webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Teen
Not enough ratings
93 Chs

Mel

Suara gending Jawa khas pedesaan terdengar begitu indah, nyanyian merdu seorang sinden membuatku merasa nyaman berada di sini.

Kulihat Kakek dan Nenek tengah duduk santai sembari meneguk secangkir teh manis. Mereka masih asyik mengobrol, sementara aku duduk agak menjauh sambil melamun. Aku masih memikirkan kejadian kemarin. Rupanya pria yang telah menolongku itu adalah anak dari si Tukang Urut, samping rumah Nenek. Dan lagi-lagi aku masih belum tahu siapa namanya.

"Hey, Mel! Sini!" Nenek melambaikan tangan kearahku, "kamu ngapain sih, sendirian di situ? Nanti kalau kesambet bagaimana?" ujar Nenek.

Aku pun berjalan mendekati beliau.

Tak lama Tante Diani, juga datang menghampiriku.

"Mel, kaki kamu gimana? Masih sakit? Bengkak enggak?" tanya Tante secara beruntun.

"Ya udah mendingan sih, Tante, gak sampai bengkak, Mel juga udah bisa jalan," jawabku.

"Owh, syukur deh," Tante mengangguk lega, "kamu mau kerumah Dion lagi?" tanya Tante.

"Gak tau nih, Tante. Mel cepek, lagi pengen santai di rumah aja," jawabku dengan raut yang malas.

"Yasudah istirahat aja, gak usah kemana-mana!" ujar Tante.

Beberapa saat kemudian terdengar seseorang mengetuk pintu.

"Assalamuallaikum!"

"Walaikumsalam!" jawab Nenek sembari membukkan pintunya.

"Wah ada, Cah Ganteng, rupanya! Ayo masuk!"

Seketika aku tersentak, saat mengetahui jika tamu itu adalah Dion.

"Mel," Dia memanggilku pelan.

"Eh, Dion! kok kamu kesini?"

"Loh, emangnya aku gak boleh main kesini?" Dion mengernyitkan dahinya.

"Eh, bukanya begitu, tapi Ibu kamu sama siapa?"

"Ibu, tadi lagi ditemani sama tetangga, aku kesini juga karna Ibu yang nyuruh. Katanya aku suruh main kesini sebelum kamu pulang ke Jakarta," jelas Dion.

"Oh, begitu?"

"Yasudah sini ngobrol sama, Mel! Nenek, dan Kakek, biar menyingkir," ucap Nenek meledekku.

"Ih, Nenek, kenapa malah pergi sih?" keluhku sambil cemberut.

"Tante, juga pergi ah!" imbuh Tante Diani.

"Yah, kok pada pergi ...." Ucapku sambil cemberut.

"Udah, biarin aja, mereka itu orang-orang yang sangat mengertian, makanya gak mau ganggu kita," ucap Dion sambil tersenyum menggodaku.

Ah iya juga, benar apa yang dikatakan oleh Dion. Mereka itu tidak mau mengganggu kami, lagi pula kalau mereka di sini pasti kami akan merasa canggung. Kami tidak bisa berbicara dengan bebas, dan tentunya Dion tidak akan mengucapkan gombalan-gonbalannya.

Kurang lebih satu jam sudah kami mengbrol di ruang tamu. lni adalah waktu yang sangat berharga bagi kami. Dan tak berselang lama Dion pun berpamitan, karna dia harus mengantarkan ibunya kontrol ke rumah sakit.

Sebelum pulang Dion memberikan sesuatu untukku.

"Mel, ini buat kamu," Ucap Dion.

"Apa ini?"

"Buka aja," jawabnya.

"Cincin? Kenapa kamu ngasih aku cincin? Kamu, 'kan lagi butuh banyak uang untuk berobat Bu Ningrum?" tanyaku secara beruntun, tanpa ada jeda.

"Itu, cincin punya Ibu-ku, Mel. Beliau ingin agar kamu menyimpannya," jelas Dion sambil tersenyum.

Aku terdiam mematung aku tidak tahu harus senang atau sedih, Bu Ningrum sangat menyukaiku, tapi sayangnya aku tidak yakin jika umur beliau masih panjang. Bukanya aku sok tahu karna takdir dan kematian itu rahasia Ilahi, hanya saja aku merasa jika, Bu Ningrum sudah tampak lelah.

"Terima kasih, Dion. Dan salam buat Ibu kamu," ucapku.

Dion mengangguk sambil tersenyum. Dia mengusap rambutku sambil mengecup keningku sesaat, kemudian beranjak pulang.

***

Matahari sudah berada tepat di atas kepalaku. Tante Diani mulai masuk ke kamarnya untuk tidur siang. Sementara Nenek dan Kakek sedang pergi kondangan ke kampung sebelah.

Aku mulai bosan ....

Mengusir rasa bosanku, kini aku berjalan mengitari halaman rumah. Ternyata teriknya mentari tak berlaku jika kita berada di bawah pohon rindang, rasanya begitu sejuk dan nyaman.

