webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
93 Chs

Mengerjai Dino

Sabtu siang sepulang dari sekolah telah kami habiskan untuk berdiskusi di kos-kosan Elis.

Tentunya untuk membahas tentang Dino.

Kami sudah menyusun rencana yang cukup apik.

Dan nanti malam aku akan berkencan dengan Dino, di kafe yang sering kami kunjungi sebelumnya.

Saat mengabari Dino, pria itu tampak sangat bahagia, dia tidak tahu jika kami akan mengerjainya habis-habisan.

***

Tepat pukul delapan malam aku sudah bersiap untuk bertemu dengan Dino.

Aku berdandan sangat cantik, dan aku juga sangat yakin setelah bertemu nanti, Dino akan memuji habis-habisan penampilanku ini.

"Loh, Mel, kamu cantik amat mau kemana?" tanya Tante Diani.

"Mel, mau malam mingguan dong, Tante!" sahutku.

"Kamu mau malam mingguan?" Tante mengernyitkan dahinya, "kamu, 'kan jomblo, Mel?" ucapnya.

Seketika aku mendengus kesal.

"Hmm! Sendirinya juga, Jomblo!" gerutuku.

"Dih, Jomblo, sewot," ujar Tante.

Tapi aku tidak mempedulikannya. Lalu aku meninggalkan Tante Diani begitu saja.

Kebetulan saat keluar tepat di depan pintu aku berpapasan dengan Mama.

"Loh, Mel, rapi amat? Kamu mau kemana?" tanya Mama.

"Mau malam mingguan, Ma!" jawabku.

"Malam mingguan? Kamu, 'kan Jomblo?" ucap Mama.

Lagi-lagi Mama mengucapkan kalimat yang sama dengan Tante Diani.

Kata 'Jomblo' seakan sebuah kutukan bagiku, benar-benar menyebalkan!

Aku tidak mau berbincang terlalu lama dengan Mama, karena urusannya bisa bertambah panjang.

Langsung kuraih saja tangan wanita itu untuk berpamitan.

"Ma, Mel! Berangkat dulu ya!" ucapku seraya mencium tangan beliau secepat kilat.

"Duh, buru-buru amat sih?" keluhnya.

"Yasudah! Hati-hati ya! Jangan macam-macam! Awas kalau ada cowok yang berani berbuat aneh-aneh sama Mel, langsung pukul aja pakek ujung heels!" teriak Mama dengan suara cemprengnya. "Jangan kasih ampun ya!"

"Iya, Ma!" sahutku.

***

Dalam perjalanan menuju kafe tempat aku berjanjian dengan Dino, aku menghubungi Elis dan Jani lewat pesan.

Rupanya mereka sudah menungguku di sana, dan mereka juga sudah memesankan tempat khusus untukku dan Dino.

Tak berselang lama mobil berhenti di tempat tujuan.

Rasanya aku sangat deg-degan akan bertemu Dino serta harus berakting sesuai dengan arahan Elis dan Jeni.

Aku duduk di bangku yang sudah dipesankan oleh kedua sahabatku, tak lama Dino datang.

"Hai, Mel! Kamu udah dari tadi?" tanya Dino dengan ramah.

"Enggak kok, baru aja," jawabku.

Dino memandangi penampilanku dari atas ke bawah. Dan benar saja, dia memujiku habis-habisan.

"Wah, Mel! Kamu cantik banget malam ini? Gila kamu itu udah kayak princes tahu! Kamu sengaja dandan begini buat aku ya?" ucapnya dengan raut penuh bangga.

Normalnya sebagai wanita yang dipuji habis-habisan seperti ini harusnya aku bahagia, tapi justru malah kebalikannya, aku enek dan kepengen muntah. Apalagi saat aku melirik sorot mata Dino yang super cabul itu.

"Dino, gimana kalau kita langsung bahas masalah kita aja?" ucapku.

"Ah, gitu ya? Ok deh," sahut Dino.

Entah karena kejadian yang menimpanya pada malam itu, atau bagimana? Tapi hari ini Dino agak sedikit kalem, nada bicaranya juga tidak terlalu ngotot dan kasar seperti biasanya.

"Terus gimana, Mel? Kamu mau, 'kan jadi cewek aku lagi?" tanya Dino.

"Kamu beneran cinta banget ya, Din, sama aku?" tanyaku.

"Ya iya dong, Mel! Aku ini cinta mati sama kamu, dan aku juga yakin kalau kamu itu memang jodoh aku!" sahut Dino.

'Cih, sok tahu banget, lagian mana mau gue jodoh sama elu?' cercaku di dalam hati.

"Kalau seandainya aku gak jodoh sama kamu gimana?" tanyaku iseng-iseng.

Seketika Dino menggebrak meja dan berteriak kepadaku.

