webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
93 Chs

Ocehan Tante Diani

Tante Diani mengocehiku tanpa henti.

Rasanya aku ingin menutup telinga di depannya, tapi kalau seperti itu terkesan tidak sopan ... nanti yang ada Tante semakin marah saja kepadaku.

"Ayo jawab, Mel! Kamu itu pasti baru saja berbuat yang tidak-tidak sama, Dion ya? Buktinya baju kamu sampai kotor begitu, rambut kamu juga lepek awut-awutan! Kamu habis main di semak-semak ya? Ayo ngaku!?" cecarnya benar-benar tanpa dasar.

Tante Diani sampai meraih sendalnya dan hendak melemparkanya kearahku, tapi Nenek memergokinya.

"Diani! Kamu ngapain mau lempar Melisa, pakai sendal?!" tanya Nenek.

"Itu, Bu! Mel, pulang telat dan lihat pakaiannya juga kotor banget! Jangan-jangan dia itu habis—"

"Enggak!" teriakku kencang memotong pembicaraan Tante Diani. Habisnya aku sangat kesal dibilang habis berbuat yang tidak-tidak olehnya. Aku ini baru terkena musibah karna jatuh, dan kakiku pun juga masih terasa nyeri. Tapi Tante malah mengocehku tanpa ampun.

"Tante! Jangan asal nuduh dong! Mel, itu kotor begini karna habis terjatuh, Mel hampir gak bisa pulang tadi kalau gak dianterin sama orang! Kaki Mel, sakit!" jelasku penuh emosi.

"Jangan bohong, Mel!" sahut Tante sambi melirik sinis.

Berbeda dengan Tante Diani, Nenek malah dengan sabar menghampiriku, tak ada raut marah sedikit pun kepadaku.

"Kekinya masih sakit? Boleh Nenek, lihat?" tanya Nenek.

"Iya, Nek," jawabku.

Nenek mengecek bagian kakiku, wanita tua itu percaya dengan ucapanku, karna memang ada sedikit luka lebam dan goresan di bagian kaki.

"Ya sudah, ayo masuk," ajak Nenek. Beliau menuntunku pelan-pelan, sementara Tante Diani hanya melihat saja. Dia nampaknya mulai merasa bersalah karna sudah mengocehku tanpa dasar.

"Yaudah, Nenek, antarkan kamu ke kamar mandi,"

***

Selesai mandi dan berganti pakaian yang lebih bersih, Nenek menyuruh duduk dan mengajakku berbicara, disaksikan oleh Tante Diani juga.

"Kamu sekarang cerita sama Nenek, kamu habis ngapain aja, kenapa kaki kamu sampai keseleo begitu?" tanya Nenek.

Lalu aku pun menceritakan semuanya dengan detail kepada Nenek. Termasuk motor Dion yang mogok hingga aku pulang sendirian dan terjatuh. Aku juga menceritakan tentang pria yang baru saja menolongku itu.

Tante Diani masih juga tak menyerah, dia kembali menyalahkanku.

ya ... apalah dayaku yang hanya butiran debu ini, selalu saja di salahkan.

"Lagian, kamu itu kenapa diam aja sih, Mel! Makanya cerita dong! Biar Tante, gak salah paham begini!" oceh Tante Diani.

Untuk kali ini aku tidak mau tinggal diam, aku harus menjawab ocehan Tante. Aku juga mulai terpancing emosi.

"Mel, itu bukannya gak mau menjelaskan! Tapi Tante, aja dari tadi malah nyerocos sampai gak mau kasih kesempatan Mel buat bicara!" ocehku.

Tapi namanya juga Tante Diani, Dia itu tidak mau kalah, dia tetap saja menyalahkanku.

"Ah, itu alasan kamu aja, Mel" ujarnya sambil memalingkan wajahnya dengan sinis. Benar-benar menyebalkan. Tapi aku tidak bisa marah, karna biar pun menyebalkan dia itu Tante yang sangat pengertian, terutama soal uang jajan. Tante Diani selalu menjatahku uang jajan setiap baru gajihan dari kantor tempatnya bekerja. Itu di luar uang jajan pemberian dari orang tuaku. Sehingga aku tak ada kuasa untuk marah kepadanya, biar bagaiman pun dia itu Tante-ku, dan uang jajan pemberianya juga terasa legit, he he...,

"Diani, udah dong! Kamu itu jangan nyalahin keponakan kamu terus, kasihan dia kakinya lagi sakit itu," ujar Nenek. Beliau seperti Dewi Penyelamat bagiku, Karna sejak tadi beliau selalu membelaku.

