webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
93 Chs

Berdoa Saat Hujan

Aku mulai panik saat melihat Elis dan Julian sudah meninggalkan meja mereka.

"Mbak Mel, nyariin apaan sih?" tanya Bagas.

"Ya aku nyariin Elis lah, Gas! Masa iya nyari sendal jepit! Emangnya lagi di masjid!" sengutku pada Bagas.

"Yaelah, nyariin Elis lagi aja! Kan tadi udah saya bilang, Mbak! Biarin aja! Elis itu bisa jaga diri!" ujar Bagas.

"Ya tapi—"

"Udah, ayo pulang!" ajak Bagas.

Lalu Bagas pergi menuju kasir untuk membayar makanan kami, sementara aku masih tetap duduk di kursi. Aku masih mengedarkan pandanganku kesegala arah untuk melihat keberadaan Elis dan Julian, barang kali masih ada di sekitar sini.

"Mbak Mel! Buruan!" ajak Bagas.

"Eh, iya! " Aku segera bediri.

Aku tidak tahu di mana Elis dan Julian, aku berharap Elis baik-baik saja.

Kami pulang dengan mengendari taksi online seperti saat berangkat tadi.

Sepanjang perjalanan Bagas juga selalu mengajakku mengobrol.

"Mbak Mel, liburan semester satu bakalan ke Semarang enggak?"

"Gak tahu, Gas! Kayaknya enggak deh!"

"Kalau liburan kenaikan kelas?"

"Tetep aku belum tahu, Gas! Emangnya kenapa sih?" tanyaku.

"Ya enggak, aku tuh cuman kepengen ngabisin waktu selama liburan bersama dengan Mbak Mel, di kampung," jawab Bagas sambil menunduk.

"Gas, kamu itu, 'kan udah punya Laras, kamu jangan sering-sering dekat sama aku deh," ucapku memperingatkan Bagas.

"Ya soal itu aku juga tahu, Mbak. Tapi kalau sampai Laras gak bisa buat aku jatuh cinta, aku, 'kan bakalan—"

"Stt ...!" Aku memotong pembicaraan Bagas. "Kamu jangan ngomong kayak begitu, Gas! Kasihan si Laras, kamu jangan permainkan dia,"

"Aku gak permainkan dia kok, Mbak! Aku pacaran sama dia karena sebuah perjanjian. Dan ini juga gara-gara Mbak Mel, yang paksa aku!" ujar Bagas.

"Lah, kenapa kamu jadi nyalahin aku sih, Gas?" protesku yang tak terima dengan ucapkan Bagas.

"Ya karena, Mbak Mel, merasa bersalah gara-gara aku nolak Laras, akhirnya aku jadi kasih kesempatan Laras buat pacaran sama aku!"

"Gas! Sumpah kamu tuh ngeselin banget ya?"

"Mbak Mel, yang ngeselin! Padahal aku tahu kalau, Mbak Mel, itu sebenarnya juga suka sama aku! Tapi Mbak Mel, gak mau jujur!"

Ucapan Bagas membuatku merasa tersinggung, apalagi dia berbicara dengan nada yang cukup tinggi.

"Kamu itu ya, Gas! Gak—"

"Gak apa?" Bagas memotong pembicaraanku, "mau sampai kapan, Mbak Mel, mau sembunyiin perasaan Mbak Mel?"

"Kamu jangan sok tahu, Gas! Kamu itu terlalu percaya diri bilang aku suka sama kamu!" cercaku pada Bagas.

Tapi Bagas tak tinggal diam.

"Mbak, dari tadi aku diam-diam merhatiin Mbak Mel, loh! Dan aku lihat dengan mata kepalaku sendiri, Mbak Mel salah tingkah, Mbak Mel gemetaran, dan berkali-kali aku juga memergoki Mbak Mel yang curi-curi pandang kepadaku! Itu namanya apa?"

Seketika aku terdiam, mungkin apa yang dikatakan oleh Bagas itu benar.

Tapi aku sendiri juga tidak tahu kenapa harus menyembunyikan perasaanku dari Bagas.

Mungkin aku terlalu gengsi untuk berpacaran dengan Bagas. Aku yang selalu kekeh dengan pendirianku bahwa aku ini tidak mau mengubah setatus teman menjadi pacar.

"Kenapa diam?" Bagas bertanya, "Mbak Mel, gak bisa nyangkal tuduhanku, 'kan?"

"Gas—"

"Jujur aku lelah sama, Mbak Mel! Selalu munafik dengan perasaan sendiri! Bahkan sejak pertama kali kita bertemu, Mbak Mel, juga udah naksir, 'kan sama aku?" tanya Bagas lagi.