Brak!

"Ya harus jodoh pokoknya!" tetiaknya, sampai membuat pelanggan yang lainya melihat kearah kami.

Huft ... aku menghela nafas sambil mengelus dada.

Dino langsung duduk lalu kembali bersikap manis di hadapanku.

"Maaf, Mel! Aku khilaf," ucapnya sambil mengacungkan dua jari dengan cengiran tak berdosa.

'Dasar, Gila,' batinku.

"Is ok, gak apa-apa sih, tapi boleh kasih waktu buat aku enggak?" tanyaku dengan sedikit senyuman yang terpaksa.

"Memangnya kamu mau aku kasih kesempatan untuk apa?" tanya Dino.

"Kasih kesempatan aku untuk belajar mencintai kamu, Dino," jawabku.

"... jadi kamu masih belum mencintai aku? Kamu sadar enggak sih, Mel! Kamu itu udah nyia-nyiain ketulusan aku!" sahut Dino.

Dia kembali menaikan nada bicaranya. Entah bagaimana caranya Dino ini, bisa-bisanya berkamuflase menjadi pria baik-baik yang terlihat keren di mata para gadis lain. Padahal aslinya sangat-sangat terbanding terbalik.

"Din, waktu itu aku udah pernah bilang, 'kan kalau cinta gak bisa dipaksain? Dan kalau kamu terus maksa, aku bakalan mundur. Tapi kalau kamu mau kasih kesempatan aku buat belajar mencintaimu, maka aku bakal berusaha," ujarku.

Dino terdiam sesaat, lalu dia bertanya kepadaku, "Memangnya apa yang membuat kamu mau belajar mencintai aku? Sedangkan waktu itu kamu sendiri yang bilang kalau kamu itu gak suka sama aku?" tanya Dino dengan raut wajah penasarannya.

"Ya karena aku mau berterima kasih sama kamu, Dino," jawabku.

"Terima kasih? Terima kasih untuk apa?"

"Ya terima kasih karena berkat kamu aku gak jadi penakut lagi," jawabku.

"Mak-sudnya?" Sekali lagi Dino bertanya dengan raut wajah yang masih bingung.

"Dino, berkat kejadian waktu itu aku jadi punya teman hantu, dan sekarang aku tidak takut lagi sama yang namanya hantu!"

Mendengar pernyataanku Dino sedikit pucat.

"Maksudnya kamu kenalan sama hantu gitu?" tanya Dino memastikan.

Aku menganggukkan kepala dengan cepat.

"Ia, temanku itu hitam tinggi besar gitu,"

"Hah! Jangan-jangan teman kamu itu Gen—"

"Emang iya, teman aku Genderuwo!" tegasku.

"APA?!" Dino sampai berteriak dengan heboh mendengar pernyataanku.

Sepertinya dia teringat dengan kejadian yang menimpanya pada malam itu, saat dia berlari keluar rumah dengan terbirit-birit kerena ketakutan habis bertemu dengan makhluk astral.

"Kamu gak lagi ngarang, 'kan, Mel?"

"Ya enggaklah, Dino!"

"Mel, mending kamu jangan mau temenan sama dia deh!"

"Loh kenapa?"

"Ya karena—" Kalimat Dino terputus saat seorang pelayanan kafe mengantarkan pesanan kami.

"Kamu udah pesan makanan?" tanya Dino.

"Iya dong!" jawabku.

"Oww, baru aja aku tadi mau pesan," kata Dino.

"Gak apa-apa, 'kan, Dino, kalau aku pesan makanan duluan?" tanyaku pada Dino.

"Ya enggak dong!" sahutnya.

"Tetap kamu yang bayarin, 'kan?" tanyaku memastikan.

Dino terdiam sesaat dan tak langsung menjawabnya.

"Dino, masalahnya aku tuh lupa bawa dompet," rengekku.

Dino pun menelan ludah sambil menganggukkan kepalanya.

"Ok, gak apa-apa," jawabnya. "Aku siap traktir kamu kok!" kata Dino dengan penuh yakin.

Pandangan Dino masih fokus ke meja yang berisi penuh makanan dan aneka minuman serta berbagai jenis kopi yang tersedia di kafe itu.

"Kamu yakin bakalan ngabisin ini semua?" tanya Dino memastikan.

"Iya, dong!" jawabku dengan yakin, dan aku langsung menikamati semua hidangan yang tersedia.

Dan aku memakannya dengan lahap tanpa menggunakan sendok ataupun garpu, melainkan hanya menggunakan tangan kosong.

"Mel, yang di mangkuk itu apa ya?" tanya Dino.

"Oh, itu menu khusus, salad bunga melati sebagai pencuci mulut," jawabku.

"Hah?!" Dino tampak syok.

Bersambung ....