webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Teen
Not enough ratings
93 Chs

Bagas Pria Bertanggung Jawab

Rintik hujan masih jatuh meski ukurannya sangat kecil dan sangat lembut.

Bagas membantuku menuruni mobil taksi.

Mama sudah menyambutku di depan pintu.

"Loh, Mel, kamu kenapa?" tanya Mama yang panik, saat melihatku yang masih dipapah oleh Bagas.

"Mbak Mel sakit, Tante," sahut Bagas.

"Sakit? Perasaan tadi pas berangkat baik-baik aja deh," ujar Mama.

"Gak tahu, Tante! Mungkin efek hujan kali, Mbak Mel jadi sakit," kata Bagas menjelaskan.

"Yasudah ayo masuk!" suruh Mama.

Lalu beliau menyuruh kami duduk dan memberikanku teh hangat.

"Tante, saya minta maaf ya," kata Bagas dengan raut wajah bersalah.

"Loh, minta maaf soal apa?" Mama tampak bingung.

"Ya karena gara-gara saya, Mbak Mel, jadi sakit, Tante," kata Bagas.

"Memangnya kamu apain, si Mel? Kamu, 'kan gak ngapa-ngapain dia, justru kamu yang nganterin, Mel pulang?" kata Mama.

"Iya, sih ... tapi, kalau saja saya tadi gak ngajakin Mbak Mel jalan-jalan, pasti Mbak Mel, gak bakalan sakit," kata Bagas sambil menundukkan kepalanya.

"Udah, jangan minta maaf, Gas! Kamu itu gak salah! Emang aku aja sakitnya dadakan! Lagian aku juga gak apa-apa kok, palingan cuman masuk angin doang," ujarku pada Bagas.

Dan Bagas terlihat sedikit tenang, dia benar-benar pria yang sangat bertanggung jawab.

"Gas, diminum tehnya, biar badanya jadi anget," kata Mama.

"Iya, Tante," sahut Bagas sambil tersenyum dan mengangguk sopan.

Setelah itu pun Bagas kembali mengajakku untuk pergi ke klinik, Mama juga mendukungnya, tapi aku saja yang tidak mau.

Aku malas minum obat, kerena pada akhirnya kalau aku pergi ke klinik juga hanya akan di beri obat dan disuruh istrirahat di rumah.

Kalau begitu caranya mendingan aku di rumah saja, lalu minum parasetamol dari kotak obat lalu tidur.

Aku yakin besoknya aku juga akan baik-baik saja.

"Yasudah, kalau Mbak Mel tetap gak mau diajak ke klinik, saya pulang dulu ya, Tante, udah malam," kata Bagas berpamitan.

"Iya, Bagas, hati-hati ya," sahut Mama.

Bagas mencium punggung tangan Mama lalu pergi, tapi sesaat sebelum pergi dia berbisik di telingaku,

"Mbak Mel, cepat sembuh ya," Dan mengusap atas rambutku dengan pelan. Dia benar-benar perhatian kepadaku.

***

Setelah Bagas pulang, Mama mengantarkanku ke kamar, beliau juga menyuruhku untuk ganti pakaian yang lebih hangat.

Sambil memakaikan selimut di tubuhku, Mama sempat-sempatnya mengajakku mengobrol soal Bagas.

"Mel, Bagas itu dewasa banget ya orangnya," kata Mama.

"Ya emang udah dewasa kali, Ma!" sahutku.

"Ya tapi dia itu berbeda lo, Mel, padahal dia baru kelas 1 SMA, tapi dari postur tubuhnya gak keliahatan anak yang baru masuk SMA, dan sikapnya juga dewasa serta penuh tanggung jawab," puji Mama.

"Ya wajar sih, Ma. Bagas, 'kan emang udah sejak kecil tinggal sama neneknya, dan sejak kecil pula dia itu tidak terlalu mengandalkan orang tuanya, dia selalu melakukan apa-apa sendiri. Jadi wajar kalau sekarang dia itu sangat mandiri," jelasku.

"Wah, keren ya, Bagas!" puji Mama lagi.

"Bukan hanya itu, Ma, Bagas juga udah bisa nyari uang sendiri lo, Ma," ujarku.

"Masa?"

"Iya, dia itu konten creator, subscriber youtube chanel-nya juga udah lumayan banyak lo, Ma,"

"Wah, keren!" Mama semakin takjub. Lalu aku melanjutkan ceritaku.

"Gaji Adsense perbulanya udah bisa buat biaya sekolahnya sendiri, bahkan bisa ngasih uang ke neneknya,"

"Wah, keren!" Mama memuji Bagas lagi. Entah berapa kali Mama berkata, 'wah keren!' sebagai bentuk pujian untuk Bagas.

