webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Teen
Not enough ratings
93 Chs

Bagas Yang Aku Bayangkan

Menunggu sampai hujan reda cukup lama juga, aku dan Bagas duduk jongkok di pinggir ruko.

"Mbak Mel, kedinginan ya?" tanya Bagas.

"Enggak!" jawabku.

"Enggak kok badannya mengigil?" sindir Bagas.

Aku memang berbohong dan bilang tidak kedinginan, padahal rasa dingin ini serasa merasuk ke dalam tulangku.

Tapi aku tidak mau membuat Bagas khawatir kepadaku.

Lagi pula aku tidak takut Bagas malah melakukan adekan romantis seperti yang ada di film-film.

Semisal; si pria mencopot jaketnya lalu memberikan kepada si gadis yang sedang kedinginan.

Aku tidak mau Bagas melakukan hal itu kepadaku.

Eh tunggu! Sepertinya aku ini berlebihan?

Lagi pula Bagas, 'kan tidak memakai jaket?

Masa iya dia mencopot kemejanya lalu memberikan kepadaku smentara dia rela kedinginan memakai singlet saja?

'Ah Mel, Mel, kamu ini memang kelewat halu?' bicaraku di dalam hati sambil menepuk-nepuk keningku sendiri.

"Mbak Mel, kenapa? Kepalanya sakit?" Bagas mendekat. Dia mengira aku sakit kepala sampai menepuk-nepuk kening, padahal yang itu tadi gerakan reflek.

Dia meraba keningku, "Mbak Mel, demam? Kok badanya panasa?" tanya Begas.

Kami memang tidak basa-basahan, air hujan belum sepenuhnya menerpa tubuh kami, karena kami sudah berteduh sebelum hujan deras. Sehingga Bagas bisa merasakan suhu tubuhku yang memang sedang tidak normal.

Aku juga merasakan perbedaan itu, kepalaku sedikit pusing, dan kedua mataku terasa sangat panas.

Mungkin benar tebakan Bagas, jika aku sedang demam.

"Aduh, gak salah lagi, Mbak Mel, sakit! Pasti efek suhu yang berubah derastis," kata Bagas.

Dia mencopot kancing kemejanya satu per satu, dan aku segera menghentikannya.

"Stop!" teriakku, "kamu mau ngapain, Gas?" tanyaku.

Tapi Bagas tak menghiraukanku, aku takut dia akan mencopot kemejanya lalu memberikan kepadaku, seperti yang sudah aku bayangkan tadi.

Aku memejamkan mataku karena tak mau melihat Bagas hanya menggunakan singlet atau bahkan tanpa menggunakan apapun hanya dami memberikan kemejanya untukku.

Kalau begitu caranya aku lebih baik kedinginan sampai membeku jadi batu, dari pada harus melihat Bagas bertelanjang dada, ah tidak! Mataku ... aku tidak boleh melihatnya itu termasuk aurat, 'kan?

"Pakai ini biar gak kedinginan, Mbak," kata Bagas.

"Enggak mau, Gas! Aku gak mau pakek kemeja kamu!" bentakku

"Kenapa? Ini biar Mbak Mel, gak kedinginan!" ujar Bagas.

"Tapi aku gak mau lihat kamu telanjang dada!" sengutku.

Aku yakin akan tambah meleleh kalau sampai melihat perut Bagas yang kotak-kotak mirip roti sobek, karena dia itu rajin berolahraga.

Terlebih di sekolahnya Bagas itu terkenal sebagai Atlit Basket.

Ya Gusti, pasti Bagas seksi mirip Aktris Hollywood.

Astaghfirullahalazim!

Apa aku berlebihan ya?

Memangnya anak seusia Bagas sudah bisa memiliki tubuh kekar?

Ah masa bodo itu tidak penting!

"Ih, siapa juga yang telanjang dada?" kata Bagas, "Mbak Mel, ini berpikirnya terlalu berlebihan!"

Bagas menghela nafas sesaat. "Mbak Mel, kebanyakan nonton Vidio XX ya?" tuduh Bagas.

Aku pun tak terima dengan ucapan Bagas.

"Eh, apaan sih, Gas! Kalau ngomong ya!" Aku mulai kesal. "Masa iya aku dibilang suka nonton Video XX!" sengutku.

"Bercanda, Mbak," Bagas tertawa kecil, "lagian saya gak telanjang dada nih!" kata Bagas sambil menunjuk dirinya sendiri. Dan benar saja, aku melirik kearah Bagas, dia memang menggunakan kaos oblong warna hitam. Tidak seperti yang ada dalam bayanganku.

Betul kata Bagas, mungkin memang aku saja yang pikirannya berlebihan.

