Setelah meneleponku, Bagas benar-benar datang ke rumah. Dia memksaku untuk berobat tapi lagi-lagi aku menolaknya, karena aku merasa tubuhku sudah agak mendingan.
***
Hingga di keesokan harinya, ternyata aku masih sakit, dan Bagas kembali menengokku lagi.
Dia juga membawakanku oleh-oleh satu keranjang buah-buahan.
"Eh, Bagas," sapa Mama dengan ramah.
"Hay, Tante, selamat pagi," sahut Bagas dengan sopan.
"Kamu repot-repot amat sih, Gas, segala bawa oleh-oleh," kata Mama.
"Gak apa-apa kok, Tante, kebetulan tadi lagi lewat di depan Tukang Buah, terus langsung beli aja," jelas Bagas.
"Ih, Bagas, kamu itu benar-benar calon menantu idaman ya," puji Mama.
Aku yang mendengarnya hanya bisa mengelus dada, kebetulan aku sedang duduk di sofa dan masih dengan rambut awut-awutan serta wajah pucat tanpa make-up.
"Boleh, saya langsung ketemu sama Mbak Mel aja, Tante?" tanya Bagas dengan senyuman yang agak terpaksa.
"Oh tentu saja! Tuh, si Mel juga dari tadi udah nungguin kamu!" ujar Mama yang mengada-ada.
'Astaghfirullah, sabar, sabar,' Aku mengelus dada sambil istighfar di dalam hati.
Tingkah Mama benar-benar membuatku malu. Bisa-bisanya Mama bilang kalau aku menunggu Bagas.
Aku tidak tahu harus bagaiamana, ingin marah tapi takut kualat. Aku tidak mau menjadi anak durhaka seperti Malin Kundang, lalu dikutuk oleh ibunya menjadi kodok. Eh, maksudnya batu.
Aku hanya bisa pasrah, dengan tubuh lemasku.
Lalu Bagas mendekatiku. "Mbak Mel, badannya udah dingin, terus keringetan, apa udah mendingan?" tanya Bagas.
"Kayaknya sekarang udah mendingan, Gas. Aku baru aja minum obat, makanya aku bisa keringetan," jawabku.
"Kita ke Dokter sekarang aja yuk, Mbak!" ajak Bagas.
"Ah, gak mau, Gas! Bentar lagi juga sembuh, sekarang aja udah agak enakan kok," sahutku.
"Tapi, tetap harus periksa Mbak! Takutnya Mbak Mel, kena tipus atau DBD, kan bahaya," kata Bagas.
"Ah, gak mungkin, Gas!"
"Gak mungkin bagaimana? Mbak Mel, udah tiga hari ini sakit, suhu badan naik-turun, kadang panas kadang dingin keringetan,"
"Tenang aja, aku gak apa-apa kok, Gas! Lagian itu hal yang biasa kali!" ujarku menyepelekan keadaan.
"Gak apa-apa tapi pucet begitu," kata Bagas, "udah ayo saya antar ke Dokter, Mbak!" paksa Bagas.
Aku pun tak bisa mengelak lagi, akhirnya aku pasrah dan mau di antarkan oleh Bagas ke Dokter.
Mama juga mendukung kami.
"Tante, titip Melisa ya, Nak Bagas," kata Mama.
"Loh, Tante, gak ikutan?" tanya Bagas.
"Enggak, Nak Bagas, Tante udah percaya sama, Nak Bagas,"
"Lah, Mama, kok tega banget sih masa gak mau ikut anterin Mel ke klinik sih?" keluhku dengan bibir mengerucut.
Tapi Mama tidak peduli, dia malah mencari alasan untuk tetap kekeh membiarkanku pergi bersama dengan Bagas.
"Mama, hari ini ada arisan, Mel, jadi Mama gak bisa antar kamu," kata Mama.
"Alasan aja, masa demi arisan sampai gak mau nganterin anaknya yang lagi sakit?" keluhku.
"Maaf, Sayang," ucap Mama sambil mengusap rambutku dengan lembut.
***
Sesampainya di klinik Dokter mulai memeriksaku, dan bertanya tentang apa saja yang kukeluhkan.
Kemudian Dokter itu memberikan surat rujukan ke rumah sakit umum yang letaknya tak jauh dari klinik tempat ia praktek.
Di sana aku di arahkan untuk melakukan tes darah.
Dan hasilnya trombositku turun drastis, aku disarankan untuk rawat inap.
Aku benar-benar tak menyangka jika ternyata aku positif DBD.
