webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Teen
Not enough ratings
93 Chs

Bunga Kantil

Dino seakan kenyang sendiri saat melihatku makan seperti orang yang sedang kesetanan.

"Mel, kamu makannya kok banyak banget ya? Perasaan dulu enggak?" tanya Dino.

"Masa sih?" Aku pura-pura polos. "Kamu juga yakin mau makan salad yang aneh itu?" tanya Dino sekali lagi, sambil menunjuk mangkuk yang berisi bunga melati.

"Oh, ya pasti dong! Itu menu favorit aku!"

"Lah, tapi itu, 'kan bunga melati, baunya aja wangi banget udah kayak kuburan baru?" kata Dino.

"Baunya sedap banget tahu, Dino. Dan semenjak aku temenan sama makluk astral itu aku jadi suka makanan ekstrim kayak gini loh. Selain bunga melati aku juga sering nyemilin bunga kamboja sama bunga kantil tahu," Dan tentu saja ucapanku ini hanya ucapan omong kosong yang sengaja kurangkai dengan bantuan Jeni dan Elis.

"Hi ...," Dino bergidik ngeri sambil memegangi belakang lehernya. Sepertinya Dino mulai merinding kerena ucapanku.

Aku hampir tertawa melihatnya. Jeni benar-benar jenius. Aku yakin setelah ini Dino akan menganggapku aneh dan tidak akan mau mendekatiku apalagi sampai menjadikan pacar.

"Mel, kalau boleh tahu kamu dapat bunga melati dari mana?" tanya Dino.

"Aku bawa dari rumah, Dino. Soalnya aku tahu di kafe ini gak ada bunga melati ... nah! Makanya aku bawa dari rumah aja!" jawabku.

"Ow gitu ya?" Dino manggut paham dengan senyuman yang terpaksa.

"Tahu enggak, Din! Aku itu kalau sehari aja gak makan bunga pasti aku langsung lemes,"

"Ma-sa, sih?" Suara Dino mulai bergetar.

"Eh, kamu jangan di situ nanti kamu ketabrak loh!" teriakku yang berbercara dengan angin. "Ah iya! Aku sampai lupa, kalau orang lain, 'kan gak bisa lihat, apalagi nabrak kamu!" Aku tersenyum sendiri sambil manggut-manggut.

"Mel, kamu ngomong sama siapa?" tanya Dino.

"Aku lagi ngomong sama temen aku," jawabku.

"Serius?"

"Iya serius, Dino! Dan sekarang dia ada tepat di belakang kamu,"

Seketika Dino melihat ke belakang sambil bergidik negri.

"Ka-mu ja-ja-ngan, nakutin aku dong, Mel!" ucap Dino dengan suara terbata-bata dan gemetaran.

"Ih, aku gak nakutin kamu kok, Din! Emang benaran teman aku lagi berdiri tepat di belakang kamu!"

Keringat Dino langsung bercucuran, wajahnya semakin pucat. Kuraih tisu yang ada di depanku.

"Kamu keringetan ya, Din?" Aku mengusap kening Dino yang berkeringat.

"Ok! Nanti balik lagi ya!" ucapku, dan aku kembali berbicara dengan angin, Dino semakin ketakutan.

"Kamu ngomong sama teman kamu lagi ya, Mel?" tanya Dino.

"Iya! Katanya mau pergi sebentar," jawabku.

"Ah syukur deh!" Dino mengelus dadanya dengan lega.

Aku benar-benar tak menyangka ternyata mengerjai Dino segampang ini.

Hanya berbekal akting saja. Dan sepertinya aku ini memang memiliki bakat berakting hehe ....

"Mel, kamu udah belum makanya? Soalnya aku harus pulang sekarang?" kata Dino.

"Udah sih, tapi kamu beneran yang bayarin, 'kan?" tanyaku memastikan.

"Iya tenang aja aku bayarin semuanya kok," jawab Dino.

"Ok sip!" Kuacungkan jempol tangan kearah Dino.

"Tapi maaf ya, Mel! Kayaknya untuk malam ini aku gak bisa nganterin kamu pulang deh," kata Dino.

"Ah, gak bisa ngantar ya?" Aku memasang raut wajah kecewa, bibirku juga pura-pura mengerucut, padahal dalam hatiku sangat senang. Jujur malas sekali kalau harus pulang dengan Dino.

