webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
93 Chs

Kejutan

Setelah bertemu dengan Dion, sempainya di rumah aku langsung menelepon Bagas.

Rasanya aku sudah tidak sabar ingin bercerita kepada Bagas. Dan meluapkan segala keluh kesahku.

"Angkat dong, Gas! Buruan!"

Tak lama Bagas menjawab panggilanku.

[Halo, Mbak Mel! Ada apa?] tanya Bagas.

"Gas! Dion tadi ngelamar aku!"

[Apa?!]

[Terus, Mbak Mel, terima?!]

"Ya, enggaklah, Gas! Gila aja! Mana mungkin aku terima dia!" jawabku dengan sewot.

[Ya, kali aja! Secara, Mbak Mel, 'kan cinta banget sama, dia!]

"Itu dulu, Gas! Lagian kamu kok ngomongnya gitu, sih?! Kamu udah gak cinta lagi sama aku, ya?! Kamu udah punya cewek lain?!" tuduhku pada Bagas

[Kenapa, Mbak Mel, malah nuduh aku kayak gitu?!]

"Ya habisnya kamu duluan sih, yang mulai!"

[Udah dong, Mbak! Jangan marah. Kita bisa bicarain ini baik-baik, 'kan? Terus, Mbak Mel, mau aku kayak gimana?]

Seketika aku mulai meredam amarahku. Aku tidak boleh meluapkan kekesalanku kepada Bagas, lagi pula Bagas itu tidak salah! Dan yang salah adalah Dion.

"Gas, kapan kamu akan melamarku?" tanyanku dengan suara pelan.

[Melamar? Aku gak salah dengar? Mbak Mel, ingin aku segera melamar?]

"Iya, Gas! Aku ingin kamu menunjukkan keseriusan kamu kepadaku,"

[Mbak, kita bertahan sampai sejauh ini apa belum cukup, untuk menunjukkan keseriusanku?]

"Ya, tapi sekarang kita udah dewasa, Gas! Teman-temanku sudah menikah! Jeni udah punya anak! Dan Elis, juga sedang bulan madu ke Bali bersama suaminya! Sedangkan aku ...?"

"Kita udah pacaran cukup lama, Gas! Masa kalah sama mereka?"

[Ok, Mbak! Aku bakalan lamar, Mbak Mel, tapi gak sekarang. Aku masih sibuk. Aku baru saja mendapatkan proyek besar. Ada pesanan lagu dari penyanyi terkenal, Mbak!]

"Jadi kamu lebih mentingin karir kamu?"

[Karir aku juga buat masa depan kita, Mbak!]

"Yudah, selamat bekerja!"

Tut!

Aku langsung menutup sambungan telepon. Lalu kulemparkan saja ponselku ke segala arah.

Aku benar-benar kesal dengan Bagas. Dia malah tidak menunjukan keseriusannya kepadaku.

Kalau begini caranya aku malah kepikiran dengan ucapan Dion tadi.

Dia berkata,

'Kenapa? Apa lagi yang kamu harapkan dari dia? Bisa bertahan bukan berarti dia serius, 'kan! Bisa jadi dia itu sudah punya selingkuhan di sana!'

Dan kalimat itulah yang benar-benar mengusik pikiranku.

Dalam hatiku terus berpikiran buruk tentang Bagas.

'Apa benar, Bagas, punya selingkuhan?'

'Apa benar, dia hanya mempermainkanku?'

Akh ...!

Aku malah pusing sendiri memikirkan hal itu, berkali-kali aku menjambak rambutku sendiri, sambil mengumpat kesal.

Malam itu aku habiskan dengan menangis sendirian.

Aku tidak habis pikir kenapa Bagas setega ini kepadaku!

Bukankah sejak dulu dia yang sudah mengejar-ngejar cintaku?

Lalu kenapa dia sekarang malah mempermainkanku?!

"Akh! Aku benci sama Bagas!" teriakku secara reflek.

"Ada apa, Mel! Kok teriak-teriak? Ada tikus lagi?" tanya Mama dari luar kamarku.

"Gak, Ma! Cuman ada kecoa!" sahutku berbohong.

"Semprot pakek racun serangga aja, Mel! Botolnya masih ada di kamar kamu!" suruh Mama.

"Ok, Ma! Beres!" sahutku.

Mama tidak tahu kalau aku sedang galau.

Kemudian setelah lelah menangis aku pun tak sadar telah tertidur.

Hingga pagi tiba aku mulai membuka mata.

Dan kedua mata ini terasa begitu sepat. Aku mengusap wajahku di depan cermin dan ....

"AKHH ...!" teriakku dengan lantang.

Mama sampai menerobos masuk ke kamarku saking paniknya. Dan mendengar aku berteriak tadi membuat Mama heboh sendiri.

