Akhirnya rasa ketakutanku hilang, setelah sampai di depan gerbang.
Kulirik jam tangan, masih menunjukkan pukul 07:15, aku datang 5 menit lebih cepat dari perkiraan.
"Alhamdulillah! Aku gak telat!" ucapku penuh rasa syukur.
Aku langsung berlari masuk ke dalam gerbang.
Tapi si Abang Ojol meneriakiku.
"Mbak!"
"Iya, Bang! Ada apa?" Aku langsung menoleh kearahnya.
"Hem!" Dia menunjuk kearah kepalaku.
"Astaghfirullah! Sampai lupa!" Segera kulepas helm itu lalu kuberikan kepadanya.
"Ini, Bang, hehe ... maaf ya, Bang!"
"Sama ongkosnya belum, Mbak!" ujarnya lagi.
Aku menepuk keningku sendiri. "Aduh, lupa, Bang!" Langsung kuambil uang dengan nominal yang pas kepada pria itu.
Tapi setelah kupikir-pikir lagi, aku tidak enak juga kalau membayarnya dengan uang pas, apa lagi si Abang Ojol ini sudah ngebut demi menyelamatkanku agar tidak telat.
"O, iya, Bang! Ini tips-nya," ujarku seraya menyodorkan uang pecahan 50 ribuan.
"Wah, banyak amat, Mbak! Makasi ya," si Tukang Ojek itu terlihat sangat bahagia.
Aku juga bahagia akhirnya aku selamat sampai tujuan dan tidak telat pastinya! Bahkan aku malah masih punya waktu 15 menit lagi untuk bersantai.
Hanya saja aku merasa tidak nyaman, badanku terasa panas dan agak gatal saat berkeringat begini.
Mungkin ini efek dari tidak sempat mandi ya?
Huft ... untung saja aku sudah memakai parfum banyak sekali. Sehingga orang tidak akan ada yang tahu kalau aku tidak mandi opps! Hehe ....
"Melisa!" teriak Jeni dari kejauhan.
Kutengok kearahnya, dan di samping Jeni juga ada Elis.
Dua gadis yang menjadi sahabat karibku itu berlari.
"Eh, udah dengar berita terbaru belum?" tanya Elis dengan raut wajah yang tampak antusias.
"Emang ada apaan sih?" tanyaku.
"Kita berhasil, Mel!" sahut Jeni dan Elis manggut-manggut.
"Maksudnya?" Aku masih belum paham.
Kemudian Elis dan Jeni mengajakku ke taman belakang, tempat biasa kami mengobrol.
Lalu mereka menceritakan kepadaku bahwa semalam aparat kepolisian langsung menggerebek Klub Malam milik Julian dan Sarah.
Aku juga merasa heran karena waktu penggerebekan itu begitu cepat.
Padahal baru tadi malam kami mencari bukti-bukti vidio untuk di sebar ke internet, tetapi tiba-tiba saja aku sudah mendengar jika Klub Malam itu sudah di datangi oleh pihak kepolisian.
"Kok, bisa cepet banget, ya? Padahal Video yang kita ambil semalam belum juga tayang, dan aku juga yakin kalau keponakan kamu itu juga belum selesai ngedit," ujarku pada Jeni.
"Yups! Bener banget! Vidio-nya baru selesai siang nanti, dan baru akan di-upload nanti siang juga," jelas Jeni dengan santai.
"Terus, gimana ceritanya si Sarah, sama Julian, bisa ketangkap?" tanyaku seraya melirik kearah Jeni dan Elis.
Kali ini Elis yang menjawab pertanyaanku.
"Jadi gini ceritanya, ada seseorang yang mengaku sebagai salah satu korban dari bisnis prostitusi Julian, nah tuh orang gak terima terus lapor ke pihak berwajib," jelas Elis.
"Oh, gitu ...." Aku manggut-manggut mengerti, "berani juga ya tuh orang bongkar kejahatan Julian, elu aja gak berani, El," ucapku pada Elis.
"Yah, dia anaknya Sultan yang pura-pura jadi orang miskin, Mel. Terus dia ngadu ke bapaknya yang Sultan itu, terus bapaknya gak terima, kemudian dia membawa masalah ini ke jalur hukum," jelas Elis lagi.
"Oh, begitu ...." Aku kembali manggut-manggut.
Ini mirip cerita di film-film bisa-bisanya ada orang kaya-raya yang pura-pura miskin dan menjadi anak kos. Sebenarnya aku tidak menyangka jika ini juga terjadi di dunia nyata.
