Beberapa saat kemudian aku keluar, dengan membawa satu kanrdus kecil, yang di dalam ada seekor anak kucing.

"Ini, buat kamu," ujarku seraya menyodorkan kardus itu.

"Apa ini, Mbak?" tanya Bagas.

"Buka dong!" suruhku.

"Gak mau ah, nanti isinya bom, lagi!" ujar Bagas sambil tertawa.

"Hem ... Bagas!" Kedua mataku melotot tajam kearahnya.

Dan Bagas pun segera membukanya. Dia tampak kaget saat mendapati ada seekor kucing kecil berwarna putih menyapanya dengan polos.

"Kucing?" Bagas tersenyum. Mungkin dia takjub dengan keimutan kucing itu. Yah kurang lebih imutnya mirip, aku lah ... hehe ....

"Wah, lucunya? Kayak aku, ya?" kata Bagas dengan kedua mata berbinar-berbinar.

"Ini, aku baru adopsi dia dari teman Mama," ujarku. "Dan, aku pengen kamu yang merawatnya, Gas,"

"Tapi, apa alasannya, Mbak? Kenapa gak, Mbak Mel, aja yang ngurus dia?"

"Gak bisa, Gas! Mamaku alergi bulu kucing, lagian aku takut lupa gak kasih dia makan. Kan itu bahaya bisa mati tu kucing!" ujarku

"Kalau begitu kenapa, Mbak Mel, adopsi kucing?"

"Yang karena aku ingat sama kamu, Gas! Semenjak Mellow meninggal, kamu jadi galau, kan?"

"Ya, pas masih baru-baru sih, emang galau ... tapi sekarang udah enggak kok," jawab Bagas

"Yaudah kalau begitu, kamu rawat kucing ini ya, Gas! Anggap dia sebagai anak angkat kamu,"

"Tarus, mulai dari sekarang dia panggil aku siapa?" tanya Bagas.

"Ya, 'Papa' lah!" jawabku.

"Berarti panggil, Mbak Mel, 'Mama' dong?"

"Em ...." Aku menggaruk-garuk kepalaku sendiri, padahal sama sekali tidak gatal, tetapi hanya reflek karena salah tingkah.

"Oke, deh!" jawabku sambil tersenyum.

Bagas juga tersenyum, menanggapinya.

"Kita udah resmi jadi orang tua dia, itu artinya kita harus kasih nama dia!" kata Bagas.

"Ya, pastinya dong, Gas!" sahutku.

"Terus kita kasih nama siapa dong, Mbak?".

"Siapa ... ya?" Aku dan Bagas mulai memutar otak untuk mencari nama yang pas.

"Moci?" cetus Bagas.

"Moci? Ah ... jangan deh, banyak kucing yang namanya Moci, itu bukanya nama pasaran, ya?" tanggapku.

"Gitu ya?" Bagas manggut-manggut.

"Berhubung dia lekaki, gimana kalau namanya, 'Miko?'"

"Ah, itu juga nama pasaran, Gas! Banyak kucing yang namanya 'Miko' kucing teman aku namanya juga itu soalnya!"

"Terus siapa, dong? Masa iya, mau kita kasih nama 'Saipul?'" kata Bagas yang mulai bingung.

"'Saipul' boleh juga!" kataku sambil menahan tawa.

"Hah! Serius?!" Bagas malah syok mendengarnya.

"Jangan, 'Saipul' deh!" ujarku.

"Tadi katanya 'iya' gimana sih, Mbak Mel?"

"Haha! Bercanda, Gas!"

"Yaudah, terus siapa, dong?" Bagas mulai tak sabar.

"Kalau 'Bagus' aja bagaimana?"

"'Bagus?'"

"Iya! Kamu, 'kan 'Bagas' dan dia 'Bagus' jadi kelihatan kompak deh!" Jelasku, dan Bagas pun tampak setuju.

"Yaudah, deh! Deal! Namanya, 'Bagus!'" ucap Bagas. Kami pun bersalaman sebagai tanda peresmian.

Kami menamai kucing itu dengan nama 'Bagus' kali ini kucingnya memiliki nama yang hampir sama dengan namanya Bagas. Kalau kucing yang dulu memiliki nama yang hampir sama dengan namaku.

Memang terdengar konyol, tetapi aku senang, kini Bagas memiliki teman baru.

Dia sosok pria yang sangat manis yang pernah aku temui.

Dari segi penampilan dia terlihat maco dan sangar. Tetapi dari segi hati dia terlihat sangat baik, dan lembut.

'Dengan binatang saja dia sayang, apalagi dengan manusia?'

Ini salah satu alasanku merasa beruntung memiliki Bagas.

Aku memang tidak tahu akan takdir di masa depan, dan aku juga tidak tahu kapan hati akan berubah. Tetapi jauh dari lubuk hatiku yang terdalam ... aku hanya ingin Bagas saja yang menjadi cinta terakhirku.

Aku sudah tidak mau jatuh cinta lagi pada seseorang ... menurutku itu berat, aku malas harus beradaptasi dengan orang baru.

Dan tak lama adzan ashar pun mulai berkumandang, aku bergegas masuk ke dalam rumah, untuk mengikuti shalat ashar berjamaah dengan Papa dan Mama. Sedangkan Bagas juga mesuk ke dalam rumahnya untuk melakukan shalat berjamaah bersama sang Nenek.

