webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Teen
Not enough ratings
93 Chs

Bangun Kesiangan

Sudah berulang kali aku menyuruh Bagas untuk menutup teleponnya, tapi dia selalu menolak.

Setiap aku menutup teleponku, dia kembali menelponku ulang.

Akhirnya aku mengobrol saja dengan Bagas sampai dia benar-benar lelah mengobrol denganku.

"Gas, kamu gak ngantuk?" tanyaku pada Bagas.

[Enggak?]

"Gas, hari ini aku baru aja melakukan misi yang besar,"

[Misi apa, Mbak?]

"Misi ...." Aku tidak jadi menjelaskan kepada Bagas, ini, 'kan rahasiaku dengan Elis, dan Jeni?

"Eh, gak jadi deh," ujarku. Hampir saja aku keceplosan, kalau aku baru saja ingin menghancurkan Julian dan Sarah.

[Mbak Mel, kenapa sih kalau ngomong suka nanggung?] protes Bagas.

"Masalahnya—" Kalimatku terpotong saat neneknya Bagas memanggilnya. Suara teriakan beliau sangat jelas lewat telepon.

Setelah itu Bagas mengakhiri panggan teleponnya.

[Mbak Mel, udah dulu ya, Nenek lagi manggil saya,] ucap Bagas.

"Oh, gitu ya, ok aku juga mau tidur kok," sahutku.

[Bye, Mbak Mel, assalamu'alaikum,] kata Bagas.

"Walaikumsalam," jawabku.

Tut....

Rasanya sangat senang, akhirnya Bagas mengakhiri panggilan teleponnya. Setidaknya aku bisa beristirahat dengan tenang, dan tentunya tidak perlu merasa bersalah kepada Laras. Karena aku sudah mengobrol cukup lama dengan Bagas malam-malam begini.

Yah, saat mengobrol tadi, Bagas lebih banyak curhat tentang kehidupan sehari-harinya di Semarang, mulai dari kegiatannya di sekolah, hingga masalah pekerjaan sampingannya. Tapi anehnya Bagas tidak bercerita tentang Laras sama sekali.

Aku heran akan hal itu, apa Bagas itu benar-benar tidak menyukai Laras? Walau sedikit pun?

Kalau begitu artinya, kemungkinan Bagas untuk mendekatiku lagi, akan semakin besar.

Dan bukan hanya itu saja, tapi aku juga harus memberi kesempatan bagi Bagas untuk menjadi pacarku.

Ini sudah menjadi perjanjian kami bertiga. Antara aku, Bagas, dan Laras.

Tapi, 'kan masih satu tahun lagi?

Baiklah, aku tidak perlu memikirkan hal ini terlalu dalam, masih ada banyak waktu bagi Bagas untuk jatuh cinta kepada Laras.

Lagi pula dari pada aku heboh memikirkan hal ini, lebih baik aku memikirkan masalah sekolahku.

Paling tidak aku harus mendapatkan nilai terbaik di tahun ini.

Kembali kurebahkan tubuh lalu kupejamkan mata ini, aku benar-benar sangat lelah.

Hari ini terasa begitu panjang.

***

Pagi harinya aku terbangun kesiangan, Mama tidak sempat membangunkanku karena pagi ini beliau ada urusan mendadak dan harus pergi ke Bogor.

Tante Diani tidak pulang sejak kemarin, kerena urusan bisnis bersama Papa. Mereka masih di luar kota.

"Astaghfirullah! Aku bangun kesiangan!" Aku benar-benar panik saat melihat jarum jam tepat pukul Tujuh.

Aku langsung bangkit dan mencuci wajahku.

Aku tidak sempat mandi karena waktunya yang sangat mepet.

Jam masuk sekolah pukul 07:30, sedangkan perjalanan menuju sekolah memakan waktu sekitar 20 menit.

10 menit tidak akan cukup untuk mandi, lebih baik aku mempergunakannya untuk membuat sandwich yang bisa kumakan saat di perjalanan nanti, dan 10 menit itu juga bisa kugunakan sebagai waktu cadangan kalau-kalau terjadi kemacetan.

Sambil menyisir rambut, aku mengutak-atik ponselku untuk memesan ojek online.

Dan aku melihat ada riwayat panggilan telepon dari Bagas, serta beberapa pesan darinya, tapi aku melewatinya begitu saja. Karena tak ada waktu untuk membuka ataupun membalasnya.

Setelah menyisir rambut dengan rapi tak lupa aku menyemprotkan parfum secara membabi buta, tidak lupa juga memakai deodoran supaya tidak bau Embek! Secara aku tidak mandi pagi ini, oops ...!

