webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Teen
Not enough ratings
93 Chs

Menjelang Pernikahan

Malam ini aku tak bisa tidur lagi. Namun bedanya aku tidak menangis, justru mataku malah berbinar-binar dengan bibir yang terus tersenyum sejak tadi sore.

Aku tidak menyangka jika Bagas akan melamarku hari ini. Bahkan tanggal pernikahan kami pun juga langsung ditentukan.

Aku sangat menyesal telah berpikiran buruk tentang Bagas.

Padahal selama ini dia tak pernah berbuat yang aneh-aneh.

Dia berjanji tidak akan membuatmu menangis, tetapi kemarin malam aku malah menangis secara diam-diam.

Memang tangisan itu bukan salahnya Bagas, melainkan salahku sendiri yang sudah berpikiran buruk.

Meski begitu, Bagas sudah menggantikan air mataku itu dengan senyuman yang tak ada henti.

Aku merasa sangat beruntung mendapatkan Bagas, dia pria baik yang penuh dengan kejutan.

Dan kami akan segera melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat ini. Tentunya setelah urusan Bagas dengan para kliennya selesai.

Rencana pernikahan kami akan di rayakan di Semarang. Tentunya di rumah nenekku.

Bagas yang memintanya. Dia bilang tempat itu adalah tempat yang penuh dengan kenangan.

Bahkan setelah menikah nanti Bagas mengajakku untuk tinggal di kampung saja.

Dia biasa bekerja secara online maupun secara offline. Sedangkan aku juga bisa membuka usaha di sana.

Yah ... kemungkinan buruknya aku akan kehilangan pekerjaanku.

Tetapi aku tidak keberatan, lagi pula bekerja kantoran bukanlah cita-citaku, Papa yang terus mendorongku pada saat itu. Dan cita-citaku yang sebenarnya adalah memiliki usaha butik.

Sejak remaja aku sudah tertarik dengan dunia fashion.

Dan mungkin aku akan mewujutkannya bersama dengan Bagas.

Aku akan memulai dengan butik kecil-kecilan. Biar aku bisa menikmati setiap proses itu.

Yang menjadi sedikit masalah apabila aku tinggal di kampung, adalah; ramai tidaknya usahaku nanti?

Namun kekhawatiranku itu dapat ditepis oleh Bagas.

Kalaupun usahaku sepi karena letaknya yang di perkampungan, Bagas bisa membantunya dengan menjualnya secara online.

Apalagi dia itu selain musisi juga seorang kreator video YouTube. Dia cukup terkenal, dan memiliki banyak subscriber serta fans.

Tentu untuk memasarkan produkku nanti, Bagas tidak akan merasa kesulitan.

Kalau pun masih tak berhasil juga, Bagas menyuruhku untuk diam di rumah saja. Karena Bagas juga merasa mampu menafkahiku baik lahir maupun batin.

Dan hal itu pula yang membuatku merasa yakin, bahwa aku akan hidup bahagia bersama dengan Bagas.

Dia akan menjadi, Suami, adik, kakak, bahkan juga Sahabat.

Aku mendapat paket lengkap.

Saat aku tersenyum sendirian di dalam kamar, Mama mengetuk pintu kamarku.

Tok! Tok! Tok!

"Mel! Mel!"

"Iya, Ma! Bentar!"

Aku segera bergegas membukakan pintu.

Ceklek!

"Ada apa, Ma?"

"Keluar yuk, Mama mau ngobrol sama kamu," ajak Mama.

"Kenapa, Mama, gak ngomong di sini aja, sih?"

"Mama pengennya ngobrol sambil jalan-jalan, Mel. Karena sebentar lagi anak Mama ini mau diambil orang. Mama jadi gak bisa jalan-jalan bareng lagi, Mel!"ujar Mama.

"Tapi ini malam, Ma?"

"Baru juga jam sembilan, kita cari nasi goreng, yuk!" ajak Mama.

"Ya, tapi, Ma?"

"Udah, buruan, Mel!" Mama menarik tanganku.

Dan Mama mengajakku makan di warung nasi goreng langgannya.

Kami memang sering makan di tempat ini.

Saat keadaan senyap, dan Mama tengah asyik menyantap nasi gorengnya, aku melontarkan kalimat yang tak terduga.

"Ma, maafin, Mel, ya," ucapku.

Mama yang tengah menyendok nasi goreng pun segera menaruh sendoknya lagi.

"Maaf, untuk apa?" tanya Mama.

"Mel, belum bisa bahagiain, Mama. Dan sekarang Mel, malah udah mau nikah aja," ujarku sambil menundukkan kepalaku.

"Kok kamu ngomongnya gitu sih, Mel, Mama jadi sedih dengernya," Kedua mata Mama langsung berkaca.

Beliau memelukku, dan mengusap bagain punggungku dengan lembut.