***

Usai shalat, kami memulai perjalanan pulang ke Jakarta.

Aku duduk di bangku belakang, sementara Papa dan Mama duduk di bangku depan. Papa yang mengemudi mobilnya.

Tiba-tiba ponselku bergetar, aku langsung membacanya.

Bagas mengirimkan pesan kepadaku.

[Hati-hati di jalan, Mbak. Sampai ketemu di lain waktu,] tulisnya aku pun tersenyum membacanya. Baru ibu jari ini hendak mengetik sesuatu, tetapi Bagas malah kembali mengirimkan pesan lagi.

[Jangan khawatir, Mbak. Aku bakalan jagain 'Bagus' dengan baik, dan aku akan pastikan, begitu Mbak Mel, datang ke sini lagi ... 'Bagus' sudah menjadi kucing besar yang baik hati, dan ganteng, ya ... kurang lebih mirip papanya.] tulisnya. Dan ponsel bergetar lagi.

[Mbak Mel, juga jangan khawatir soal perasaanku, karena sama sekali tidak akan berubah. Aku juga tidak akan seperti Dion, dan aku akan tetap menjadi orang yang sama. Yang selalu mencintai Mbak Mel, sampai kapanpun?] senyumanku terus mengembang, kedua mataku berbinar-berbinar.

Aku malah terharu membaca pesan-pesan yang ditulis oleh Bagas.

Ini perpisahan yang terasa indah bagiku, justeru aku malah merasa tak berpisah, karena Bagas itu seperti nyata bagiku. Aku tak ingin membandingkannya dengan Dion, tapi keduanya memang jauh berbeda.

Dion si lelaki yang pengecut, dan aku membencinya. Perasaan tulusku malah ia sepelekan.

Entah bagiamana kabarnya?

Mungkin dia sekarang sedang bekerja? Atau mungkin dia sekarang sudah resmi menjadi kekasihnya Nadiria?

Yah ... aku sudah tidak peduli, sekarang sakit hatiku sudah terobati oleh kehadiran Bagas.

Dan berkat Bagas pula aku benar-benar bisa lupa kalau aku pernah jatuh cinta kepada Dion.

***

Pagi hari yang cerah masih dalam suasana libur sekolah, dua hari lagi aku akan bersekolah aktif.

Hari ini seperti biasa, aku akan bermalas-malasan di kamar.

Tak lama Mama mengetuk pintu kamarku.

"Mel! Teman-teman kamu pada ke sini, tuh!" ujar Mama.

Masih menggunakan piyama tidur dan sendal kamar serta rambut awut-awutan aku pun keluar.

Tampak di ruang tamu ada Jeni dan Elis yang sedang asyik bermain ponsel.

Mereka sedang menonton vidio joget viral di aplikasi Tiktok.

"Eh, Mel!" Jeni menoleh kearahku dan langsung menyapa.

"Wah, Mel! Udah keluar!" kata Elis sambil tersenyum. "Udah kelar hibernasinya?" tanya Elis dengan nada bercanda.

"Ih, apaan sih, emangnya aku, Tupai?" sengutku.

"Ih, roman-romannya belum mandi, nih?" ledek Jeni.

"Yoi, masih bau iler, nih?" imbuh Elis.

"Ah, kalian nih!" Aku duduk sambil cemberut. "Ngapain sih, datang kemari pagi-pagi begini? Aku, 'kan masih ngantuk!" ujarku dengan bibir mengerucut.

"Pagi dari Hongkong?!" kata Elis, "ini udah jam 12 siang kali, Mel!" tegas Elis.

"Ih, masa sih?" Aku melirik jam di atas dinding dan ternyata benar kata Elis sudah jam 12 siang.

"Kamu pulang dari kampung kapan sih, Mel? Kok kelihatan masih capek gitu?" tanya Jeni.

"Udah dari kemarin pagi, sih," jawabku santai.

"Kirain, baru nyampek! Makanya lemes begini," ujar Elis.

"Ye, gue mah kalau abis perjalan jauh istirahatnya minimal 3 hari kali, El!"

"Dih! Kayak kamu yang mengemudi mobil aja, sampek sebegitu capek! Padahal mah, palingan juga tidur sepanjang perjalanan!" cerca Elis.

"Ih, sotoi!" sangkalku, padahal memang iya opps ...!

"Eh, Mel! Gimana kelanjutan hubungan kamu sama, Bagas? Kalian sering bertemu, 'kan di sana?" tanya Jeni.

"Iya, aku jadi kepo deh!" imbuh Elis.

Aku menghela nafas sesaat, dan dengan gaya bicara yang menurutku sangat keren ini, aku menjawab pertanyaan mereka.

"Gue sama Bagas, udah jadian!"

"APA?!" Seketika Elis dan Jeni pun berteriak kompak.

"Kamu udah jadian sama, Bagas?!" tanya Jeni yang masih tak percaya.

Dan tepat di belakangku, tiba-tiba Mama muncul dan berteriak dengan heboh.

"MELISA, JADIAN SAMA, BAGAS?!" tanya Mama.

Bersambung ....