Bocah ini benar-benar sok tahu! Dan dia itu terlalu percaya diri. Tapi sayangnya apa yang dituduhkan itu memang benar. Aku jatuh cin—

Apa jangan-jangan Bagas itu punya indra keenam? Ketujuh? Atau kedelapan?

'Ah tidak! Aku tidak suka sama, Bagas!' batinku masih berusaha untuk menyangkal.

Aku tidak mau menarik ucapanku sendiri, aku sudah menyuruh Bagas berpacaran dengan Laras, dan setelah mereka jadian masa iya aku akan merebut, Bagas?

Tentu aku tidak mau menjadi seorang penghianat, apalagi Laras itu gadis yang baik.

"Mbak Mel, masih gak mau ngaku?"

"Gas, stop!" bentakku, "jangan paksa aku! Kamu itu punya Laras!"

"Aku dan Laras itu sudah bersepakat, Mbak! Kalau dia masih belum bisa buat aku move on dari, Mbak Mel. Maka aku bakalan putus sama dia!"

"Ya tapi perjanjiannya satu tahun, Gas! Kamu dan Laras baru pacar dua bulanan itu aja belum genap!" ujarku.

"Ok, satu tahun itu bukan waktu yang lama buat aku, Mbak," ucap Bagas. "Aku bakalan tunggu!" tegasnya.

Kami sudah selesai berdebat masalah perasaan, dan mobil yang kami tumpangi malah berhenti.

"Loh, kenapa behenti, Pak?" tanyaku pada Pak Sopir.

"Maaf, Mbak! Mobilnya mogok," kata Pak Sopir itu.

Lalu dia keluar dan memeriksa bagian mesin.

"Maaf, Mbak, Mas, kayaknya saya gak bisa ngantar sampai tujuan, mobilnya harus diderek," kata Sopir itu lagi.

"Yah, gimana dong?" keluhku.

"Pesan, taksi lain aja, Mbak!" sahut Pak Sopir.

"Yah, nanggung banget padahal bentar lagi nyampek lo, Pak!" keluhku.

"Maaf ya, Mbak," sahut Pak Sopir.

Akhirnya aku dan Bagas terpaksa keluar dari dalam mobil, kami menepi di trotoar jalan. Bagas mulai mengeluarkan ponselnya untuk memesan Taksi Online lagi.

Tapi mendadak terdengar suara petir yang menggelegar.

JEGELER!

Aku yang kaget reflek memeluk Bagas.

"Gas, ada geluduk jangan maenan HP!" ujarku.

"Tapi kita harus pesan taksi, Mbak!"

"Udah pasan taksi entar aja!" ujarku.

Aku memang phobia dengan petir, kata Mama kalau sedang ada petir tidak boleh bermain ponsel, nanti bisa kesambar petir, aku tidak mau mati gosong dan berubah menjadi jelek. Jadi lebih baik pesan taksinya ditunda untuk sementara waktu, sampai petir tidak ada lagi.

Setelah itu hujan turun begitu deras.

Aku dan Bagas langsung mencari tempat untuk berteduh.

"Gas, kita berteduh di mana nih?"

"Di sana, Mbak!" Bagas menunjuk sebuah ruko kosong.

Kami langsung berlari ke tempat itu.

Kami yang berada di dalam mobil tadi sampai tak menyadari jika langit sudah mendung gelap.

"Hujanya deres banget lagi," keluhku.

"Jangan mengeluh, Mbak! Hujan itu rezeki loh," ujar Bagas.

"Iya, sih," sahutku.

"Mendingan, Mbak Mel, berdoa aja. Konon berdoa saat hujan itu mudah dihijabah loh," kata Bagas.

"Iya juga ya tapi—" pandanganku langsung teralihkan pada Bagas yang malah memejamkan matanya sambil menengadahkan tangan.

"Ya Allah, hamba mohon tolong jodohkan hamba dengan wanita cantik yang bernama, Melisa Aurelie, ya Allah!" ucap Bagas yang masih memejamkan matanya. Rupanya dia sedang berdoa. Tapi kalimat dalam doanya itu benar-benar membuatku syok.

Kedua mataku sampai terbelalak mendengar doa Bagas. Aku tidak tahu harus berkata apa?

Bagas benar-benar sudah membuatku—

"Amiin!" Bagas mengusap wajahnya. Lalu dia menengok kearahku.

"Mbak Mel, kok ngeliatin saya kayak begitu?" tanya Bagas. "Mbak Mel, gak berdoa juga? Mumpung Hujan loh,"

Bersambung ....