webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Teen
Not enough ratings
93 Chs

Merasa Terabaikan

Bising suara kendaraan dipinggir jalan ditambah ribuan partikel debu yang berterbangan dimusim kemarau.

"Duh segala mogok lagi!" keluhku mendorong motor Elis.

"Duh tau gitu tadi mah kita naik Taxi aja, El!" tukas Jeni yang juga mulai kesal.

"Yaelah, kalian ini kok jadi nyalahin gue sih! Ya mana gue tau kalau ni motor bakalan mogok! 'Kan baru juga beli kemarin!" jawab Elis.

"Ini semua terjadi karna kita kuwalat deh kayaknya!" ujar Jeni.

"Kuwalat? Kuwalat kenapa? Kita, 'kan gak habis ngelawan orang tua tuh?" ujar Elis.

Aku pun juga turut bingung dengan ucapan Jeni. Dia itu memang cewek terunik di antara kami bertiga.

Jeni menarik nafas perlahan, dan menjelaskannya dengan sabar.

"Kita emang gak ngelawan orang tua, tapi kita udah ngelawan tata cara berkendara yang benar!" jawab Jeni.

"Mak-sud-nya?" Aku dan Elis berbicara kompak.

"Yaelah, kalian gak paham juga ya?" Jeni menggelengkan kepalanya seraya mendesis kesal.

"Teman-teman, kita ini sudah menggunakan satu motor untuk berboncengan tiga orang! Jelas-jelas itu dilarang!" tegas Jeni.

Elis pun manggut-manggut paham.

"Iya, juga ya? Kalian ngerasa kayak cabe-cabean enggak sih?" tanya Elis agak nyeleneh.

Aku dan Jeni mengernyitkan dahi secara bersamaan.

Setelah itu aku pun juga turut angkat bicara.

"Lagian siapa juga yang ngajakin bonceng tiga?!" sengutku.

Lalu Jeni pun tersenyum tak berdosa, "Hehe, ya Jeni sih yang ngajakin, habisnya Jeni pengen cobain naik motor baru punya Elis," ucapnya.

Hmm! Jeni memang kadang-kadang suka bikin gemas.

"Kalau begitu jengan ceramah, Jeni! Kan tadi elu yang maksain, buat pulang bareng! Padahal kita tadi, 'kan udah sepakat, mau patungan buat bayar taksi! Eh lihat motor barunya Elis malah elu pengen naik!" ujarku.

"Bener kata sih, Mel! Motor gue rusak gara-gara gak mau dinaikin kalian berdua! Terutama elu, Jen!" imbuh Elis.

"Lah, kok jadi nyalahin, Jeni sih?" Jeni menggaruk-garuk rambutnya.

"Ya pokoknya elu salah! Gak boleh enggak! Hayo buruan ngaku salah!" desak Elis kepada Jeni.

Temanku yang satu ini memang agak sedikit barbar, lain halnya dengan Jeni yang selalu mengalah.

"Iya, deh ini semua salah Jeni, Jeni minta maaf ya ... peace ...," Jeni mengacungkan dua jarinya. Padahal motor mogok bukan karna salahnya, tapi entah karna kesalahan teknis apa!

"Yaudah! Jangan pada ribut ayo sekarang kita cari bengkel dulu! Nanggung juga kalau jalan kaki!" sergahku.

Kami menuntun motor itu mencari bengkel terdekat.

"Eh, Mel! Itu ada bengkel!" kata Elis sambil menunjuk kearah tempat yang dimaksud.

lalu kami pun segera menghampirinya.

Kami menyuruh Karyawan di bengkel itu untuk segera memperbaiki motor kami.

Si Karyawan Bengkel, juga sangat cekatan, karna kebetulan sekali bengkel masih sepi sehingga kami pun diutamakan.

Beberapa menit kemudian, si Karyawan Bengkel datang menggampiri kami.

"Maaf Mbak, motornya ini gak rusak," ucap Abang-abang yang tubuhnya dipenuhi oli itu.

"Masa sih, Bang! Kalau gak rusak terus kenapa motor saya gak bisa jalan?!" tanya Elis dengan nada tingginya.

"Sabar, Elis," bisik Jeni.

Lalu si Abang-abang Karyawan Bengkel, menutup mulutnya yang menahan tawa.

"Ih, si Abang kok malah ketawa sih?" keluh Elis.

"Mbak, motornya ini habis bensin, makanya mogok!" Jelas Karyawan Bengkel itu.

