webnovel

Bab 12: The Truth

Restoran tidak begitu ramai sore itu. Hana yang masih diam di meja kasir, begitu terkejut dengan kedatangan Ares. Meski berkali-kali Ares mengatakan kalau dirinya adalah sahabat baik Ganendra, entah mengapa rasanya Hana tidak pernah merasa canggung saat berhadapan dengan Ares. Berbeda dengan Ganendra yang punya aura dingin dan kaku, Ares justru sebaliknya. Pembawaan yang santai dan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya membuat siapa pun merasa nyaman dengannya. Ares juga lebih terbuka dan banyak bicara juga banyak bercanda. Di restoran, bukan hanya Hana yang sering ngobrol dengannya, bahkan Dean dan Andra pun mudah dekat dengan Ares.

Saat itu, Ares hanya tersenyum saja pada Hana, hingga entah apa yang sedang gadis itu pikirkan tiba-tiba saja keluar satu pertanyaan dari mulutnya yang membuat Ares terkejut. Mungkin kalau Ganendra tahu, ia juga tak kalah terkejutnya dengan Ares. Tanpa menatap Ares, Hana bergumam pelan, namun Ares dapat mendengarnya dengan jelas.

"Mas Ares, Pak Ganendra itu orang yang seperti apa?" tanyanya pelan. Bahkan, kalau Ares berdiri satu langkah lebih jauh darinya, mungkin ia tidak akan bisa mendengar pertanyaan itu.

"Seperti yang kamu tahu, kaku dan menyebalkan." Ares terkekeh di ujung kalimatnya, sebelum kembali menambahkan. "Tapi dia baik sekali."

"Baik dalam hal apa, Mas Ares?"

"Baik dalam persepsi kamu yang seperti apa, Hana?" Ares balik bertanya.

"Yang suka menolong, yang tidak pamrih, yang suka memberi, yang tidak pernah menyakiti yang lemah, yang murah senyum," ucap Hana seraya menatap Ares dengan mata bulatnya.

"Iya, itu Ganendra. Kecuali yang terakhir," jawab Ares, lagi-lagi ia terkekeh di ujung kalimatnya.

Ada senyum tipis yang terbentuk di wajah Hana. Buat Ares, itu bukan hal yang spesial, karena di hadapannya, Hana sudah sering kali tersenyum bahkan tertawa terbahak-bahak. Namun, kalau Ganendra melihat sendiri senyum ini, apalagi kalau dia tahu Hana tersenyum saat tengah membicarakan dirinya entah apa yang akan dilakukan lelaki itu. Mungkin Ganendra bisa membeli satu pulau pribadi untuk ditempati berdua saja dengan Hana di masa depan. Siapa yang tahu?

"Saya tanya lagi, boleh, Mas Ares?" tanya Hana lagi.

"Boleh. Tapi kalau pertanyaan kamu sulit, mungkin saya nggak bisa jawab. Saya lagi males mikir." Ares tertawa pelan.

"Enggak, Mas Ares. Ini nggak susah." Hana kembali menatap Ares lurus. "Apa dulu ... Pak Ganendra pernah pacaran? Berapa kali dia pacaran?"

Untuk sesaat, Ares tidak tersenyum pun langsung menjawab pertanyaan Hana. Padahal itu bukanlah hal yang sulit bagi Ares, hanya saja seperti ada sesuatu yang menahannya untuk menjawab. Hana yang masih menanti jawaban Ares sambil menunduk, sontak mengangkat kepalanya dan menatap Ares yang tak kunjung bersuara. Mungkin hal ini terlalu sulit untuk Ares bisa menjawabnya.

"Sulit, ya, Mas Ares?" tanya Hana pelan.

Ares menggeleng. "Bukan sulit, saya hanya bingung apa saya bisa cerita ini ke kamu."

"Kalau nggak bisa, nggak usah dijawab juga nggak apa-apa, Mas Ares." Hana menggelengkan kepalanya seraya tersenyum kikuk. Ia benar-benar merasa tidak enak hati sudah menanyakan hal itu pada Ares.

"Saya jawab seadanya saja, ya? Biar kamu nggak penasaran."

Mendengar ucapan Ares barusan, entah mengapa membuat Hana sontak mengangguk semangat.

"Dulu Ganendra pernah naksir perempuan saat kuliah, senior di kampus. Tapi dia langsung ditolak." Ares terkekeh pelan. "Untuk urusan bisnis dan hal lain, mungkin Ganendra selalu unggul. Tapi untuk urusan percintaan, dia selalu bertepuk sebelah tangan. Begitu juga saat dia jatuh cinta sama kamu, Hana.