Benar yang diduga oleh Bagas tadi, aku bisa saja terkena tipus atau DBD.
Harusnya aku mendengarkan ucapan Bagas dan Mama sejak kemarin-kemarin untuk pergi ke Dokter.
Bagas mengabari Mama jika aku positif DBD dan terpaksa harus dirawat inap, seketika Mama, Papa, dan Tante Diani, begitu panik. Lalu mereka berbondong-bondong pergi ke rumah sakit untuk menengokku.
"Mel, kamu ini gak dengerin Mama sih! Harusnya dari kemarin kamu itu priksa ke Dokter, jadi kamu bisa langsung dapat perawatan! Gak kayak begini!" oceh Mama yang terus menyalahkanku.
Memang ini salahku juga yang sudah bandel, sehingga aku hanya bisa diam saat Mama dan Tante Diani, terus-menerus mengocehku.
Tapi Papa dan Bagas terlihat tenang.
Namun dari raut wajah Bagas aku sangat tahu jika dia begitu mengkhawatirkanku.
Aku jadi merasa bersalah dengan Bagas, karena aku malah merepotkannya.
Padahal kedatangannya ke Jakarta karena ingin menengok sang Bunda yang sedang sakit, tapi dia malah sibuk mengurusku.
Malam harinya, Bagas pulang dan Mama serta Tante Diani menemaniku. Sementara Papa juga ikut pulang karena di rumah tidak ada siapapun.
Esok harinya Papa datang sebentar, setelahnya pulang lagi, kerena Tante Diani dan Papa harus pergi ke kantor.
Bagas giliran menemaniku di rumah sakit, bersama dengan Mama.
"Nak Bagas, Tante titip Mel dulu ya, soalnya mau pergi ke mini market sebentar," kata Mama.
"Iya, Tante," sahut Bagas
"Sekali lagi makasi ya, Nak Bagas, Tante jadi gak enak ngerepotin, Nak Bagas,"
"Iya Tante, santai aja gak apa-apa kok, lagian mumpung saya masih di Jakarta," kata Bagas.
"Terus, keadaan Bunda kamu bagaimana? Apa udah baikan?" tanya Mama.
"Udah, Tante, Bunda cuman masuk angin sama sakit rindu aja, makanya begitu saya datang, Bunda langsung sembuh," kata Bagas sambil tersenyum.
"Yah, begitulah namanya juga orang tua. Apalagi seorang Ibu. Kadang kalau udah kangen sama anaknya bisa sampai sakit, makanya Nak Bagas, sekolah di sini saja biar bisa dekat sama Bunda-nya," ujar Mama memberikan nasehat pada Bagas.
"Iya juga sih, Tante, tapi masalahnya, saya juga kasihan sama Nenek, beliau sendirian di kampung. Saya, 'kan juga harus menjaga beliau," pungkas Bagas.
Mama mengangguk paham, "Iya juga ya, hufft ... serba salah jadi kamu ya, Gas." Mama menepuk pundak Bagas, "tapi, Tante, bangga lihat kamu, karena kamu itu sangat bertanggung jawab dan dewasa," puji Mama.
"Terima kasih, Tante," ucap Bagas sambil menganggukkan kepalanya dan tersenyum agak malu-malu.
"Eh, sampai lupa mau ke mini market, gara-gara asyik ngobrol sama kamu, Gas!" Mama langsung meraih tas kecilnya yang ada di kursi. "Yasudah, Tante, pergi dulu ya," kata Mama. Bagas menganggukkan kepalanya lagi.
"Baik, Tante,"
Dan Mama sudah keluar dari ruangan, kemudian Bagas mendekatiku.
Aku pura-pura masih tertidur, padahal sejak tadi aku sudah mendengar obrolan Bagas dan Mama, serta sesekali membuka mataku sambil mengintip. Aku melakukan hal ini karena aku tidak mau Bagas, mengajak ngobrol serius saat berduaan begini, apa lagi kalau membahas soal perasaannya. Aku benar-benar menghindari hal itu.
Bagas mengusap rambut atas keningku.
"Mbak Mel, masih tidur ya?" ucapnya lirih.
"Cepat sembuh ya, Mbak," bisiknya.
Dan hal yang membuatku tercengang adalah ketika Bagas mengecup keningku.
Aku ingin marah, tapi aku, 'kan sedang pura-pura tidur?
Dan sialnya lagi, kenapa ciuman itu begitu hangat dan nyaman?
Tidak! Aku tidak boleh terbawa perasaan dengan Bagas.
Kasihan Laras, aku tidak mau menjadi Penghianat!
Bersambung ....