Astaga, aku dan Jeni menepuk kening secara bersamaan. Elis benar-benar malu-maluin. Bisa-bisanya dia sampai lupa mengisi bahan bakar.

"Elis, kamu itu beneran bikin gemes ya?" bisikku di telinga Elis dengan gigi gemertak.

Sedangkan Jeni membuang muka sambil cemberut.

"Dasar, Elis, ngeselin! Tadi aja motor mogok nyalahin Jeni! Padahal dia sendiri yang lupa isi bensin! Cih!" Jeni mulai drama.

Kini giliran Elis yang mengangkat dua jari. "Peace, guys!" ucapnya sambil nyengir tak berdosa.

***

Setelah perjalanan pulang sekolah yang melelahkan, aku segera masuk kekamar.

Tanpa menanggalkan seragam sekolah, aku pun merebahkan diri di atas kasur. Bahkan kedua sepatuku pun masih melekat di kaki.

Kalau sampai Maha Ratu, alias Mama melihatku, pasti beliau sudah mengocehiku habis-habisan. Untunglah Mama sedang pergi arisan sore ini, jadi aku bisa sedikit tenang.

Di sela waktu santaiku, pikiran kembali mengembara. Yah ... aku teringat dengan Dion lagi.

Ya Tuhan, dia masih belum membalas pesanku.

Sebenarnya ada apa dengan Dion? Apa terjadi apa-apa dengannya atau mungkin dengan, Bu Ningrum?

Aku semakin tak tenang, aku teringat dengan Nenek. Yah, Nenek! Aku, 'kan bisa meneleponnya!

Segera kuraih benda pipih yang masih terselip di saku seragamku.

Drrt....

Panggilan langsung tersambung.

"Assalamu'alaikum, Nenek," ucapku.

[Walaikumsalam, Mel! Ada apa? Udah kangen sama, Nenek ya?] sahut Nenek dengan suara khasnya.

"Iya, Nek! Mel kangen kue lapis bikinan, Nenek," sahutku beralibi, tapi tak dapat dipungkiri jika aku memang sangat rindu dengan kue khas buatan Nenek itu. Tapi tujuan utamaku menelpon beliau bukan membahas soal kue, tapi aku hendak bertanya kabar Dion.

"Nek, Mel, boleh tanya sesuatu enggak?"

[Iya mau tanya apa?]

"Nek, gimana keadaan, Dion?"

[Loh, kok nanya sama Nenek sih? Memangnya kamu gak tanya langsung sama dia?]

"Mel, udah kirim pesan ke nomor Dion, Nek! Tapi Dion gak mau balas, dan ditelpon juga gak diangkat," jelasku kepada Nenek.

[Oh, mungkin, Nak Dion, sedang sibuk, Mel. Karna Ibunya baru saja meninggal,] jelas Nenek.

"Innalilahi wa Inalilahi rojiun!" Aku benar-benar syok mendengarnya. Jadi ini alasan Dion tidak sempat membalas pesanku! Tapi kenapa di saat sedang terpuruk begini dia tidak mengabariku?

Harusnya dia mengabariku, karena aku ini pacarnya? Aku juga berhak tahu tentang dirinya!

Aku merasa kecewa dengan Dion karena sudah melupakanku, tapi di sisi lain aku juga tidak tega melihat Dion seperti ini.

Pasti sekarang dia sedang bersedih, dan entah dengan siapa saat ini Dion tengah bersandar.

Apa Ayahnya juga pulang ke Semarang?

Entahlah ... aku tak tahu, aku hanya bisa menangis setelah mendengar kabar ini, andai saja jarak Jakarta-Semarang itu dekat, pasti aku sudah berlari ke sana dan memeluk Dion.

Aku ingin menyemangatinya! Tapi sayang beribu sayang! Semua itu tak semudah seperti yang kupikirkan.

"Nenek, kenapa gak kasih tahu Mel, kalau Bu Ningrum baru saja meninggal?"

[Maaf, Mel. Nenek pikir Dion sudah mengabarimu, kalian ini, 'kan sangat dekat. Kamu yang bilang sendiri meskipun jauh tapi kamu dan Dion, sangat sering saling menghubungi,]

Apa yang diucapkan Nenek memang benar, Dion memang sering menghubungiku, tapi entah mengapa di saat sang ibu baru saja meninggal, justru dia malah tak membalas pesanku!

Bersambung....

Aku tak bisa memelukmu karna jarak.

Tapi setidaknya kabari aku atas sedihmu. Biar kupeluk jiwamu dengan doa ....

Melisa Aurelie