"Udah jangan banyak nolak, buruan pakek baju ini!" paksa Bagas seraya menyodorkan kemejanya kearahku.

Aku tak langsung meraihnya, karena aku masih gengsi.

Lalu Bagas mengenakan kemeja itu di tubuhku dengan paksa.

Aku juga pasrah, tapi sayang sekali ... kemeja flanel milik Bagas sama sekali tak mengurangi rasa dinginku, tubuhku masih menggigil.

Sekarang aku juga merasa lemas, aku tidak tahan lagi hingga akhirnya aku merintih sambil menangis.

"Dingin, dingin ...." Rintihku.

"Mbak Mel, gak apa-apa?" tanya Bagas dengan raut wajah yang panik.

"Dingin, Gas, dingin banget," sahutku dengan suara bergetar.

"Aduh, hujannya malah makin deres lagi," keluh Bagas. Dia semakin panik saja melihatku.

"Jangan ngeluh, Gas! Hujan itu rezeki ...," sengutku dengan suara yang lemah.

"Hmm! Lagi dalam kondisi begini juga masih sempat-sempatnya balas dendam," gumam Bagas.

Aku hampir tertawa mendengarnya, tapi untuk tertawa saja rasanya tidak kuat, aku benar-benar tak tahan merasakan dingin ini, tulang-tulangku juga terasa nyeri dan seperti ingin copot satu per satu, kepalaku sekarang bukan hanya pusing lagi, tapi terasa sakit seperti berdenyut.

"Aduh gimana ini?" Bagas bingung. "Ah gak ada pilihan lain!" Bagas pun memelukku dengan erat.

Aku tidak bisa menolak pelukan itu, karena dengan begini rasa dinginku mulai berkurang.

Bagas memelukku dan nyaris tidak bergerak hingga hujan reda, bahkan aku sampai tertidur dalam pelukannya.

Dalam tidur itu, aku bermimpi Bagas tengah menggendongku, ini terasa seperti fenomena D'javu. Karena adekan ini adalah adegan saat pertama kali aku bertemu dengan Bagas, dan waktu itu kakiku sedang terkilir. Pada saat itu aku mersa tak nyaman digendong oleh Bagas, bedanya dalam mimpi ini aku merasa sangat nyaman dalam gendongan Bagas. Bahkan aku bisa merasakan detak jantungnya dan menikmati aroma parfum yang begitu maskulin.

Tak lama Bagas membangunkanku dan aku baru ingat kalau aku sedang berada di emperan ruko dan tengah berpelukan dengan Bagas.

"Mbak, hujanya udah reda," kata Bagas.

"Emm ...." Kucoba membuka mata meski masih terasa lengket.

"Mbak, masih kedinginan?" tanya Bagas.

"Masih, tapi udah agak mendingan, gak kayak tadi, Gas," sahutku.

"Ah syukurlah," Bagas bernafas lega.

Lalu melepaskan satu tangannya yang tadi sempat memelukku, dan dia mengeluarkan ponselnya.

"Mau ngapain, Gas?" tanyaku.

"Aku mau pesan taksi online," sahut Bagas.

Aku pun pasrah dan masih menyandarkan tubuhku di sisi tembok.

Setelah memesan taksi online, Bagas menghampiriku dan kembali memelukku.

"Udah kamu gak usah peluk aku, Gas, aku udah gak apa-apa," ucapku.

"Udah, lupakan gengsi, Mbak! Yang penting, Mbak Mel, gak kedinginan!" tegas Bagas yang seakan menyindirku. Dia tahu jika aku masih kedinginan, namun menyuruhnya untuk berhenti memelukku karena aku tidak nyaman dengan pelukan itu.

Tak lama mobil taksi pesanan kami datang, lalu Bagas membantuku untuk segera menaiki mobil taksi itu.

"Huff ... akhirnya, bisa pulang juga," kata Bagas, "Mbak Mel, kita mau langsung pulang atau ke klinik dulu nih?" tanya Bagas kepadaku.

"Pulang aja, Gas!" sahutku.

"Tapi, Mbak Mel, 'kan lagi sakit, kita priksa dulu aja kali, Mbak,"

"Enggk usah, Gas, aku udah gak apa-apa kok,"

"Beneran udah gak apa-apa?"

"Iya beneran, Bagas, kita langsung pulang aja,"

"Tapi—"

"Udah gak pakek tapi-tapian, kita langsung pulang aja, Gas! aku cuman butuh istirahat!" tegasku pada Bagas, dan akhirnya Bagas pun menurutiku.

"Yaudah kalau gitu," kata Bagas dengan pasrah.

Berasambung ....