"Mel, kok elu kelihatan gak seneng gitu sih?" tanya Elis.
"Iya, kita ini menang loh, Mel? Masa ekspresi kamu biasa aja? Gak ada senang-senangnya gitu? Paling enggak jingkrak-jingkrak kek!" imbuh Jeni.
"Huft ...." Aku mendengus lemas.
"Lah, dia kenapa sih?" tanya Jeni kepada Elis, sambil melirikku sesaat.
"Tahu tuh, anak!" sahut Elis.
Aku langsung menjelaskan kepada dua temanku ini tentang ekspresiku ini.
"Begini, ya, El, Jen. Aku tuh sedih karena mikirin dandanan kita kemarin!" ujarku. Jeni dan Elis, langsung mengernyitkan dahinya.
Kemudian aku langsung melanjutkan kalimatku, supaya kedua temanku ini tidak mati penasaran.
"Kalau saja kita tahu, Julian dan Sarah, bakalan ditangkap Polisi tadi malam, kita gak perlu dong dandan yang aneh-aneh begitu!"
Kemudian Elis manggut-manggut mendengar ucapanku.
"Iya, juga ya!" ujarnya, "tahu gitu gue ogah pakek acara nyamar-nyamar jadi Tante-tante girang begitu!" imbuh Elis.
"Ya, 'kan? Mana pakek syal bulu-bulu segala lagi! Kalau inget dandanan kemarin gue geli sendiri!" ujarku dengan sedikit wajah melengos.
"Iya! Mana abis dandan kemarin muka gue jadi gatal-gatal lagi!" sahut Elis.
"Ini gara-gara elu sih, Jen!" Elis menunjuk kearah Jeni dengan bibir yang mengerucut.
"Lah, kok jadi nyalin Jeni, sih? Emangnya kita bisa tahu kalau Julian dan Sarah itu bakalan ketangkap?" tanggap Jeni.
"Ya tapi, harusnya sejak awal kita gak perlu ngadain acara balas dendam juga kali, Jen!" sengut Elis.
"Ih, kamu mah, El! Jeni itu cuman gak terima sahabat Jeni diperlakukan buruk! Apalagi Julian nyaris merusak masa depan kamu, El!" ujar Jeni.
"Ya tapi!"
"Ssst! Udah deh! Jangan pada berantem! Mending kita masuk ke kelas aja!" bentakku pada kedua sahabatku itu.
Dan tak lama bel masuk pun terdengar.
Aku dan yang lainnya langsung berlarian masuk ke kelas.
Hari ini ada ulangan matematika, untung saja aku sudah belajar sejak beberapa hari yang lalu.
Jadi aku bisa menghadapi ulangan dengan santai, meski semalam tak sempat belajar.
Sejak memesan Ojek Online tadi, aku sama sekali tidak melihat ponselku. Hingga jam istirahat tiba, aku mendapati 10 kali panggilan dan beberapa pesan dari Bagas.
Entah apa yang Bagas inginkan, tak biasanya dia mengirim pesan atau menelponku sebanyak ini.
"Si Bagas, kenapa neleponin gue sih? Gak tahu apa ya kalau gue lagi sekolah?" gumamku seraya membuka kunci di layar ponsel.
"Ada apa, Mel?" tanya Elis. Sepertinya penyakit keponya mau kambuh lagi.
"Tahu, nih si Bagas!" sahutku.
Satu demi satu pesan mulai kubaca.
[Mbak Mel, udah tidur ya?]
[Mbak Mel, tadi Nenek panggil aku karena Mel si Kucing, lagi sekarat,]
[Mbak, si Kucing Mel, sekarang udah mati, kerena habis makan racun tikus,]
[Mbak, aku sedih banget, dia, 'kan teman aku yang paling berharga,]
[Mbak, jangan lupa untuk ikut mendoakan, Mel, ya,]
Dan masih banyak lagi, intinya Bagas sedang membahas kucingnya yang meninggal.
Aku bingung harus sedih atau harus biasa saja.
Kali ini tingkah Bagas, benar-benar mirip anak kecil, tidak seperti biasanya yang selalu terlihat dewasa.
Memang ini hanya masalah sepele bagi sebagian orang, hanya tentang seekor kucing yang mati. Tapi aku yakin bagi Bagas, ini adalah musibah, terlebih dia sudah merawat kucing itu sejak kecil, dia sudah menganggap seperti keluarganya sendiri.
Bahkan dia juga sampai memberinya nama yang sama denganku.
Bersambung ....