Sampai mengeluarkan jurus pencak silat yang pernah ia pelajari ketika SD.

"CIAT ...!" Mama memasang kuda-kuda sambil memegang adukan penggorengan.

Aku malah takut sendiri melihatnya.

"Ada apa sih, Mel?!" tanya Mama.

"Matanya, Mel, Ma!" ujarku.

"Mata kamu kena—"

"Astaghfirullahalazim! Kok bisa bengkak begitu, ya?" tanya Mama yang haran. "Kamu habis nangis, ya, Mel?"

"Eng-gak, kok, Ma!" jawabku menyangkal tuduhan Mama.

Aku tidak mau kalau sampai Mama tahu aku menangis karena Bagas. Hal ini bisa berbuntut panjang.

"Ah, Mama tahu nih, kenapa mata kamu bisa bengkak begitu?"

"Kenapa, Ma?"

"Kamu pasti dipipisin kecoa!"

"Hah?! Dipipisin kecoa?!"

"Iya, Mel! Dulu waktu kecil mama pernah dipipisi kecoa, dan matanya jadi bintitan. Mungkin kecoa yang kamu temuin tadi malem kali, yang pipisin mata kamu itu!" tutur Mama.

Aku pun menganggukkan kepala seraya tersenyum paksa.

"Mu-mungkin juga ya, Ma!" ucapku membenarkan kalimat Mama. Padahal jelas-jelas mataku ini bengkak gara-gara kebanyakan menangis.

"Nah, makanya kalau punya kamar itu diurus! Jangan lupa dibersihin! Jangan cuma ngandalin si Embak terus dong, Mel! Dia, 'kan tugasnya banyak!" kata Mama yang menasehatiku.

Aku kembali menganggukan kepalaku dengan senyuman paksa.

"Kalau begitu, Mel mau mandi dulu ya, Ma!" ujarku seraya meraih handuk.

"Ok, Mama juga mau lanjut masak dulu, deh!" kata Mama sambil keluar dari dalam kamarku. Tetapi baru saja sampai di depan pintu, Mama pun berteriak heboh.

"Aduh! Ayam gorengku!" teriak Mama yang berlari tunggang langgang. Aroma gosong pun langsung menyeruak ke hidungku.

"Yah, alamat sarapan pakek ayam goreng gosong, dah ah!" gumam dengan wajah kecewa.

***

Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Sudah sore saja, dan aku juga sudah menyelesaikan tugas-tugasku di kantor.

Aku mempercepat langkahku. Karena sejak tadi Papa sudah menelepon.

Entah ada perlu apa! Aku tidak tahu, yang jelas Papa juga menulis pesan agar aku cepat pulang.

Sambil berlari aku memanggil tukang ojek yang kebetulan lewat.

"Bang! Ojek!" teriakku.

Aku memesan ojek secara langsung. Memang biasanya ongkosnya akan lebih mahal. Tetapi tidak masalah dari pada aku menunggunya lama dan Papa malah mengocehiku.

Si Tukang Ojek berhenti lalu menyodorkan helm kearahku.

Langsung kurebut dan kugunakan helmnya.

Tak sengaja kaca mataku malah terjatuh karena saking buru-burunya.

"Neng, kacamatanya jatuh!" kata si Tukang Ojek.

"Biarin aja, Mas! Itu kaca mata 10 ribuan, itu juga punya ponakan!" ujarku.

"Lah, tapi sayang, Neng!"

"Biarin aja, Bang! Ayo buruan!" sergahku.

"Ya, sayang banget padahal bisa buat saya, lo!" ucapnya lagi. "Saya ambil aja ya, Neng! Dari pada mubazir!"

"Ah, yaudah deh! Terserah, Abang!" sengutku.

Si Tukang Ojek itu meraih kacamatanya.

Kemudian baru mengantrakannku pulang.

Sebenarnya kacamata itu bukan harga 10 ribuan, tetapi harga 15 ribuan, dan juga bukan punya keponakanku. Kerena keponakanku belum lahir.

Aku tadi membeli kacamata itu asal-asalan, dan belinya juga di tempat Abang-abang Tukang Jepit yang bertemu di jalan.

Hal itu karena aku sedang buru-buru dan dari rumah lupa tidak membawa kacamata anti radiasi. Padahal mataku ini sedang bengkak parah.

Kalau aku tidak menutupinya, yang ada teman sekantor akan meledekku dan menertawaiku.

Dan bicara soal keponakan, sebentar lagi aku akan segera memiliki keponakan imut.

Karena saat ini Tante Diani sedang hamil tua.

Tente Diani menikah dengan salah seorang rekan kerjanya. Namanya Om Edward.

Aku sangat bersyukur, akhirnya Tante menemukan pria baik seperti beliau.