"Nenek, panggilkan Tukang pijit ya?" tanya Nenek.

"Sakit enggak, Nek?" Aku pun mulai takut, kalau kakiku malah bertambah sakit.

"Sakit sekdikit, habis itu sembuh," ujar Nenek menyemangatiku.

"Beneran, Nek?"

"Ya beneran dong! Lagian kalau kaki kamu gak diurut yang ada sakitnya gak bakalan sembuh, Mel!"

"Ah gitu ya, Nek," Akhir aku pun pasrah, Nenek memanggilkan Tukang Urut langganannya.

Dan tak berselang lama Tukang Urut itu pun datang ke rumah.

Rupanya wanita tua sepantaran dengan Nenek ini tinggal bersebalahan dengan rumah Nenek.

"Coba tak lihat dulu, Cah Ayu," ucap wanita itu. Beliau menyuruhku duduk, lalu memeriksa kakiku terutama di bagian lutut dan engkel yang benar-benar terasa nyeri.

"Akh!"

Baru memegang saja aku sudah berteriak, saking aku sudah terlanjur paranoid.

"Ndok, Mbok, 'kan belum mijit? Baru juga nyentuh," ucap wanita tua itu.

Seketika aku terdiam mematung dengan perasaan yang menahan malu, kulirik Tante Diani dan Nenek sedang menertawakanku.

"Santai aja, Ndok, jangan tegang, jadi Mbok biar gampang nyari uratnya yang kecetit," ujarnya.

Aku berusaha menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Aku mulai tenang, "Mbok, boleh enggak kalau saya sambil tiduran?" tanyaku.

Si wanita tua itu mengangguk, "Iya boleh, Ndok" ucapnya.

Aku merebahkan tubuhku di atas kasur, dan si Tukang Pijit mulai mendekatiku, aku memajamkan mata supaya lebih rilex, karna memang aku juga sedang mengantuk berat. Tidur di atas gendongan pemuda yang tak kukenal tadi masih kurang bagiku.

Pijitan itu terasa sedikit sakit, tapi lumayan nyaman juga, sepertinya aku bisa tertidur.

Namun 10 menit kemudian.

Beletak!

Keretek!

Kretek!

"UWAAAA! SAKTI!" teriakku dengan nada sopran meleking.

Ya, Gusti! aku kena preng, ternyata rasa nyaman itu hanya permulaan, dan tulang-tulangku serasa copot satu-persatu saat dia menarik lutut dan dilanjutkan dengan enkel serta turun di jari-jari kaki.

Ah mantap...! Benar-benar Subhanallah, aku sampai menangis saking tak tahan dengan rasa sakit ini.

"Yu Sugiyem, nanti tolong dibaluri beras kencur ya?" pesan Tukang Urut itu kepada Nenek.

"Iya, Yu!" jawab Nenek.

Dan tak lama Tante Diani menghampiriku.

"Gimana, Mel? Masih sakit?" tanya Tante.

"Udah mendingan sih, Tante, tapi kadang masih ngilu-ngiku gitu," jawabku sambil pringisan.

"Memang gak langsung sembuh sih, butuh proses," jawab Tante.

"Kira-kira berapa lama ya, Tante?"

"Ya paling sekitar 2 tahun!" jawab Tante Diani menakut-nakutiku.

Aku sampai syok mendengarnya.

"2 tahun!?" teriakku.

Tante Diani menertawakanku dengan puas karna telah mempercayai ucapannya yang omong kosong.

Lagi pula mana mungkin hanya keseleo saja sampai membutuhkan waktu penyembuhan 2 tahun, Tante ini benar-benar iseng! Dan bodohnya aku malah mempercayainya, huft ....

"Haha! Percaya aja lagi haha!" ujar Tante Diani dengan tertawa lantang. Tapi tertawaan itu langsung terhenti saat tangan keriput Nenek Sugiyem mendarat dan menjewer telinganya.

"Kebiasaan, udah tua masih juga suka iseng," bisik Nenek dengan suara mengintimidasi.

'Syukurin!' bicaraku puas di dalam hati. Mbok Irah si Tukang urut juga menertawakan Tante.

Tak lama terdengar seorang anak laki-laki menyuruh Mbok Irah pulang, dan ternyata dia adalah si Pria Tanpa Nama yang membantukh tadi.

Dan yang semakin membuatku syok, ternyata dia itu cucunya, Mbok Irah, si Tukang Urut.

Bersambung....