webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
93 Chs

Bukan Orang Yang Diharapkan

Yah ternyata Bagas, yang mengirim pesan untukku. Aku mendengus lemas. Aku pikir yang mengirim pesan itu Dion.

[Mbak Mel, gimana kabarnya? Aku kangen sama, Mbak Mel,] tulisnya.

"Astaga! Si Kampret! Ngapain sih, kirim pesan begini!" keluhku dengan nada tinggi. Jeni dan Elis sampai tersentak.

"Mel, elu kenapa sih? Lagi kesambet?" tanya Elis.

"Ih!" Aku mnmengelengkan kepalaku sambil mendesis kesal.

"Lis, kayaknya temen kita yang satu ini beneran kesambet deh," bisik Jeni di telinga Elis.

"Aduh, kalian jangan bilang yang enggak-enggak deh! Udah 3 orang yang ngatain gue kesambet dalam satu hari ini!" sahutku dengan wajah sebal.

"Ah, serius?" Jeni tampak penasaran.

"Iya, pertama Tante Diani, kedua Elis, dan sekarang elu juga ikutan ngatain gue, Jen! Sumpah deh ngeselin banget!" Bibirku pun mulai mengerucut.

Jeni dan Elis malah saling berbisik membicarakanku.

"Lis, si Mel, kayaknya jadi aneh banget ya?"

"Iya, Jen. Kayaknya dia itu mulai stres gara-gara mikirin, Dion,"

"Aneh ya, masa habis ketemuan kok malah tambah galau ya?"

"Tahu tuh, Lis, mungkin Mel, habis ini gak cuman stres doang deh,"

"Terus?" Jeni tampak penasaran.

"Ya kemungkinan Mel, gila benaran, haha!" ujar Elis sambil tertawa dengan gaya khasnya.

Aku kembali mendengus kesal, dan bertolak pinggang, berdiri di tengah-tengah sahabatku yang tiada akhlak ini.

"Ehm! Gue di sini! Kalau ngomongin gue seenggaknya jangan sampai kedengaran di telinga gue dong!" ujarku dengan sangar. Dan tak tahu mengapa aku merasa jika saat ini aku sangguh mirip dengan Depkolektor.

Lalu dua sahabatku itu memandang kearahku dan memberikan cengiran tak berdosa.

"Hehe, maaf, Mel... kita gak ngomongin elu kok," ucap Elis.

"Udah, minta maaf tapi masih sempet-sempetnya bohong sama gue lagi," ujarku masih dengan wajah sangar. "Jelas-jelas tadi ngomongin gue," Aku menggerutu.

"Ah, udah dong! Jangan marah, Mel. Marah itu gak baik buat kesehatan lo," ujar Jeni.

"Tu dengerin apa kata, Jeni," imbuh Elis.

Akhirnya aku kembali duduk di bangku dan kembali kubuka ponsel. Aku berharap jika ada keajaiban datang, dan Dion membuka pesanku.

Tapi ternyata, masih ceklis dua abu-abu, yang artnya Dion belum membuka pesanku.

Aku pun kembali galau tak ada semangat-semangatnya lagi.

Dan tak berselang lama, Bagas kembali mengirimikan pesan.

[Mbak Mel, pasti lagi sibuk ya?]

Pria itu tidak menyerah meski pesannya tadi sudah ku abaikan, kali ini dia malah menambahkan foto kucingnya.

[Mel, juga kangen lo sama, Mbak Mel,] tulisnya.

Akhirnya aku tertawa membacanya. Wajah imut Mel si kucing itu memang menggemaskan. Bagas memang pandai merayuku, kali ini dia malah menggunakan Mel, si Kucing, sebagai senjatanya.

Dia mengirim foto kucingnya yang sangat imut dan dihasi sebuah tulisan 'i miss you' pada bagian perut, serta lambang hati berwarna merah muda. Ada banyak kata-kata lucu yang terselip seperti 'masih ingat nggak, Mbak Mel, dulu giginya ompong?'

'Mbak, tahu enggak aku masih ingat rahasia Mbak Mel, yang dulu hobi makan upil,' dan masih banyak lagi, semua aibku ditulis dalam pesan itu oleh Bagas.

Aku gemas membacanya antara ingin tertawa sekaligus ingin menghajar Bagas, karna dia memegang beberapa kartu AS-ku.

"Mel, sibuk amat? Kamu lagi chating sama siapa sih? Sama Dion ya?" tanya Jeni.

"Bukan!" sengutku.

"Wih, foto profilnya cowok lo!" ujar Elis yang mengintip layar ponselku. Aku mulai geram dengan wajah gadis ini, lalu kurauk dengan tanganku.