"Akh ... padahal aku pengen pulang sama kamu, Din," rengekku.

"Tapi aku takut, Mel!" Dino langsung menutup mulutnya sendiri, "eh maksudnya aku buru-buru, Mel!" tegasnya.

"Ow, gitu," Aku mengangguk paham.

Sebenarnya aku tahu jika ini hanyalah alasan saja, Dino tidak mau mengangtarkanku pulang bukan karena dia yang buru-buru, melainkan karena dia takut jika di perjalan nanti aku akan bertingkah aneh dan berbicara sendiri dengan teman hantuku.

Padahal hanya teman hantu bohongan, opss! Hehe!

Aku sendiri tipe orang yang sangat penakut, jadi mana mungkin aku sampai berteman dengan hantu, yang ada aku bisa pipis di celana.

"Yaudah aku pulang sendiri deh, tapi kamu bayarin dulu semua pesananku ini," ucapku.

"Iya, aku bayar nih! Tapi aku langsung pulang ya?"

"Ok, " jawabku. Dino menuju kasir dan dia membayar makanan pesananku yang super banyak ini.

Dan setelah Dino benar-benar pergi menjauh dari kafe, kedua temaku muncul dari persembunyian mereka.

"Wahaha haha! Gokil! Gue ngakak banget liat mukanya si Dino tadi!" ujar Elis dengan tertawaan lantangnya.

"Oiya, si Dino, ampek pucet gitu tahu!" ujar Jeni.

"Ssst! Jangan keras-keras ...," kataku.

"Eh, biarin aja, si Dino, 'kan udah cabut!" sahut Elis.

"Iya, si Dino, emang udah cabut, tapi kalian sadar enggak sih kalau orang-orang lagi lihatin kita?" ujarku memberitahu kepada Elis dan Jeni.

"Ah, iya apa kata, Mel, bener juga, El," ucap Jeni.

Dan Elis langsung menghentikan tertawaannya lalu tersenyum dan menundukkan kepalanya dengan tangan mengerucut di depan dada.

"Maaf ya, maaf ya semuanya," ucapnya pelan kepada para pengunjung lain yang masih melihat kearah kami. Kemudian mereka kembali sibuk dengan meja mereka masing-masing, tak lagi memandang kearah kami dengan nanar.

***

Esok harinya aku masih berakting menjadi gadis aneh dengan teman hantunya di hadapan Dino.

Kebetulan sekali Dino baru saja turun dari motornya dan aku langsung menghampirinya ke parkiran.

"Hay, Dino!" sapaku dengan ramah.

"Hay, Mel," sahut Dino kurang bersemangat.

"Aku bawa sesuatu buat kamu," Aku menyodorkan satu toples kecil berisi kue coklat.

"Apa ini?" tanya Dino.

"Kue ... jadi kemarin aku lagi belajar bikin kue, kata Mama rasanya enak aku kepengen kamu juga cobain kue bikinan aku, Din!" jelasku.

"Oh, gitu ya?"

Aku manggut, "Ho'oh!"

Padahal ini kue buatan Mama bukan kue buatanku, mana bisa aku membuat kue yang ada orang-orang akan keracunan karena makan kue buatanku. Oops!

"Yaudah aku terima nih ... makasi ya," ucap Dino.

"Jangan lupa di makan ya!" kataku sambil tersenyum, dan setelah itu aku berlalu pergi.

Sebenarnya aku tidak benar-benar pergi, aku hanya menyusul ke tempat persembunyian Jeni dan Elis.

Aku ingin mengintip reaksi Dino setelah membuka isi dalam toples itu.

Karena ada satu benda yang sengaja aku selipkan di sela kue.

Tak lama Dino membuka toples dan mulai mencicipi kue buatanku.

Dia manggut-manggut dan terlihat sekali jika dia menikmati kue itu, karena kue bikinan Mama rasanya memang enak.

Tapi begitu dia menemukan satu tangkai bunga kantil di dalamnya, Dino langsung melempar toples kue itu jauh-jauh.

Dan dia juga memuntahkan kue yang ada di dalam mulutnya.

"Sialan!" umpatanya.

Aku, Jeni, dan Elis mentertawakan Dino habis-habisan.

"Ssst!" Kembali aku menyuruh mereka agar diam.

"Jangan kencang-kencang ketawanya nanti si Dino denger," bisikku.

"Iya iya," sahut Jeni.

Bersambung ....