Setelah bertahun-tahun belum bisa melupakan mantan pacarnya yang telah meninggal.

Dan sekarang Tante Diani menetap di Jogja bersama sang suami.

"Neng, tujuan kita kemana, Neng?" tanya si Tukang Ojek.

"Astaga! Saya belum ngomong ya, Bang?"

"La, belum, Neng!"

"Di jalan anggrek nomor Tujuh, Bang!"

"Ok, siap!"

Tukang Ojek itu membawa motornya dengan kecepatan tinggi, aku sampai deg-degan, walau memang aku yang menyuruhnya cepat-cepat, tetapi aku masih suka trauma dengan kejadian beberapa tahun silam saat bersama dengan Elis.

Sebenarnya aku tidak mau menaiki motor lagi, tetapi mau bagaimana lagi? Papa sudah menyuruhmu cepat-cepat, dan hal itu membuatku menjadi tidak tenang.

Aku takut di rumah sedang terjadi sesuatu, sehingga Papa menyuruhku pulang cepat.

Bisa saja terjadi hal buruk pada Mama, terlebih akhir-akhir ini Mama sering sekali mengalami sakit lambung yang sampai membuat beliau menangis kesakitan mirip anak kecil.

Ya, walau pun Mama memang aslinya agak sedikit manja melebihi aku, tetapi tetap saja ... sebagai seorang anak wajar jika aku mengkhawatirkannya.

Ckit!

Akhirnya aku sampai di rumah.

"Berapa, Bang?" tanyaku.

"50 ribuan, Neng!" jawab si Tukang Ojek.

"EH BUSET! MAHAL AMAT, BANG!"

"Ya, emang segitu, Neng!"

"La, tapi biasanya cuman, 20 ribu, Bang?"

"Itu, kalau pesan lewat aplikasi, Neng! Beda lagi kalau—"

"Ah, ini ambil! Kembaliannya buat, Abang!" sengutku.

"Kurang seribu Neng! Ini duit 49 ribu doang!" kata si Abang Ojek.

"Kekurangannya, diganti pakek kacamata yang Abang, ambil tadi!" ujarku.

"Eh, yaudah deh! Ok! Makasi, Neng!" ujarnya dengan bibir nyengir dan memuntir gas motornya kencang-kencang.

RUEEENGGG ...!

Aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil mengelus dada.

"Dasar, Tukang Ojek, gak ada akhlak!" gumamku.

Kemudian aku mulai masuk ke dalam gerbang.

Dan aku melihat ada mobil mewah yang sedang terparkir.

Sepertinya aku kenal mobil siapa ini.

Yah, mobil orang tuanya Bagas. Tetapi aku masih tak yakin, kulangkahkan kaki ini masuk ke dalam rumah.

"Assalamu'alaikum!" ucapku.

"Walaikumsalam!" sahut Mama.

"Eh, ini dia orangnya udah datang!" ujar Mama menyambutmu.

Dan ternyata benar dugaanku, di dalam ada orang tuanya Bagas.

Tetapi Bagas tidak ada, dan aku sendiri tidak tahu apa tujuan mereka datang kemari?

"Ayo, duduk dulu," suruh Mama.

"Tapi, Mel, belum mandi, Ma?"

"Gak apa-apa, lagian kasihan Om Fandi, sama Tante Marni, udah nunggu kamu dari tadi lo, Mel," ujar Mama.

Lalu Papa ikut menimbrung pembicaraan kami.

"Benar kata Mama kamu, Mel! Duduk dulu!" suruh Papa.

"Ok, deh," Aku pun duduk ikut mereka.

Kemudian Om Fandi, ayah tirinya dari Bagas mulai membuka percakapan.

"Mel, jadi kedatangan kami kemari, atas perintahnya Bagas," ujarnya sambil tersenyum ramah.

"Memangnya Bagas, bilang apa, Om?" tanyaku yang penasaran.

Om Fandi dan Tante Marni saling melirik.

"Begini, Mel, kedatangan kami ke mari, karena ingin melamar kamu untuk menjadi istrinya, Bagas!" tegasnya.

"Apa! Melamar?!" teriakku secara reflek. Dan Mama mencubit pahaku karena aku tidak sopan.

Kemudian langsung kututup mulut ini dengan kedua telapak tangan.

"Iya, Nak Melisa, Bagas yang menyuruh kami datang kemari untuk melamar, Nak Melisa, sekaligus untuk menentukan tanggal pernikahan kalian," ujar Tante Marni.

Dan mendadak aku seperti berada di dunia mimpi. Aku terdiam untuk beberapa saat, dengan bibir sedikit terbuka. Jujur aku benar-benar tak percaya dengan ini semua.

Bersambung ....