Aku menangis dalam pelukan Mama.

"Ma, maafin Mel yang selama ini selalu bandel, sering minta uang sama Mama, sering melawan perintah Mama, dan sering ngatain Mama 'bawel' sekali lagi Mel, minta maaf ya, Ma,"

Mama mengangguk sambil menangis sesenggukan. Aku dapat merasakan kesedihan Mama.

Setelah menikah dengan Bagas nanti, sudah pasti aku akan berpisah dengan Mama. Karena Bagas mengajakku untuk tinggal di kampung.

Pasti aku akan merindukan Mama.

Selama ini aku anak satu-satunya, dan meski cerewet, Mama itu sangat memanjakanku. Beliau selalu menuruti permintaanku.

Dan beliau adalah orang yang berteriak paling lantang saat aku tersakiti.

"Mel, bakalan kangen sama, Mama," ucapku.

"Mama juga, Mel. Jujur Mama berat kalau harus kehilangan kamu. Tapi inilah resiko menjadi orang tua. Mama harus siap," pungkas Mama.

"Iya, Ma. Tapi Mel, janji bakalan sering-sering main ke Jakarta setelah menikah nanti, Mel, gak akan lupa sama, Mama," ucapku meyakinkan Mama.

"Iya, Sayang. Mama tahu kalau Mel, itu gak bakalan lupa sama Mama. Dan Mel, bakalan sayang terus sama Mama. Mel, itu anak baik, walau terkadang bandel. Dan air mata Mama saat ini, adalah air mata bahagia, Mel,"

"Mama, gak sedih?"

"Sedih, tapi, bahagia,"

"Maksudnya, Ma?"

"Mel, Mama sangat bahagia, karena Mama sudah berhasil membesarkan kamu. Mama bersyukur masih diberi kesempatan untuk menyaksikan pernikahan kamu nanti. Yang artinya tugas Mama dan Papa mendidik kamu sudah selesai. Karena sebentar lagi Bagas yang akan menjadi panutan dalam hidup kamu," tutur Mama.

Ya, Tuhan. Aku benar-benar terharu mendengarnya. Sebesar ini pengorbanan orang tua. Mereka merawatku sejak kecil dan ketika dewasa malah kutinggal pergi. Tetapi mereka masih sempat merasa bersyukur, karena telah berhasil mengantarkanku di kehidupan baru

Aku tahu ini berat. Dan mungkin suatu saat nanti aku juga akan merasakan hal yang sama.

Aku akan memiliki seorang anak yang kurawat dengan sepenuh hati, kemudian akan pergi ketika sudah dewasa.

Aku tidak yakin aku bisa sekuat Mama dan Papa. Tetapi memang seperti itulah siklusnya. Maka aku akan belajar dari mereka. Tentang apa arti kata iklas. Dan tentang apa arti kata bahagia, meski air mata terus mengalir.

"Mel, janji ya, nanti kalau udah nikah tetap terus ngunjungi, Mama?"

"Iya, Ma! Insyaallah,"

"Terus cepet-cepet kasih Mama cucu yang imut, ya?"

"Iya, Ma! Insyaallah! Semoga apa yang Mama inginkan ini akan segera terwujud!" ucapku dengan yakin.

"Amiin!" timpal Mama.

Kemudian kami saling melepaskan pelukan lalu kembali menikmati nasi goreng di piring masing-masing.

***

=<1 bulan kemudian=>

Ketika pernikahanku semakin dekat, perasaanku kian tak tenang. Rasanya itu bercampur aduk, ada bahagia, sedih, dan juga deg-degan bercampur menjadi satu.

Namun rasa bahagia lebih mendominasi.

Aku menuruni mobil dan memandang area rumah Nenek yang sudan dihiasai dengan tenda pernikahan.

Acara pernikahan sekaligus resepsi akan di langsungkan besok.

Ketika memasuki rumah, jantungku seakan ingin copot.

Dan Bagas datang menghampiriku.

"Mbak Mel, sudah sampai ternyata!" sapa Bagas dengan antusias.

"Kita gak disapa?" sindir Mama.

"Eh, Tante, Om! Apa kabar?" Bagas mencium tangan Mama dan Papa.

"Baik," jawab Papa.

"Mbak Mel, masuk, yuk!" ajaknya.

Tak ada yang berubah dari Bagas, dia masih tetap seperti dulu. Setelah sekian lama aku mengenalnya, dia tetap menjadi sosok yang baik dan humoris.

"Calon istri masa dipanggilnya, 'Mbak?'" ledek Mama.

"Gak tahu tuh, padahal udah dibilangin dari dulu!" imbuhku.

"Hehe! Lupa! Udah kebiasaan!" sahut Bagas sambil tersenyum.

"Yaudah! Ayok, Mel! Masuk!" ajak Bagas mengganti kalimatnya.

Bersambung ....