Subhanallah ... ternyata berada di perdesaan yang masih asri itu memiliki nikmat tersendiri.

Aku duduk di bawah pohon ceri, atau pohon talok orang sini menyebutkan. Kulihat juga ada sebuah ayunan di sebelahku.

Aku teringat dengan sesuatu yang sudah lampau, dulu ada sepasang anak laki-laki dan permpuan tengah bemain ayunan di sini.

Anak perempuan itu adalah aku.

Dan yang laki-laki adalah temanku. Kalau tidak salah namanya Bagas ... yah benar, Bagas!

Entah anak itu sekarang ada di mana? Kata Nenek dulu orang tua Bagas tinggal di Jakarta karna bekerja di sana. Sementara Bagas tinggal di sini bersama Nenek dan Kakeknya.

Tapi anehnya tak sekalipun aku bertemu dengan mereka di Jakarta, padahal aku tinggal di kota yang sama.

"Mbak Mel, gantian aku dong yang naik!" keluh Bagas.

"Ih sabar dong lagi tanggung ni! Ayo dorong lagi" ucapku. Dulu aku memanfaatkan anak itu, karna memang usiaku yang jauh lebih dewasa darinya. Sehingga aku merasa lebih berkuasa, dan anak lelaki itu terus menuruti perintahku. Dia selalu berjalan membuntutiku seperti ekor, padahal aku ini sangat galak, tapi dia tetap saja betah berlama-lama denganmu.

Andai saja kami ini dipertemukan lagi...,

Kira-kira dia masih ingat aku tidak ya?

Dan apakah mungkin dia masih bisa aku manfaatkan lagi? Haha aku sangat jahat waktu itu, selalu memanfaatkan Bagas untuk disuruh-suruh, dan bocah lelaki yang polos dengan kulit hitam mengkilat itu menurut saja dengan perintahku.

"Ah, kira-kira ada di mana dia? Apa Bagas di Jakarta ikut dengan orang tuanya? Ah entahlah ...." Tak sadar aku pun tersenyum.

***

"Mel! Mel! Mel!"

Lamat-lamat aku mendengar seseorang memanggil namaku.

Aku menoleh kebelakang dan mendapati si Pria Tanpa Nama membawa wadah pakan kucing.

Rasanya aku ingin memarahinya saja, dia memanggil namaku seperti memanggil seekor kucing. Ini benar-benar penghinaan.

Aku pun langsung berdiri menghampirinya.

"Eh, kamu manggil aku?!" tanyaku dengan suara ketus. Kalau disamakan dengan Abang-abang Preman Tanah Abang, aku tak ada bedanya.

Pria itu tak menyahuti pertanyaanku, dan dia malah diam mematung seperti orang bingung.

"Ih, malah diam aja lagi! Kamu tadi manggil-manggil aku ya?!" tanyaku lagi, dan kali ini nada bicaraku cukup mengintimidasi.

Tapi dianya malah santai saja.

"Saya gak manggil, Embak, tuh," jawabnya tanpa rasa bersalah.

"Jangan bohong! Aku dengar kamu tadi manggil nama 'Mel' sampai beberapa kali? Maksudnya apa? Kamu godain saya?!"

"Hah?!" Pria itu membuka mulutnya seperti syok mendengar ucapanku ini.

Apa aku terlalu berlebihan ya? Ah entahlah ... yang jelas suasana hatiku yang tadinya damai malah sekarang terusik oleh kahadiranya. Dan dari pada aku membuang-buang waktu untuk mengomelinya, lebih baik aku pergi saja!

Aku memutuskan untuk duduk di bawah pohon talok itu, aku ingin menikmati kembali angin sejuk siang ini.

"Mel! Mel!" teriaknya lagi.

Kedua mataku kembali melotot tajam.

Anehnya dia memanggil namaku tapi tak melihat kearahmu.

"Mel! Mel! Mel! Kok gak nyahutin sih!" ucapnya.

Kupikir dia memang ingin bermain-main denganku, benar-benar menyebalkan!

Aku berdiri lagi dan kembali menghamprinya.

"Eh! Elu udah bosan hidup ya?!" labrakku dengan gaya bicara khas anak Jakarta.

Tapi pria menyebalkan ini malah tak menghiraukanku, dan pandangannya malah tertuju kepada seekor kucing kampung bertubuh gemuk yang menghampirinya.

"Ah, ternyata kamu di sini! Kamu kemana aja sih, Mel! Dipanggilin gak datang!" gumam pria itu.

Seketika mataku kembali melotot tajam dengan mulut yang menganga.

Astaga! Aku ini benar-benar memalukan!

Ternyata 'Mel' itu bukan namaku,

tapi nama kucing ini!?

Aku bingung harus bagaimana? Aku pun langsung berlalu pergi saja, toh dia juga tidak memperhatikanku, dia sedang sibuk dengan kucing menyebalkan itu.

Tapi baru saja aku melangkah, pria itu malah menarik tanganku.

"Mau kemana, Mbak?"

Bersambung....