Hingga akhirnya aku berhenti membicarakan Bagas.

"Wah, si Bagas, canggih juga ya, selain wajahnya yang ganteng dan maskulin, dia itu sangat mandiri dan pinter nyari duit, Mama jadi jatuh cinta," kata Mama sambil tersenyum-senyum tidak jelas.

Aku mulai mengkhawatirkan Mama.

"Tunggu!" Aku sampai bangun dari tempat tidurku.

"Kenapa?" tanya Mama yang bingung.

"Jangan bilang kalau Mama naksir sama, Bagas?!" ucapku dengan heboh.

"Ingat umur, Ma! Ingat Papa, dan perlu diingat Bagas itu masih brondong, Ma! Aku gak mau punya Papa Tiri seorang Brondong!" ucapku dan lagi-lagi nada bicaraku sangat heboh. Mama menggelengkan kepalanya sambil berdecak heran.

"Nih, bocah ya," ucapnya dengan pelan dan seperti menahan emosi.

"Ingat, Ma! Ingat!" kataku, "ingat! Ingat! Ting!" imbuhku lagi.

Mama menghela nafas dengan pelan dan mengeluarkan secara perlahan, kemudian Mama menjelaskan kepadaku.

"Hmm ... gini ya, Mel, Mama emang naksir sama, Bagas, tapi bukan berarti kepengen nikah sama Bagas apalagi sampai menduakan Papa kamu, itu gak mungkin banget, Mel! Kerena Papa kamu itu satu-satunya pria tampan dan mengertian di dunia ini, sosoknya gak akan tergantikan! Bahkan sama Lee Min-Ho sekalipun!" ujar Mama.

"La terus?" tanyaku yang tak sabar menunggu penjelasan dari Mama.

"Ya terus Mama itu naksir sama Bagas, maksudnya naksir buat dijadikan menantu Mama, Mel!" jelas Mama dengan tegas.

Aku langsung mendengus kesal mendengarnya.

"Ih, Mama," Aku kembali lemas dan langsung tidur di kasur lagi.

Setelah itu Mama masih terus membahas Bagas dan memuji-muji Bagas habis-habisan. Dan yang lebih parahnya Mama terus menyuruhku untuk pacaran dengan Bagas, seakan-akan dia yang menjalaninya, padahal, 'kan aku?

Aku pun mulai bosan dengan semua kalimat yang diucapkan oleh Mama, lalu aku memilih untuk menutup telingaku dengan bantal dan tidur.

***

Esok harinya aku terbangun dari tidurku, kupikir keadaanku hari ini akan membaik, tapi ternyata aku salah, tubuhku masih lemas. Kepalaku pusing dan berkunang-kunang.

Aku mencoba untuk bangkit, tapi tubuh ini seakan tetap ingin lengket dengan kasur empukku.

Ini bukan karena aku yang malas, tapi karena tubuhku yang benar-benar sudah tak kuat.

"Mel, bangun, Mel, udah pagi nih," seru Mama seraya membuka gorden jendelaku.

Melihat aku yang tak merespon ucapanya, Mama mendekat.

"Kamu masih sakit?" tanya Mama.

"Hmm, kayaknya sih gitu, Ma," sahutku dengan suara lemas. Mama meraba keningku. "Badan kamu masih panas, ayo ke dokter!" ajak Mama.

"Enggak ah, Ma! Mel itu cuma butuh istirahat," jawabku.

"Tapi kalau terjadi apa-apa sama kamu bagaimana?" Mama terlihat panik.

"Aku gak apa-apa kok, Ma," sahutku lagi.

"Yaudah kalau gak mau ke Dokter, kamu istirahat, dan tetap makan sama minum obat!" kata Mama.

"Iya Ma," jawabku.

"Mama, bikinin kamu bubur ayam dulu ya,"

"Iya, Ma!"

***

Aku tidak biasanya sakit seperti ini kalau hanya masuk angin pasti minum obat dilanjutkan dengan tidur yang cukup, maka paginya aku langsung sembuh. Tapi kali ini tidak.

Aku malah semakin mual bahkan untuk berjalan saja sendi-sendiku terasa nyeri.

Lalu ponsel yang ada di dekat bantal mulai bergetar.

Kuraih ponsel itu dan mengangkat panggilan yang masuk.

"Halo, ada apa?" tanyaku.

[Mbak Mel, udah sembuh?] tanya Bagas.

"Ah gak tahu nih, Gas! Kayaknya aku masih lemas nih," jawabku.

[Aku kesana ya, Mbak? Habis itu kita langsung ke dokter!" usul Bagas.

Bersambung ....