Huft ... benar-benar rahasia yang harus kujaga rapat-rapat, kalau tidak ... maka Jeni, dan Elis, bisa mem-bully habis-habisan.

"Aduh, hari ini pelajarannya apa aja sih?" Kulihat dengan tergesa-gesa selembar kertas jadwal pelajaran yang kutempel di atas dinding.

Setelah melihatnya aku mulai memasuk-masukkan semua buku mata pejaran hari ini dengan cepat.

Tak lupa aku juga memasukkan baby cream, dan lip balm, di dalam tasku. Ini akan kupakai nanti ketika waktuku sudah senggang.

***

Ceklek!

Bruak!

Aku meninggalkan rumah dengan berlari, baru saja keluar gerbang seorang Driver Ojek Online, sudah menungguku.

"Dengan, Mbak Melisa Aurelie, bukan?" tanya pria berjaket hijau itu.

"Iya, Bang! Langsung aja Bang! Mana helmnya?!" tanyaku.

Pria itu menyodorkan helmnya, lalu aku langsung lompat ke atas jok motor. Si Abang-abang sampai kaget, mungkin aku lompatnya terlalu brutal.

Sampai melirik kearahku, dan mengecek shok bagian belakangnya. Aku yakin dia takut motornya rusak karena gerakanku yang heboh tadi, hehe ....

Lalu ia kembali fokus ke depan lagi.

"Ngebut ya, Bang!" ujarku sambil menepuk pundaknya.

Si Mas itu langsung mengangguk dengan cepat.

"Siap, Mbak!" jawabnya penuh semangat.

Tanpa memberikan aba-aba, si Abang Ojol memutar gas motornya hingga terdengar suara yang membuat telingaku berdengung.

Kemudian motor melaju dengan kencang.

Sesuai dengan apa yang kuinginkan tadi, si Abang Ojol benar-benar mempercepat laju kendaraannya.

Meski dalam keadaan ngebut aku masih menyempatkan diri untuk meraih sandwich yang kubawa tadi.

"Mas, mau sandwich!?" tanyaku setengah berteriak.

"Apa, Mbak?" sahut si Abang Ojol.

"Sandwich!" teriakku memperjelas.

"Hah?! Duit?!" ujarnya yang masih tidak paham dengan kalimatku, suara motor mengalahkan suara kami saat mengobrol.

"SANDWICH, BANG! BUKAN DUIT!" teriakku dengan suara sopran.

"Oh, iya! Duitnya bayar nanti aja, Mbak!" jawabnya yang masih tidak nyambung.

Hufft...

Aku mendengus kesal dengan hidung kembang-kempis, baiklah aku menganggap dia tidak mau. Lalu kumakan sandwich itu dengan satu tangan, tangan yang satunya lagi mencengkram jaket si Abang Ojol dengan kencang.

Tentu aku tidak mau perut kenyang tapi nyawa melayang.

Ini benar-benar tindakan yang tidak patut dicontoh, bagaimana pun kita dalam berkendara itu harus tetap memikirkan keamanan bagi diri kita sendiri dan orang lain.

Tindakan si Abang Ojol ini memang sangat buruk, tapi aku menganggapnya sebagai Tukang Ojek yang profesional, dia mau mendengarkan permintaan pelanggannya.

Dia menaiki motor dengan kecepatan tinggi berdasarkan keinginanku, dan bodohnya aku malah mengajaknya mengobrol di jalanan, padahal dia sedang fokus.

Menaiki motor dengan kecepatan tinggi dan memakai helm, akan sulit bila sambil mengobrol. Tapi aku malah menawarinya sandwich, bisa di bayangkan jika di Abang Ojol mengendarai motonya sambil menggigit sandwich, lalu hilang keseimbangan, dan masuk ke sungai, selokan air, atau langsung ke akhirat?

Oh, tidak!

Benar-benar kejadian yang menyeramkan!

Aku menepuk keningku sendiri, 'Mel, oon banget!' batinku.

Jujur aku masih trauma dengan kejadian saat bersama Elis waktu itu, kami mengalami kecelakaan motor dan sampai harus mendarat di sungai dalam keadaan basah kuyup.

Dan hal itu karena Elis yang mengendarai motornya secara ugal-ugalan.

Tetapi berhubungan dalam kondisi yang genting begini, aku terpaksa menghapus rasa traumaku itu, dengan mengendarai motor bersama dengan si Abang Ojol. Walau jujur aku takut nyawaku akan lepas saat ini juga. Tetapi sandwich yang ada di tanganku ini cukup menetralisir rasa takutku dengan memejamkan mata sambil menggigitnya.

Bersambung ....