Untuk sesaat, Hana tidak tahu harus menjawab atau merespons apa ucapan Ares barusan. Yang ia lakukan hanya bisa diam, sembari menelan pertanyaan lain yang sudah ia siapkan di ujung lidah. Padahal Hana hanya ingin tahu seperti apa sosok Ganendra di mata Ares. Hana tidak pernah menyangka kalau Ares akan menceritakan hal menyedihkan semacam itu.

"Maaf, Mas Ares," ucap Hana pelan.

"Loh, kenapa minta maaf?"

"Itu bukan hal yang harusnya saya tanyakan, saya terlalu lancang." Hana menunduk dalam.

"Bukan gitu, Hana. Saya bisa aja cerita semua yang saya tahu ke kamu, tapi saya jadi merasa mendahului Ganendra. Saya rasa, lebih baik kamu tanyakan langsung sama dia."

"Makasih banyak, Mas Ares," ucap Hana lagi. "Tolong rahasiakan ini dari Pak Ganendra, Mas Ares. Saya nggak mau dia jadi merasa tersinggung."

Ares tersenyum samar. Penilaian Ganendra tentang perempuan memang tidak pernah salah, hanya saja, dia selalu memilih orang yang tidak mencintainya. Padahal Hana sebegitu peduli pada perasaan Ganendra, tapi kenapa ia mati-matian menolak perasaan Ganendra dan membuat lelaki itu uring-uringan sepanjang waktu. Ares sama sekali tidak mengerti wanita, begitu juga dengan Ganendra.

***

Setelah menceritakannya pada Ganendra, Ares malah merasa sangat menyesal. Padahal jelas Hana memintanya untuk merahasiakan hal itu dari Ganendra, tapi dengan bodohnya Ares malah mengatakan semua hal itu pada Ganendra. Meski reaksinya sama sekali tidak seperti yang ia bayangkan, tapi Ares tetap merasa bersalah pada Hana.

Ganendra sendiri masih duduk diam di tempatnya. Tidak marah, kesal, apalagi merasa tersinggung. Ia justru merasa bahagia mengetahui kalau Hana sedikit ingin tahu mengenai dirinya. Biar bagaimanapun, itu sebuah kemajuan besar. Selama ini Ganendra tidak pernah punya waktu untuk menceritakan tentang dirinya pada Hana sebab Gandis itu selalu mendorongnya menjauh. Tapi berkat Ares, Hana jadi bisa mengetahui sedikit hal tentang dirinya. Meski ada bagian di sudut hati Ganendra yang tidak terima kenyataan bahwa Hana bisa lebih terbuka dengan Ares.

"Res, kirim hadiah ke rumahnya," ucap Ganendra sambil tersenyum.

"Dia nggak akan suka kalau kamu berlebihan, Ndra," jawab Ares, berusaha mengingatkan.

Tanpa menghiraukan ucapan Ares, Ganendra segera mengambil ponselnya dan menghubungi beberapa nomor. Kalau sudah begini, Ganendra sudah tidak bisa lagi dihentikan, bahkan Ares pun sudah kehabisan cara. Saat jatuh cinta, orang memang bisa dengan mudah berubah.

"Dasar bucin!" ucap Ares sebelum akhirnya meninggalkan ruangan Ganendra.

Di sisi lain, Hana yang baru saja tiba di rumah dikejutkan dengan beberapa buket bunga, boneka serta beberapa hadiah yang sudah tersusun rapi di rumahnya. Namun, belum sempat ia bertanya milik siapa semua hadiah itu, sebuah tamparan sudah mendarat mulus di pikiran kanannya. Tatapan serta napas yang masih memburu itu membuat Hana bahkan tak lagi merasakan panas dan perih di pipinya.

"Kenapa, Bu?" tanya Hana seraya memegangi pipi kanannya.

"Kamu bohong, Hana! Kamu bilang sudah berhenti, tapi apa semua ini?!" ucap sang Ibu kesal, bahkan sampai berteriak. "Mau sampai kapan kamu jadi pelacur? Hah?! Ibu nggak mau makan dan hidup dari uang kamu sebagai pelacur!"

"Ibu–"

"Ibu, stop!"

Dirga yang juga baru pulang, segera menghentikan ibunya yang hendak memukul Hana lagi. Di tempatnya, Hana hanya bisa menangis, merasakan perih dan sakit yang luar biasa. Bukan di pipi kanannya, melainkan jauh di lubuk hatinya.

***