"Akh, sakit!" teriak Elis.

"Kebiasaan banget, suka ngintipin isi ponsel orang!" ocehku dengan nada tinggi.

"Hehe, maaf," sahut Elis sambil nyengir tak berdosa.

"Huuh!" Aku mendengus kesal.

"Mel, cowok itu siapa?" tanya Jeni.

"Dia temanku di Semarang, namanya Bagas," jawabku.

"Boleh lihat fotonya?"

"Boleh, kamu tinggal cari aja di media sosialnya!"

"Memang di ponsel kamu gak ada?"

"Ya enggak lah, Jen! Ngapain aku simpen foto dia? Ada juga foto profil WA doang, itu aja gak jelas!"

"Ya kali aja nyimpen! Siapa tahu dia gebetan kamu selama berada di jawa!" tuduh Jeni terhadapku.

"Ih, jangan ngacok deh, Jen! Aku ke Jawa itu karna aku mau ketemu sama Dion, masa iya aku malah PDKT sama cowok lain?" sangkalku.

"Ya kali aja, soalnya Dion, aja sekarang udah ilang-ilangan!" sahut Elis yang ikut menimbrung pembicaraanku dan Jeni.

"Ih, ya gak mungkinlah! Aku sama Bagas itu murni hanya berteman, kebetulan rumahnya bersebelahan dengan rumah nenekku,"

"Ah, masa sih! Gue jadi penasaran sama cowok yang namanya Bagas itu, orangnya seperti apa sih? Kayaknya dia dekat banget sama elu! Buktinya sampai chat akrab begitu sama elu!" tutur Elis, dia memang ratunya kepo. Elis selalu ingin tahu apapun, terutama tentang diriku.

"Nama akun media sosialnya apa?" tanya Elis sekali lagi.

Dan aku pun segera memberitahunya, dari pada urusan bertambah panjang, karna Elis itu bukan tipe gadis yang muda menyerah. Dia akan terus mencari tahu dengan cara apapun untuk mengobati rasa penasarannya.

"Nama akun IG-nya, @Bagas_Satrio, dan dia juga menggunakan nama yang sama di semua aku media sosialnya," jelasku.

Dengan kecepatan kilat Elis langsung berseluncur di dunia maya untuk mencari tahu tentang Bagas. Tak sampai satu menit dia sudah menemukanya.

"Ah ini dia!" ucapnya antusias. Dan Jeni pun tak mau kalah, dia sudah ketularan penyakit kepo dari Elisa alias Elis. Gadis itu mendekati Elis.

"Wah, jadi ini orangnya!" Jeni tampak takjub melihat foto-foto Bagas.

Begitu pula dengan Elis, gadis itu juga terpesona melihat foto-foto Bagas yang tampan. Memang tak dapat dipungkiri jika Bagas itu sangat tampan dan memiliki postur tubuh layaknya atlit.

Sorot mata yang tajam dengan hidung mancung dan senyuman khasnya membuat setiap gadis yang melihatnya akan terpesona. Tak terkecuali denganku waktu itu, hampir saja aku terpesona saat pertama melihat Bagas. Untungnya aku masih ingat Dion, seorang pria yang menjadi cinta pertama, serta cinta sejatiku, sehingga aku bisa mengontrol perasaan sukaku kepadanya. Terlebih setelah aku tahu jika pria itu adalah Bagas teman masa kecilku yang dulu suka ingusan itu.

"Mel, lu serius gak ada hubungan apa-apa sama dia?" tanya Elis antusias.

"Enggak!" sahutku.

"Ah, yang bener! Eh, kalau Mel, beneran gak suka sama, Bagas, Jeni mau kok jadi pacarnya, Bagas," ujar Jeni.

"Ih, gue juga mau kali, Jen!" imbuh Elis.

"Ah, terserah kalian aja deh!" sengutku.

Dan tak berselang lama malah Bagas meneleponku.

Drtt....

"Het dah! Ni Bocah, ngapa malah nelpon gue dah!" ocehku.

"Eh Bagas telepon! Angkat, Mel!" paksa Jeni.

"Iya, angkat, Mel! Kalau elu gak mau ngomong, biarin Bagas ngobrol sama gue aja deh!" ujar Elis.

Aku yang mendapatkan telepon tapi malah dua temanku yang heboh. Bahkan mereka yang memaksaku untuk mengangkat panggilan dari Bagas. Padahal aku tidak bersemangat berbicara denganya, karna yang sedang aku tunggu-tunggu saat ini adalah Dion, bukan, Bagas!

Bersambung....